Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23

Akhirnya Lavina tumbang juga, tak ada lagi daya untuk beranjak dari tempat tidur. Dia tidur sejak pulang dari sekolah tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu. Kini langit mulai gelap pertanda malam akan segera datang. Tapi Lavina masih enggan untuk bangkit.

"Lav, Mama masuk ya?" Marisha mengetuk pintu Lavina terlebih dahulu barulah dia masuk.

"Gimana Sayang? Masih nggak enak badannya?" tanya Marisha sembari memegang pipi Lavina.

"Lav pusing, Ma."

"Tadi obatnya udah diminum kan?"

"Udah Ma."

"Mama cek dulu ya? Demammu masih belum turun kayaknya."

Melihat angka di termometer Marisha sempat melebarkan matanya.

"Lav, kita ke rumah sakit aja ya? Suhu badanmu masih 38.1 cuma turun dikit dari pertama dicek. Paracetamolnya udah diminum kan?"

"Udah Ma. Lav nggak mau ke rumah sakit. Nanti juga turun kok, Ma. Tunggu aja, Lav cuma kecapekan."

"Kamu jangan terlalu menforsir pikiran sama tenaga. Santai aja yang penting fokus. Mama sama Papa nggak minta kamu juara satu di ujian nasional. Soal kamu mau ikut SBMPTN belajar pelan-pelan aja daripada sakit begini."

"Ya, Ma."

"Ayo Mama bantu bangun. Ganti baju dulu, seragammu banyak kumannya."

"Makasih ya Ma."

"Iya, Lav." Marisha mencarikan baju tidur untuk Lavina.

"Ma, kalau Lav nggak lolos SBMPTN gimana?"

"Jangan pesimis. Asal kamu sudah berusaha dan berdoa, Mama dan Papa nggak akan kecewa. Usaha dan doa nggak akan mengkhianati hasil. Ok?"

"Besok Lav nggak masuk sekolah dulu boleh, Ma?"

"Iya. Besok Mama hubungi wali kelasmu. Cepat ganti bajumu, bentar lagi papa pulang. Dimarahin Papa nanti kalau lihat kamu masih pakai seragam."

"Ma..."

"Apa?"

"Mama sama Papa dulu ketemunya di mana?"

"Kok tahu-tahu nanya gitu?"

"Mau tahu aja."

"Sakit kok nanyanya aneh-aneh. Lagi ada masalah sama Arsen?"

"Enggak Ma."

"Yakin?"

"Beneran Ma."

"Syukur deh. Tadi Arsen juga telpon Mama nanyain kamu udah sehat belum."

"Arsen nelpon Mama?" Seketika Lavina membelalakkan matanya.

"Iya."

"Kenapa malah telpon Mama? Harusnya kan telepon Lav. Aneh!"

"Mungkin nggak mau ganggu kamu. Lagian kamu pulang sekolah juga langsung tidur. Arsen sering kok hubungin Mama nanyain kamu."

"Yang pacarnya kan Lavlav bukan Mama."

"Kamu cemburu juga sama Mama?" Marisha menyentil hidung Lavina.

"Jadi Arsen sering hubungi Mama?"

"Iya."

"Nanya apa Ma?"

"Ya, nanya kamu lagi ngapain."

"Kok Arsen malah nanya Mama sih? Arsen itu jarang chat Lav, Ma. Kalau Lav chat balasnya lima tahun kemudian."

"Dia nggak mau ganggu kamu katanya."

"Ya nggak mungkin, masa chat pacar ganggu. Alesan aja, ngeselin."

"Oh, jadi kalian lagi marahan. Anaknya Mama lagi ngambek rupanya. Pantes akhir-akhir ini Arsen jadi sering nanya Mama."

"Besok kalau Arsen chat Mama lagi jangan dibalas. Ya Ma ya?"

"Padahal Arsen cuma pengen kamu fokus belajar lho. Biar nilai rapormu bagus-bagus."

"Arsen kan bukan papa, ngapain mikirin nilai rapornya Lavlav? Pokoknya kalau Arsen hubungi mama lagi, jangan di balas."

"Iya, Sayang. Ya sudah kamu tidur lagi aja. Jangan buka ponsel terus lho. Taruh di meja aja ponselnya."

"Iya, Ma."

Bibir mengatakan bahwa ia akan meletakkan ponsel ke meja tapi nyatanya Lavina langsung membuka ponsel, mengecek. Ternyata tak ada pesan dari Arsenio. Fix, Lavina kecewa berat. Walaupun mendengar cerita mamanya bahwa Arsenio sering menanyakannya tetap saja Lavina kesal. Dia tetap ingin seperti pasangan lain yang diperhatikan, dan pacaran secaran normal. Bukan seperti Arsenio yang super aneh. Ingin sekali Lavina masuk ke dalam otak Arsenio, mencaritahu apa yang sebenarnya dipikirkan mantan pacarnya itu. Karena memakai cara bertanya langsung hasilnya nihil. Dipikir ribuan kali Arsenio tetaplah cowok nggak normal. Lavina baru menyadarinya.

***
Keadaan Lavina membaik, dia sudah bisa ikut makan malam bersama di ruang makan. Bahkan dia sudah mandi walau wajah masih lesu. Patah hati ternyata memiliki efek lebih dahsyat dari yang dia bayangkan. Jika begini terus mampukah Lavina bertahan? Karena cinta pertama ternyata sulit dilupakan. Cinta pertama seolah mengakar kuat di hatinya. Tak bisa lagi dia bermanja-manja ria pada Arsenio yang cuek.

Bimbang Lavina saat ini. Jika tadi siang dia masih teguh pendirian ingin menjauh. Tapi malam ini dia rindu. Lebih baik cinta sendiri dari pada kehilangan kebiasaan. Seminggu lebih menahan diri justru berujung sakit. Lavina mendesah. Haruskah dia menghubungi Arsenio lebih dulu?Lavina inginmendapatkan pejelasan soal Arsenio yang sering menghubungi mamanya daripada dirinya.

"Kenapa Lav?" tanya Haidar yang sejak tadi meperhatikannya.

"Nggak pa-pa, Pa."

"Masih pusing?"

"Biasa main-main doang kerjaannya. Sekarang belajar terus, jadi kaget ya?" Ledek Galan.

"Ih... Abang!"

"Jangan memaksakan diri, Lav. Kesehatan itu paling penting."

"Iya, Pa. Lav sempat kehujanan kemarin jadi masuk angin."

"Besok istirahat dulu, makan yang banyak biar fit lagi. Jangan sampai belum sembuh sudah dipaksakan. Nanti sakitmu makin menjadi. Kamu nggak bisa ikut ujian, kamu yang rugi."

"Beres Pa."

"Kamu yakin, Lav mau ambil manajemen?"

"Yakin. Memang kenapa Bang?" Intonasi Lavina jelas terlihat ragu.

"Abang nggak yakin aja kamu belajar IPS dalam waktu singkat. Yang ada kamu nggak fokus atau justru badan ngdrop kayak sekarang karena otakmu nggak nyampe."

"Abang ih.... jahat! Itu Pa, Abang mulutnya jahat."

"Abang tuh realistis. Kamu cuma punya waktu beberapa bulan doang. Yakin bisa menguasai? Kecuali kamu udah persiapan dari jauh-jauh hari. Kamu les aja baru mulai padalah UN tinggal menghitung hari. Abang bener kan, Pa?"

"Abang bikin Lav down aja. Lav kan jadi nyesel nggak prepare dari kemarin-kemarin."

"Nyesel boleh tapi jangan berlarut-larut. Sekarang saatnya action untuk sesuatu yang telat kamu pikirkan, Lav." Haidar tersenyum di akhir kalimat.

"Lav jadi galau lagi."

"Ujian di depan mata masih nggak jelas mau kuliah apa," ucap Galan seraya menggelengkan kepala. Sebenarnya dia tak heran karena Lavina memang orang yang jarang melakukan persiapan jangka panjang. Dia melakukan apa yang ingin dilakukan begitu saja.

"Abang sih bikin Lav bimbang lagi."

"Lho kok Abang?"

"Terus Lav bagusnya kuliah apa Pa, Ma?"

"Pendaftaran SNMPTN masih dibuka. Kamu masih punya kesempatan. Kamu mau jadi apa?"

Lavina bingung, dia menggeleng pelan.

"Lav paling nggak bisa disuruh milih, hal tersulit di dunia melebihi fisika."

"Kamu benar-benar nggak punya bayangan?" tanya Haidar.

"Awalnya Lav mau ambil manajemen, tapi belajar IPS sulit, Pa. Lav merasa nggak mampu, bukan hanya soal otak tapi juga fisik. Rasanya capek banget belajar double. Sekarang Lav jadi galau."

"Ambil swasta aja kalau gitu. Gimana?"

"Lav nggak mau masuk swasta, Lav maunya masuk universitas negeri."

Haidar, Marisha, dan Galan menatap Lavina dengan tatapan speechless. Mereka kehabisan kata-kata untuk Lavina.

"Kok malah pada diam? Bantuin Lav dong."

"Lav, kamu kapan sih nggak aneh? Terus Abang harus ngomong apa? Masuk kedokteran nggak mau, mau masuk manajemen otak nggak mampu, tapi maunya masuk kampus negeri? Cekek aja Abang."

"Hih Abang! Apa Lav masuk kedokteran aja ya Ma, Pa? Lav nilainya bagus-bagus kecuali fisika, nilai fisika aja yang pas di ambang batas tuntas."

Galan seketika tertawa lepas. "Nilai pas di ambang batas tuntas aja bangga. Motivasinya masuk kedokteran apa? Kan kemarin kamu nggak mau jadi dokter."

"Nggak ada, ya dari pada bingung, Bang."

Seketika semua tertawa dengan jawaban Lavina.

"Yakin bisa masuk kampus negeri kalau pilih jadi dokter?" Ledek Galan.

"Yakin! Lav nilai rapornya bagus-bagus tahu Bang. Kemarin latihan ujian di tempat les juga bagus nilainya."

"Oh... emang tahan masuk rumah sakit? Sakit aja nangis nggak mau dibawa ke rumah sakit."

"Lav akan buktiin kalau Lav bisa! Kan kata Papa kita harus berani menghadapi," ucap Lavina tegas. Lavina memang benci rumah sakit. Bukan karena trauma tapi dia beranggapan rumah sakit adalah gudangnya penyakit, banyak kuman, dan bau tak enak jadi dia merasa pusing saat masuk ke rumah sakit. Apalagi rumah sakit itu identik dengan hantu di pikirannya, membuat Lavina semakin ngeri.

"Kita lihat aja besok, dua hari lagi berubah pikiran atau enggak."

"Hih, Abang dukung Lav sekali-kali kenapa sih? Semangatin dong, bukannya bikin Lav pesimis."

"Iya, iya. Abang dukung. Besok mulai belajar masuk rumah sakit. Lagian alesanmu takut rumah sakit juga receh."

"Benar kata Abang. Kalau memang mau jadi dokter, belajar berani masuk rumah sakit. Sesuatu yang kita takuti cobalah dihadapi. Kalau kita bisa melewati pasti hasilnya luar biasa."

"Iya, Pa. Berarti Sabtu Lav nggak perlu les lagi ya? Asyik bisa tidur-tiduran. Lav capek lima hari pulang sore terus. Eh, Sabtu masih aja les."

"Jadi kamu mau kuliah apa, Lav?" tanya Galan.

"Kedokteran. Besok Lav daftar SNMPTN" jawab Lavina, mantap.

"Semoga ini yang terakhir," balas Galan dengan ekspresi meledek.

"Bang! Lav lempar apel nih."

"Yakin jadi dokter? Nggak takut banyak kuman, bau desinfektan?"

"Sebenarnya Lav punya cerita, kemarin Lav baru bantuin orang tabrak lari. Tapi Lav cuma bisa panik. Kalau Lav jadi dokter pasti Lav bisa kasih pertolongan pertama, setidaknya bisa bantuin mereka bukannya nambah panik orang lain."

"Luar biasa. Semoga pemikirannya bertahan lama ya, Lav?"

"Abang lama-lama kucekek nih. Semangatin Lav kenapa?"

"Iya Abang semangatin. Jaga kesehatan yang paling penting."

Lavina tersenyum lebar. Kali ini dia yakin tak akan ganti pilihan lagi. Selain sesuai jalur jurusannya sehingga mempermudah dia masuk kampus pilihannya, dia juga teringat betapa senangnya kemarin setelah menolong orang lain. Melihat dokter yang cekatan menangani pasien di UGD lalu mendengar berita orang yang Lavina bantu selamat semakin meyakinkannya, menjadi dokter itu keren dan luar biasa.

"Jaga kesehatan."

"Iya Bang, iya."

"Arsen kan jadi nanya Abang mulu."

"Arsen pacar Mama sama Abang apa gimana sih? Bukannya chat Lavlav malah chat Abang sama Mama."

"Males kali chat kamu nanti nggak ada berhentinya," balas Galan.

Lavina mengerucutkan bibirnya lalu melirik Haidar. "Papa kenapa senyum-senyum?"

"Kamu lagi marahan sama Arsen?" tanya Haidar.

"Enggak," balas Lavina, cepat.

"Udah Pa diiyain aja. Cewek kalau bilang enggak itu sebenarnya iya tapi nggak mau ngaku." Galan bersuara.

"Abang sok tahu."

"Bocah sukanya ngambek mulu. Sekarang kenapa? Arsen senyum sama cewek lain?" Ledek Galan.

"Enggak. Udah ah jangan bahas Arsen terus nanti kupingnya panas."

"Kamu tuh jangan mintanya diperhatiin terus, gantian perhatian dong sama Arsen."

"Abang sok tahu. Lav perhatian. Arsen aja yang cuek. Chat balasnya lama banget, giliran balas nyuruh belajar. Dia pacar apa papa? Untung Lav sayang jadi tahan aja."

"Kamu diperhatiin malah bilang cuek. Arsen nyuruh belajar biar kamu nggak kesusahan buat nyari tempat kuliah. Biar bisa lolos SNMPTN. Papa suka sama pemikiran Arsen yang jauh ke depan. Karena itu papa ngebolehin kamu pacaran," ucap Haidar.

"Tuh dengerin papa. Mana ada cowok zaman sekarang pemikirannya jauh begitu. Kamu itu yang nggak perhatian. Kamu tahu nggak perusahaan orangtuanya Arsen lagi bermasalah?"

"Bermasalah gimana Bang?" Seketika Lavina penasaran.

"Jadi kamu nggak tahu?"

Lavina menggeleng.

"Kalian pacaran yang dibahas apaan?"

"Ujian sama udah makan belum."

Haidar dan Marisha hanya senyum sementara Galan terkekeh.

"Kenapa malah ketawa sih?"

"Lucu aja dengan gaya pacaran kalian."

"Memang Abang pakai gaya apa? Gaya kupu-kupu atau pakai gaya katak?"

"Dikata renang," balas Galan.

"Terus bisnis papanya Arsen kenapa?"

"Tanya Papa aja tuh yang lebih ngerti."

"Emang kenapa Pa?"

"Namanya bisnis nggak selalu mulus Lav. Dari akhir tahun bisnis papanya Arsen ada masalah tapi terakhir papa ketemu Papanya Arsen minggu lalu sudah mulai stabil lagi."

"Itu kenapa Pa?"

"Ada permainan licik rekan kerja papanya Arsen. Yang penting sekarang sudah kembali membaik."

"Kok Arsen nggak cerita ya?"

"Kamu aja kali yang nggak peka sama perubahan Arsen, Lav. Kamu sibuk sama pemikiranmu," ucap Galan.

"Masa sih?"

Lavina kembali mencoba mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Tapi tak ada ingatan yang menjadi sebuah tanda. Lalu sebuah ingatan tiba-tiba datang, mobil. Ya sejak awal tahun mobil Arsenio ganti. Si Mini kesayangan Arsenio jadi mobil biasa. Meskipun tetap mobil bagus tapi untuk ukuran Arsenio, mobil yang sekarang Arsenio pakai termasuk mobil biasa. Haruskah sekarang Lavina menanyakan kabar Arsenio? Lavina bimbang.

***

Tarik napas... Hembuskan perlahan.
Part ini Arsen emang nggak muncul.
Tapi tunggu Senin depan ya?
Tetep suka kan? Makasih untuk bintangnya. Sayang kalian semua...
Oh ya kalau aku bikin giveaway lagi hadiahnya gelang, foto, dan ttd Lavina ada yang mau ikutan?

Love, ai ainunufus

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro