Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

Matahari begitu cerah pagi ini secerah suasana hati Lavina yang tengah mengendarai motor pinknya menuju sekolah. Jarak rumah dan sekolahnya tak terlalu jauh. Terkadang Lavina mengendarai motor sendiri ke sekolah. Menikmati berkendara bersama orang-orang yang beraktifitas di pagi hari seperti dirinya.

Butuh dua puluh menit untuk sampai ke sekolah bertembok bata dan bercat cream itu. Saat pintu gerbang sudah terlihat Lavina merasa lega pagi ini tak ada drama. Karena biasanya ada tragedi yang terjadi tiba-tiba. Seperti dia jatuh sendiri saat belok atau dia menyerepet kendaraan lain. Dia terlalu ceroboh dalam hal berkendara. Dia bahkan jarang menggunakan mobilnya karena takut mobil kesayangannya luka akibat kecerobohannya dan lebih memilih naik motor atau diantar supir. Tapi sebenarnya dia lebih suka jika diantar jemput Arsenio.

Motor hitam Arsenio menyalipnya di pintu gerbang. Lavina langsung membuka kaca helm dan berusaha mengejar kekasihnya. Dia memilih memarkirkan motor cutenya bersebelahan dengan motor ninja hitam milik Arsenio. Begitu kontras seperti pemiliknya.

"Pagi Arsenio Abrisam," sapa Lavina dengan binar mata secerah matahari.

"Pagi, Lavlav."

"Tidurnya nyenyak semalam? Kamu tidur awal ya?"

"Iya."

"Pantes kamu nggak balas pesanku." Lavina menarik jaket Arsenio. "Ayo ke kelas bareng," seru Lavina. Mereka berjalan beriringan tanpa obrolan.

"Kamu nanti les?" tanya Lavina, mencari obrolan. "Widy juga."

"Iya."

"Kalau aku lesnya nanti aja setelah UTS. Aku baru nulis puisi lho. Kamu mau baca nggak?" ucap Lavina mencoba mencari bahan obrolan lagi agar dia bisa ngobrol dengan Arsenio lebih lama.

Arsenio mengangguk, Lavina buru-buru membuka tasnya, mengambil notebook berwarna pink dengan gambar bunga lili putih di kover depan.

"Ini aku pinjemin, baca ya? Kalau udah selesai kembaliin. Oh ya, notebook aku yang kemarin udah selesi dibaca?"

"Belum."

"Kok belum? Jangan-jangan belum dibaca ya? Harus dibaca lho. Biar kamu tahu sayangnya aku buat kamu," ucap Lavina terang-terangan. Dia tak pernah malu untuk menunjukkan rasa sukanya pada Arsenio. Baginya cinta itu harus diungkapkan agar orang yang dicinta tahu sehingga tak akan ada penyesalan di belakang. Orang lain mungin tak harus tahu perasaannya tapi Arsenio harus tahu.

Mereka memasuki lift yang sudah penuh siswa-siswi SMA Nuki. Lavina kebingungan ketika ada beberapa anak yang turun di lantai dua karena dia terlalu imut dibanding yang lainnya, dia terdesak. Untung saja Arsenio menariknya ke pojok dan memunggunginya.

Lavina menowel-nowel bahu Arsenio dan jinjit. "Makasih," bisik Lavina, Arsenio membalas dengan senyum tipis dan kedua mata menutup sesaat. Kebiasaan Arsenio yang terlihat cute di mata Lavina.

Sampai di lantai tiga Arsenio belok ke arah kiri diikuti Lavina. "Aku mau ke toilet," ucap Arsenio.

"Oh aku tunggu di depan aja."

"Kamu ke kelas aja duluan."

"Kamu mau ke mana?" tanya Lavina.

"Toilet."

"Habis itu?" tanya Lavina lagi.

"Kelas."

"Aku tunggu di sini nggak boleh?"

"Enggak."

"Kenapa? Kamu mau ke mana sih? Pasti bukan ke toilet kan?"

"Ini toilet cowok, nggak baik kamu berdiri di sini lama-lama."

"Oh, jadi kamu mikirin aku ya? Ah... kamu sweet. Ya udah deh, aku ke kelas. Dadah..."

Senyum Lavina memudar seiring bertambah langkahnya. Dia sebenarnya tahu Arsenio hanya ingin menghindarinya tapi dia tak akan semudah itu menyerah. Apa yang sudah dia dapatkan tak akan mudah dia lepaskan. Dia akan berusaha sekuat tenaga agar Arsenio mau melihatnya, dan hanya melihatnya. Lagipula kata sayang yang kemarin diucapkan Arsenio sudah menjadi penguat pondasi perasaannya saat ini.

"Lavina..." panggil Erlan.

Lavina menoleh ke belakang.

"Ada apa Lan?"

"Name tag lo jatuh."

"Ya ampun, untung lo yang nemuin. Thanks ya."

"Kok lo dari arah sana?" Tunjuk Erlan ke arah barat sementara kelas mereka di sisi timur lift.

"Gue dari toilet."

"Toilet? Bukan toilet cowok kan?" Ledek Erlan.

"Iya dari sana," jawab Lavina santai.

"Ngapain? Walaupun udah nggak tahan jangan sekali-kali masuk toilet cowok."

"Kenapa?"

"Ya bahaya aja. Terkadang cowok pun mulutnya banyak. Nanti lo denger yang aneh-aneh."

"Maksudnya cowok juga suka rumpi di toilet?"

"Tapi rumpian cowok itu beda. Pokoknya jangan ya!"

"Beres... Lagian tadi gue cuma di depan toilet nggak masuk."

"Ngapain? Lo mau ngintip?"

"Enak aja, enggaklah."

"Terus?"

"Rahasia cewek," balas Lavina lalu mengedipkan sebelah mata sampai Erlan terpesona melihat lesung pipinya.

***

Hal yang dinanti di sekolah adalah waktunya istirahat. Seperti saat ini yang dialami Lavina. Berkutat dengan angka dari pagi membuat energinya terkuras. Lavina menarik Lolita dan Widy ke kantin di lantai 2 di mana anak kelas 12 menjadi penguasanya. Memesan bakso dengan double bakso urat kesukaannya dan segelas es jeruk.

"Lo makan apa kesurupan sih?" tanya Lolita.

"Kesurupan. Gue laper banget. Fisika dan Arsenio bikin tenaga gue habis. Kepala gue juga sedikit pening." Lavina bersin setelah selesai bicara.

"Kenapa lagi cowok lo itu? Kenapa nggak udahan aja sih?" Lolita menyerahkan tisu yang dia bawa.

"Jangan! Semua masih bisa dibicarakan baik-baik," seru Widy.

"Stop! Jangan mulai berdebat. Arsenio nggak kenapa-kenapa Lolita Sayang. Cuma tadi gue sempat lari ngejar dia jadi gue laper banget sekarang."

"Ngapain lo ngejar dia?" tanya Widy.

"Kerjaan Lavina kan emang ngejar Arsen. Lo lupa?" balas Lolita dan langsung mendapat jitakan maut dari Lavina.

"Ngeselin lo!"

"Gue ngomong apa adanya kali, Lav."

"Omongan lo selalu bener tapi gue nggak pengen denger," ucap Lavina lalu memasukkan baksonya ke dalam mulut. Mengunyah dan mengabaikan Lolita yang terus ceramah soal Arsen. Lavina sudah kebal dan dia baik-baik saja. Tanpa Lolita mungkin harinya bakal sepi.

"Eh, eh, eh. Itu Arsen sama siapa?" seru Lolita sembari menyikut Lavina.

"Mana?" tanya Widy.

Sementara Lavina langsung bisa melihat keberadaan pacarnya tersayang. Lavina langsung berdiri menghampiri Arsenio dan memisahnya Arsenio dengan cewek di samping kekasihnya.

"Kamu ngapain Lav?" tanya Arsenio.

"Harusnya aku yang tanya dong. Kalian lagi ngapain? Kenapa deket-deketan?"

"Sorry Lav, gue cuma minta bantuan Arsenio buat kerjasama dengan klub gue."

"Bisa kali jangan deket-deket. Jaga jarak tiga langkah. Lagian Arsen kan udah nggak aktif di klub," ucap Lavina yang berdiri di antara mereka.

"Lav...." cukup satu kata dan tatapan maut Arsenio, Lavina bungkam. Tapi bungkamnya tak berlangsung lama.

"Kamu mau duduk di mana? Duduk sama aku aja di sana ya? Nanti aku pesenin jus mangga."

"Iya, nanti aku nyusul." Arsenio menyentil pelan kening Lavina.

"Kenapa nggak sekarang aja? Kalian masih bisa ngobrol di sana."

"Ya udah nanti aja, Ar, kita sambung lagi. Urusin dulu cewek lo."

"Lav..." ucap Arsenio dengan wajah datarnya.

"Kenapa? Aku kan cuma ngajak duduk bareng."

"Iya nanti aku duduk di sana."

"Sekarang atau nggak sama sekali," ucap Lavina sok tegas, tak ingin terlihat lemah.

Mereka saling tatap dengan bibir mengatup rapat. Merasa cukup menunggu Lavina pun angkat bicara. Dia tak akan menang dari Arsenio.

"Ok. It's ok. Terusin aja," ucap Lavina tak lupa dengan senyumnya lalu kembali bersin. Dia mengusap-usap hidungnya yang gatal.

Lavina kembali ke meja tanpa mengubah ekspresinya. Dia masih memasang wajah ceria walau hati merasa kecewa. Dasi merahnya jadi terasa mencekik lehernya karena menahan kesal, dia pun menyeruput es jeruknya.

"Panas ya Lav?" sindir Lolita dan langsung mendapat pelototan maut dari Lavina.

"Enggak, cuma gerah," balas Lavina lalu nyengir, mengambil tisu Lolita, dan mengusap hidungnya.

"Ngapain itu anak kelas sebelas bareng Arsen?"

"Tahu tuh, minta tolong apaan. Udah ah, mending makan bakso bikin kenyang," ucap Lavina.

"Lo kenapa bersin-bersin mulu? Kayaknya lo mau flu," ucap Widy.

"Tahu nih, kayaknya deh. Habis mata udah berasa panas gitu terus idung gatel."

"Minum vitamin, bentar lagi mau ujian jangan sampai sakit lho. Kita itu harus minum vitamin, minum suplemen makanan biar strong, dan banyak istirahat," ucap Lolita.

"Iya bener tuh kata Loli. Kegiatan kita kan udah padet. Jangan sampai sakit. Lo kapan mau mulai les, Lav?" tanya Widy.

"Idih pertanyaan lo Wid, ujung-ujungnya bikin gue makin pening." Sekali lagi Lavina bersin dan merasa hidungnya penuh air setelah memakan kuah pedas baksonya.

"Tapi di antara kita cuma lo yang belum ikut les. Bentar lagi pembukaan pendaftaran SNMPTN lho." Widi mendekatkan tisu Lolita.

"Minggu depan, tapi rada males. Gue udah ngerasa capek sekolah seharian. Tapi Arsen juga nyuruh gue les mulu, Mama, eh ditambah lo."

"Bagus dong kalau dia nyuruh lo les."

"Iya sih. Dia aja les dari awal masuk kelas 12. Rajin banget sampai nggak ada waktu buat kencan."

"Masih mikirin kencan, bentar lagi ujian woi," seru Lolita, menjitak kepala Lavina.

"Capek tahu udah sekolah seharian masih ditambah les. Bayangin aja aku udah capek. Mama juga udah ribut nyuruh gue belajar terus. Kenapa berat banget sih jadi siswi kelas 12?" Lavina mengerucutkan bibirnya mengingat beban di depan mata semakin besar.

"Lo jadi mau masuk jurusan arsitektur?" tanya Widy.

"Enggak tahu. Bingung. Papa minta gue masuk kedokteran, padahal gue nggak suka bau rumah sakit."

"Yaelah Lav, lo aneh. Orangtua punya rumah sakit tapi nggak suka bau rumah sakit," ucap Lolita.

"Ya gimana dong, passion gue bukan jadi dokter. Nggak cukup apa abang gue jadi dokter, masa gue jadi dokter juga."

"Emang passion lo apa?" tanya Lolita.

"Passion gue bikin gelang," jawab Lavina sembari sesekali mengunyah bakso di dalam mulutnya.

"Terus lo mau kuliah apaan? Nggak ada jurusan bikin gelang, aneh-aneh aja. Lo ambil manajemen aja biar bisa ngembangin bisnis lo."

"Bisa-bisa gue ambil jurusan tataboga saking pusingnya nentuin jurusan."

"Bisa masak aja enggak, sok-sokan masuk jurusan tataboga."

"Karena nggak bisa jadi kuliah tataboga biar bisa," balas Lavina tak mau kalah, bikin gemas Lolita dan Widy.

"Lo harus tentuin dari sekarang Lav. Jangan sampai udah waktunya daftar lo masih bingung," ucap Widy.

"Iya Widy Sayang. Lo emang yah paling pinter ceramah dan bikin gue nurut."

Lavina mencubit kedua pipi Widy dengan gemasnya. Memiliki teman seperti Widy dan Lolita memang luar biasa. Mereka bersama saling menyemangati dalam kebaikan. Lavina jadi merasa tak sendiri.

"Minum ini aja."
Arsenio tiba-tiba meletakkan segelas jeruk hangat di depan Lavina.

"Eh, tapi aku udah pesen es jeruk."

"Es jeruknya buat aku aja."

Lavina bengong tiba-tiba otaknya lemot. Baru membicarakan soal kuliah lalu tiba-tiba Arsenio menyerahkan jeruk hangat, mengambil minumannya yang tinggal separuh, kemudian pergi begitu saja tak menunggu jawabannya. Maksudnya apa?

"Arsen ngapain nuker minuman lo, Lav? Minuman lo kan udah lo minum," tanya Lolita.

"Nggak tahu. Dia juga ngasih gitu doang, terus pergi gitu? Kan gue pengennya dia duduk di sini," gerutu Lavina.

"Cowok aneh, seaneh pacarnya," ucap Lolita, tertawa pelan.

"Lo kan bersin-bersin dari tadi, Lav. Mungkin itu alasannya lo dikasih jeruk anget. Gue mau punya cowok kayak dia," seru Widy, gemas.

"Masa sih? Ah... Widy, lo bikin gue girang deh."

"Ya kali ngasih minum pacar gitu doang bikin lo pengen punya pacar macam Arsen."

"Ih, sirik aja lo, Lol. Udah tuh abisin bakso lo," Lavina menjulurkan lidahnya pada Lolita.

"Emang ya biasa nggak diperhatiin sekalinya dikasih jeruk anget doang berasa dikasih berlian. Selamat ya, akhirnya Arsen peka juga," ucap Lolita diakhiri dengan tawa dan Widy pun ikut menahan tawa.

***
Happy Monday.
Semoga Senin kita menyenangkan.
Satu kata untuk Lavina, bodoh hahaha...
Satu kata untuk Arsen, ...........

Love, ai

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro