22
"Kamu sakit?"
Ingin Lavina menjawab bahwa hatinya yang sakit. Tapi Lavina memilih diam, lalu tersenyum tipis.
"Sorry, aku eh maksudnya gue nggak sengaja."
"Beneran kamu nggak pa-pa?" tanya Arsenio yang masih memegang lengan Lavina.
"Iya. Sorry ya? Beneran aku eh gue nggak sengaja. Tadi gue mau ngejar Widy," ucap Lavina dengan kepala menoleh ke sana-ke mari mencari keberadaan temannya yang satu itu.
Melihat Arsenio yang hanya mengangguk lalu diam, Lavina pun melangkah pergi. Dia tak mau Arsenio merasa terganggu karena mengira dia memang berniat nabrak. Lavina benar-benar tak akan melakukan hal seperti dulu, melakukan segala hal demi bisa dekat dengan Arsenio.
"Lavlav..."
"Ya?" Lavina menoleh di depan lift yang berada tepat di samping kantin.
"Lo manggil gue?" tanya Lavina, kaget Arsenio berlari ke arahnya.
"Punya kamu." Arsenio menyerahkan name tag Lavina.
"Kok bisa sama kamu, lo maksudnya?" Lavina masih belum terbiasa menggunakan lo gue dengan Arsenio.
"Aku kamu aja jangan lo gue. Aku nggak suka."
"Ya... makasih ya." Tangan Lavina yang gemetar segera dia sembunyikan setelah menerima name tag-nya.
Buru-buru Lavina masuk ke dalam lift saat pintu lift terbuka. Dia ingin segera bersandar pada dinding, mencari penopang ketika kakinya ikut gemetar berdiri dekat Arsenio. Mantan pacarnya itu masih jadi sumber segala rasa baginya. Lavina menerobos memilih sudut lift, menghindari berdekatan dengan Arsenio demi kesehatan jantungnya.
Lavina menutup mata ketika suara cewek memanggil nama Arsenio. Dia tak siap melihat siapa cewek yang disukai mantan kekasihnya. Bahkan Lavina langsung membalikkan badan dan menabrak cowok, melihat dari bentuk dasi merah yang memanjang. Matanya melirik name tag, Erlan Adhyastha.
"Mati!" batin Lavina. Dia tak berani menengadah atau detik itu juga melihat wajah Erlan dari dekat. Lavina yakin akan menjadi awkward moment.
"Lo ngapain?" bisik Erlan dan dibalas gelengan Lavina.
"Lav..." panggil Erlan lagi.
Tapi Lavina malah menutup telinganya, puncak kepalanya disandarkan pada dada Erlan. Lavina masih tak bisa baik-baik saja sendirian dengan pikirannya sendiri. Kadang hatinya mengatakan mampu tapi di sisi lain kadang Lavina bertanya-tanya di hati Arsenio dia siapa, dan menyesalkah Arsenio setelah dia tinggalkan?
"Hei, udah nyampe."
Erlan memegang kedua bahu Lavina dan memutarnya. Lavina membuka mata melihat ke sekeliling yang ternyata semua orang melihat ke arahnya termasuk Arsenio. Lavina nyengir seperti orang bodoh sementara Erlan menuntunnya keluar lift.
"Lo kenapa barusan?" tanya Erlan.
"Pusing, iya gue pusing."
"Pusing ke UKS aja. Ayo!"
"Sekarang udah enggak. Tadi aja pusingnya. Sekarang udah sehat. Lo lihat kan gue masih bisa senyum?"
"Lo nangis aja masih bisa senyum," balas Erlan dengan senyuman lebar seperti biasanya. Senyuman yang mampu membuat siapa saja merasa nyaman.
Lavina nyengir, tapi bibirnya menutup saat matanya menangkap Arsenio tengah melihat ke arahnya. Jantungnya berdebar semakin cepat ketika Arsenio melangkah mendekatinya. Lavina sempat melangkah mundur ketika Arsenio berdiri cukup dekat di hadapannya. Matanya menatap ragu mantan kekasihnya lalu melirik Erlan. Lavina memberanikan menatap Arsenio lagi tapi Arsenio tak lagi melihatnya melainkan menatap Erlan.
"Kenapa?" tanya Erlan pada Arsenio.
Arsenio membalas pertanyaan Erlan dengan senyum tipis lalu mengubah arah pandangan pada cewek imut di depannya, dan mengusap kepala Lavina.
"Ayo ikut!"
"Ke mana?" tanya Lavina terbata efek syok Arsenio bicara padanya.
Tak membalas, Arsenio justru meraih pegelangan tangan Lavina dan mengajaknya turun ke lantai 1. Lavina semakin gugup di sebelah Arsenio apalagi tangannya masih dipegang. Makin panas dingin Lavina dibuatnya.
"Kita mau ke mana sih?" tanya Lavina lagi karena Arsenio mengajaknya ke gedung ruang ekstra kulikuler.
"UKS?" Lavina terheran-heran Arsenio ternyata mengajaknya ke UKS di mana ruangannya tepat berada di sebelah ruang-ruang ekstra kurikuler.
"Ya. Masuklah."
"Ngapain ke UKS?"
Arsen mengeluarkan ponselnya, dan menyodorkan tepat di depan wajah Lavina. Wajah pucat dengan kantung mata panda.
"Hi... mukaku serem banget."
"Masuk dan minta obat penurun panas. Badanmu panas." Arsenio mengangkat tangan Lavina yang terasa hangat di tangannya.
"Aku nggak panas." Kilah Lavina padahal dia sebenarnya sudah merasa telinga kanannya sakit, salah satu tanda kalau kondisinya menurun. Banyak pikiran, dan beban sekolah membuat kesehatannya menurun karena tak diimbangi hidup sehat. Apalagi Lavina sering tidur malam karena menangis.
Arsenio menyentil kening Lavina. Masuk ke dalam UKS dan meninggalkan Lavina di luar. Tak selang beberapa lama Arsenio keluar menyerahkan sebutir obat berwarna putih dan air mineral gelas.
"Minum."
"Kenapa kamu perhatian?" tanya Lavina setelah meminum obatnya.
"Dari dulu aku begini," jawab Arsenio, menatap tepat kedua matanya.
Lavina memutuskan pandangan. Bagaimana bisa tahan dia melihat kedua mata Arsenio yang memiliki tatapan tajam dan sukses bisa membuatnya kehilangan fokus. Gagal sudah move on-nya hanya karena tatapan.
"Perhatian definisimu itu yang bagaimana?"
Lavina terdiam, ingin menjelaskan tapi tak tahu harus memulai dari mana. Haruskah dia mengatakan yang seperti si A, si B, dan si C?
"Yang banyak bicara dan bikin kamu tertawa? Atau yang seperti Rangga, Orion, atau Erlan?"
"Yang pasti bukan yang kayak kamu," jawab Lavina meski sempat kaget Arsenio menyebutkan nama cowok-cowok kece di Nuski.
Lavina tak menunggu balasan dari Arsenio dan memilih meninggalkan cowok jangkung itu terlebih dahulu. Cukup dia merasa dicinta tapi kenyataannya hanya khayalannya. Cukup dia merasa diperhatikan tapi kenyataannya hal itu semu.
***
Sepanjang hari Lavina lesu. Istirahat kedua pun dia hanya di dalam kelas. Dia benar-benar sakit, meski sudah meminum penurun panas dia masih merasakan kepalanya berat. Sepertinya dia bukan sekadar panas tapi kurang tidur.
"Yakin lo nggak mau ke UKS?" tanya Lolita.
"Males turun," jawab Lavina yang menempelkan pipinya ke meja. Untuk sekadar mengangkat kepala saja dia malas.
"Apa perlu gue gendong?"
"Kayak lo kuat aja. Udah tinggal aja gue, sana ke kantin. Kalian pasti laper."
"Gue ke kantin biar Widy yang nemenin lo. Lo mau makan apa?"
"Gue nggak pengen makan apa-apa."
"Lo harus makan. Lo mau dikira sakit patah hati karena Arsen? Nggak banget! Lo harus buktiin lo baik-baik aja meskipun aslinya enggak," ucap Lolita.
"Hish... Loli. Jangan gitu dong," ucap Widy.
"Gue selalu bilang kenyataan Wid. Meskipun pahit, tapi itu kenyataannya. Gue tahu Lavina itu nggak bisa lepas dari Arsen. Tapi apa mau begini terus? Kalau ngerasa nggak mampu ya udah balikan. Tapi kalau Lavina punya keyakinan bisa berdiri sendiri, tunjukin."
"Apa lo mau bantuin gue buat balikan?"
"Lo nggak perlu minta bantuan gue buat balikan."
"Maksud lo?" Lavina mengangkat kepalanya.
"Gue nggak tahu apa isi kepala Arsen. Tapi gue yakin kalau lo minta balikan dia pasti bilang iya."
"Kok lo bisa seyakin itu?"
"Anggap aja gue cenayang. Kalau lo pengen ngerasain gimana rasanya disayang dalam arti sama seperti pasangan lain lo hanya butuh buka mata lebar-lebar. Tapi kalau lo merasa cukup dengan cara Arsen sayang sama lo, lo hanya butuh datengin Arsen. Gue nggak tega lihat lo murung terus."
"Lo ngomong apa sih? Gue pusing tahu omongan lo muter-muter nggak jelas."
"Sudahlah nggak udah dipikir. Gue ke kantin nih. Lo mau makan apa?" ucap Lolita.
"Lav, ini ada titipan buat lo." Salah satu teman sekelas Lavina menghampiri.
"Apaan?"
"Jeruk anget sama dorayaki."
"Dari?"
"Cowok lo."
"Cowok gue?"
"Gosip lo putus itu bohongan ya?" tanya teman sekelasnya.
"Hah?" Lavina makin bingung. Dia tak bisa berpikir lebih.
"Ck, itu dari Arsen," seru Lolita.
"Masa sih?" Lavina ragu.
"Siapa lagi yang suka ngasih jeruk anget sama dorayaki cokelat kalau bukan dia? Heran gue dari dulu nggak berubah. Ngasih sendiri kenapa sih? Kenapa harus dititip-titipin?"
Harusnya Lavina senang tapi dia justru jadi sedih. Dia bingung dengan sikap Arsenio. Naik-turun, panas-dingin tak jelas. Menarik ulur perasaannya.
"Ke kantin aja yuk. Gue malas makan di kelas."
"Lo yakin?" tanya Widy dan Lavina mengangguk.
Walaupun sebenarnya dia ingin sekali bersorak senang melihat dorayaki dari Arsenio. Tapi dia mengeraskan hati bahwa dia bisa sendiri, bahwa dia baik-baik saja, bahwa dia bisa tanpa Arsenio.
***
Lolita IPA 3
Jemput Lavina sekarang juga di tempat Les kalau lo sayang dia!
Ok
Lo nggak tanya kenapa gue minta lo jemput Lavina?
Beberapa jam berikutnya
Lavina pulang sama Erlan
Kok bisa? Lo gimana sih? Udah gue kasih kesempatan juga.
Dia naik mobil Erlan
Terus lo diem aja gitu? Lo sayang nggak sih sama Lavina?
Sayang
Sayang kenapa putus? Busyet lo ye bikin gue geregetan. Gila ya Lavina sabar ngadepin lo.
Lavina mutusin gue dengan alasan mau fokus belajar.
Detik berikutnya ponsel Arsenio berdering.
"Halo," sapa Arsenio.
"Eh, Ar. Lo manusia bukan sih? Gila lo ya Lavina ngajak putus dengan alasan nggak masuk akal lo iyain gitu aja. Lo sayang nggak sih sama Lavina?"
"Sayang"
"Eh, bisa kali ngomong panjangan dikit. Lagian nggak bayar," gerutu Lolita.
"Iya gue sayang"
"TERUS??" tanya Lolita tak sabaran.
"Gue pikir Lavina emang butuh fokus buat ujian."
"Menurut lo sekarang dia fokus ujian gitu?"
"...."
"Arsen, denger ya. Gue tuh bukan benci sama lo. Gue cuma pengen lo kayak cowok normal lainnya yang punya pacar. Perhatian dikit kali sama Lavina kalau emang lo sayang."
"Gue merhatiin Lavina"
"Merhatiin gimana? Lo aja cuek gitu"
"Gimana?" tanya Arsen balik.
"Lo pakai nanya gue balik. Lha lo yang gimana?"
"Gue malu."
"Malu gimana maksud lo?"
"Gue malu kalau harus terang-terangan."
"Jelasin yang panjang bisa nggak?
Gue bukan Lavina yang bisa paham sama lo yang cuma kedip."
"Tiap Lavina natap gue aja gue nggak berani natap balik lama-lama."
"Hah?" Lolita syok tiba-tiba.
"Gue takut, gue tahu gue cemen."
"Heh, Ar. Ngomong yang jelas kenapa sih jangan sepenggal-sepenggal. Gue nggak bisa baca pikiran lo."
"Kalau kami beda kampus gue nggak bisa. Sebenarnya bukan Lavina yang nggak bisa hidup tanpa gue. Tapi gue yang nggak bisa jauh dari dia. Karena itu gue harus mastiin nilai Lavina bagus tiap semester."
"Hah?"
Di sini Lolita mulai paham maksud Arsenio. Dia tahu Arsenio cowok cerdas yang nggak perlu belajar mati-matian cuma buat UN atau masuk kampus pilihannya meski Arsenio bukan juara olimpiade. Tapi Lavina adalah cewek yang butuh kerja keras untuk bisa menyamakan otak dengan Arsenio.
"Tapi lo liburan kemarin aja nggak ketemu Lavina biasa aja."
"Kata siapa gue biasa?"
"Muka lo biasa aja."
"Gue seneng banget akhirnya bisa lihat dia."
"Masa? Kenapa lo nggak hubungi dia?"
"Gue sibuk pindahan rumah."
"Lo pindah rumah?"
"Iya."
"Ke mana?"
"Ada lah."
"Ya udah, bukan urusan gue juga. Tapi lo juga nggak ngebolehin Lavina ambil jurusan yang sama kayak lo. Kalau kayak yang lo bilang harusnya nggak gitu dong."
"Gue nggak mau egois, tante Marisha juga minta gue buat nyemangatin Lavina masuk kedokteran."
"Ya, ampun Arsen. Ternyata lo... Ah gue kehabisan kata-kata. Terus lo kenapa nggak suka chat Lavina duluan?"
"Iya gue akuin gue salah. Gue susah ngilangin kebiasaan gue yang nggak suka pegang HP."
"Tapi lo dichat juga balasnya lama."
"Gue nggak suka chat-chatan. Sekalinya dibalas Lavlav pasti balas terus-terusan."
"Ya normal kali namanya juga pacaran ya chat-chatan. Mau lo, Lavina chat cowok lain?"
"Nggak."
"Enggak ya lo chat-chatan dong."
"Kapan Lavina belajar? Sementara gue pengen dia masuk di kampus yang sama kayak gue meski beda jurusan."
Lolita mengembuskan napas panjang.
"Harusnya lo cerita sama siapa kek biar lo nggak kaku-kaku amat jadi cowok. Biar lo ada yang ngajarin gimana jadi pacar yang normal."
"Gue nggak mau cerita sama cewek, Lavina bisa sakit hati. Cerita sama cowok kayaknya bakal sama aja nggak bisa ngerti cewek."
"Lo pikir gue bukan cewek?"
"Tapi lo duluan yang tanya gue."
"Hais... Gemes gue sama lo. Aneh banget sih jadi cowok. Terus sekarang lo mau gimana?"
"Ya kayak biasanya."
"Siap-siap aja ditikung Erlan."
"Gue tahu Erlan suka Lavina dari kelas X."
"Jadi lo tahu?"
"Ya"
"Kenapa lo diem aja?"
"Gue harus gimana? Marah? Gue nggak bisa marah sama Lavlav."
"Tapi Erlan kan. Aduh apa ya istilahnya?"
"Mereka sering bareng tapi gue percaya sama Lavina."
"Aduh, Ar mendadak gue migrain denger cerita lo. Ternyata oh ternyata. Ya udah deh sekarang terserah lo. Oh ya sebelumnya gue minta maaf ya?"
"Buat?"
"Ya gue nggak tahu kalau lo sesayang itu sama Lavina. Gue sering sebel sama lo. Pokoknya gitu deh."
"Ya."
"Ya apaan?"
"Ya gue maafin."
"Makasih"
"Oh ya pesan gue nih. Cobalah tunjukin perasaan lo jangan malu. Lavina aja nggak pernah malu nunjukin perasaan dia sama lo. Karena orang yang sedang jatuh cinta itu sebenarnya bikin ngiri yang lihat."
"Oke. Makasih."
"Ah ya sudah lah. Capek ngomong sama lo yang perkata seolah bayar mahal. Dadah..."
"Ya."
****
Nggak berpaling ke lain hati kan?
Part Arsen Lavina kembali.
Udah tahu siapa yang lebih nggak peka kan? Nah, kalau punya pasangan kayak Arsenio mungkin kamu harus lebih peka. Hihihihi
Udah tahu kan kemarin Arsenio ke tempat les jemput siapa?
Udah tahu kan siapa yang nyuruh Arsenio jemput? *Loli is the best!!
Jangan lupa bintangnya ya... makasih.
Moga hari Senin kalian menyenangkan.
Love, ai
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro