21
Bolehkan Lavina berharap saat melihat Arsenio datang ke tempat les Lavina? Benarkah Arsenio menjemputnya? Tak ingin berujung kecewa, Lavina yang melihat Erlan langsung mendekati teman sekelasnya itu.
"Lan, gue nebeng boleh?"
"Lo nggak jadi dijemput abang lo? Katanya tadi udah dijemput," tanya balik Erlan yang sebelumnya sudah menawarkan untuk mengantarkan pulang.
"Enggak. Boleh ya?"
"Iya. Bentar gue ambil payung dulu. Lo tunggu di sini."
"Iya."
Lavina ketakutan saat melihat Arsenio turun dari mobil. Dia tak mau melihat hal yang tak ingin dia lihat seperti melihat Arsenio menjemput cewek lain, misalnya. Lavina pun lari mengejar Erlan menuju mobil putih milik Erlan. Buru-buru Lavina masuk dan membuat Erlan kaget.
"Gue kan nyuruh lo nunggu kenapa malah ujan-ujanan?" tanya Erlan pada Lavina yang sudah duduk manis di dalam.
"Kelamaan. Buruan yuk!"
"Iya, sabar ini baru mau nyalain. Lo kenapa sih? Ada yang ngejar lo?" tanya Erlan curiga karena Lavina terus melihat ke arah belakang.
"Oh, ada Arsen? Ngapain dia di sini? Bukannya dia les di tempat sebelah ya?"
"Nggak tahu. Gue nggak mau lihat."
"Kenapa?"
"Gue nggak siap lihat dia jemput cewek lain. Gue yakin setelah putus dia jadian sama cewek yang dia cinta. Ayo buruan, Lan."
"Yakin dia bukan jemput lo?"
"Bukan, gue nggak minta jemput. Ayo, buruan."
"Iya, iya."
Keluar dari area tempat les Lavina baru bisa bernapas lega meski sesekali masih melihat ke belakang. Rasa takut mengetahui sesuatu yang tak ingin dia tahu benar-benar menakutkan bagi Lavina.
"Udah nggak kelihatan, Lav. Mau sampai kapan nengok ke belakang? Katanya nggak mau lihat Arsen jemput cewek lain."
"Ah, iya. Belum siap gue." Lavina menyandarkan punggungnya pada kursi. "Sebenarnya gue orang yang paling takut tahu kenyataan. Gue takut kecewa, patah hati."
"Lo yakin Arsen dateng bukan buat jemput lo?"
"Ngapain dia jemput gue? Waktu jadi pacar aja jemput kalau gue minta apalagi sekarang cuma mantan."
"Tapi kan dia sering nganterin lo pulang kalau lo ke sekolah bareng abang lo."
"Beda. Itu mah..."
"Itu mah apa?" tanya Erlan dan Lavina tak bisa menjawabnya.
"Lo ngarep ya tadi dia jemput lo? Makanya lo takut kecewa lihat dia jemput cewek lain."
"Nggak tahu. Analisa aja sesuka lo."
"Jangan menghindar, hasilnya sama saja. Namanya kecewa itu sakit. Tapi kalau nggak langsung dihadapi hasilnya lebih menyakitkan."
"Lo pinter amat sih berfilsafah. Kenapa nggak masuk kelas bahasa?"
"Nanti nggak sekelas sama lo," balas Erlan dan Lavina jadi tertawa pelan.
"Lo paling bisa bikin gue besar kepala."
"Tapi gue nggak bisa bikin lo berpaling dari Arsen," balas Erlan pelan.
Lavina hanya melirik sekilas lalu diam. Arsenio tetap tak bisa terganti saat ini. Selain cinta pertama, Arseniolah yang mengajarkan banyak hal tentang cinta pertama kali. Tentang bahagia pertama kali punya pacar, tentang sabar, tentang bagaimana memahami pasangan, tentang rindu dan cinta sendiri pertama kali. Seketika dia rindu diusap kepalanya, rindu disentil keningnya, rindu melihat senyum langka Arsenio untuknya.
"Aw..." seru Lavina, kaget tiba-tiba mobil berhenti mendadak sementara dia tengah melamun.
"Lo nggak pa-pa, Lav? Ada yang sakit nggak?"
"Enggak, gue baik-baik aja. Kenapa berhenti mendadak?"
Bukannya membalas Lavina, Erlan langsung keluar mobil di tengah hujan. Lavina pun melihat ke depan, ternyata Erlan mendekati ibu dengan perut buncit memeluk anak kecil. Lavina pun ikut keluar tanpa menggunakan payung, dia sudah lebih dulu panik dan khawatir.
"Kenapa? Ibu nggak pa-pa?" tanya Lavina.
"Maaf ya saya berhentiin mobil tiba-tiba. Tolongin anak saya."
"Adeknya kenapa, Bu?" tanya Lavina. Matanya melebar melihat darah di kaki anak kecil itu.
"Tolong, Lav bawa ibunya ke mobil. Biar aku gendong adeknya."
"Oh, ya ya." Lavina terbata karena masih kaget.
"Lo tadi nggak nabrak kan, Lan?" tanya Lavina setelah mereka di dalam mobil.
"Bukan Mba, anak saya kena tabrak lari tapi nggak ada yang mau bantu jadi saya kebingungan. Apalagi hujannya lumayan deras. Makasih ya sudah mau berhenti. Saya benar-benar bingung tadi, HP saya mati baterainya habis."
"Tenang aja, Bu. Bentar lagi sudah sampai rumah sakit," balas Erlan.
"Ke rumah sakit gue aja, Lan. Kan deket banget."
"Iya, Lav. Ini kita ke rumah sakit Permata Harapan."
Lavina mengabaikan rasa dingin karena khawatir. Sampai di rumah sakit Permata Harapan, mereka langsung masuk IGD. Lavina mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan.
"Lo mau gue anterin pulang dulu?"
"Gue nggak tenang kalau pulang. Adeknya bakal baik-baik aja kan Lan?"
"Tapi baju lo basah nanti masuk angin."
"Gue pulang kalau gue udah denger adeknya nggak kenapa-kenapa."
"Gue nggak ada jaket. Gue beliin minum anget dulu ya?"
"Nggak usah, lo temenin gue aja. Gue sebenarnya takut masuk rumah sakit."
Tatapan Erlan seolah berkata "serius?", Lavina pun mengangguk. "Iya, gue takut masuk rumah sakit. Tapi gue nggak bisa ninggalin ibunya tadi. Gue bisa tenang kalau gue udah tahu mereka baik-baik saja."
Di saat begini Lavina jadi teringat Arsenio. Terakhir kali ke rumah sakit saat Arsenio mengantarnya ke rumah sakit saat dia jatuh dari tangga. Arsenio menggendongnya dari UKS, memaksanya ke rumah sakit, dan menggenggam tangannya, meyakinkanya agar tidak perlu takut.
Lavina bangkit saat ibu tersebut ke luar ruang pemeriksaan. Lavina baru merasa tenang setelah ibu tersebut memberitahu bahwa anaknya sudah baik-baik saja.
"Makasih ya Mba, Mas sudah mengantarkan saya."
"Iya Ibu, sama-sama. Kalau ada apa-apa hubungi saja aja," ucap Lavina. " Ini nomor saya." Lavina menuliskan nomornya di secarik kertas.
"Iya, Mba makasih banyak. Sebentar lagi suami saya datang ke sini, tadi sudah saya telpon pakai HP Masnya."
"Ya sudah kami pulang ya, Bu. Semoga adiknya cepat sehat. Ibu juga hati-hati sedang hamil besar."
"Iya, Mas. Hati-hati ya. Pokoknya makasih banyak. Moga Mba sama Masnya selalu diberi kesehatan."
"Amin, permisi."
Lavina menggosok-gosok kedua tangannya di dalam mobil, kedinginan meski AC sudah dimatikan. Erlan mengambil jas seragam sekolahnya yang digantung di belakang.
"Pakai ini, takutnya lo sakit."
"Makasih ya? Mendadak gue pengen jadi dokter."
"Kenapa bisa gitu?"
"Biar bisa nolong orang. Kalau gue dokter, setidaknya gue bisa kasih pertolongan pertama. Nggak kayak tadi gue panik sendiri."
Lavina mengembuskan napas panjang. "Gue harus bisa ngendaliin ketakutan gue. Kalau kayak gini gue jadi inget Arsen. Dia sering bilang sama gue, kalau gue harus bisa mengendalikan ketakutan gue. Gue harus menghadapi apa yang gue takutin dan gue nggak suka biar gue nggak punya kelemahan. Karena kejadian ini gue pen ngilangin rasa takut gue, jadi gue bisa nolongin orang secepatnya. Kalau nggak ada lo, gue nggak yakin bisa ada di dalam IGD lama."
"Arsen selalu ada di pikiran lo ya, Lav?"
"Hah?"
"Boleh nggak gue berharap bisa jadi orang yang lo inget tiap waktu?"
"Maksud lo?" Lavina menoleh, dia paham ke mana arah pembicaraan Erlan tapi dia tak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Gue sayang sama lo, Lav dari awal kita kenal. Gue memang nggak bisa kayak Arsen, gue juga nggak mau gantiin dia di hati lo. Tapi setidaknya beri gue kesempatan, kesempatan dilihat sama lo. Please, lihat gue yang selalu lihat ke arah lo."
Lavina terdiam, menggigit bibir bawahnya. Tak tahu harus menjawab apa. Tak ada persiapan dan tak ada pikiran akan ada hal seperti ini tiba-tiba.
***
Tempat yang selama ini menjadi tempat singgah Lavina di sekolah hanya kelas, kantin, dan perpustakaan. Harinya monoton hanya berada pada zona itu. Lavina baru menyadarinya dan menyesal. Harusnya dia bergaul lebih banyak lagi dengan teman-teman di sekolah. Bukan melulu membuntuti Arsenio hingga kini dia merasa kesepian di tempat ramai.
Lavina mengamati taman dan lapangan bola dari balkon lantai dua. Melihat hijaunya taman yang banyak pepohonan dan lapangan bola yang ramai meski matahari cukup terik.
"Lo kenapa bengong mulu? Sakit?" tanya Widy yang melihat Lavina sedikit pucat dan hanya diam sejak pagi.
"Ah, enggak cuma bingung." Lavina membalikkan badan, bersandar pada dinding balkon.
"Bingung kenapa? Lo beneran putus dari Arsen? Udah seminggu lebih lho aku nggak lihat kalian bareng."
"Iya."
"What? Serius? Sejak kapan?"
"Sudah semingguan."
"Are you ok? Kenapa nggak bilang?" Widy mencondongkan wajahnya.
"Gue takut gue bakal bimbang kalau misal lo nyuruh gue buat mikir lagi ketika gue cerita."
"Astagah Lav. Lo yang tahu mana yang terbaik buat lo, bukan gue. Lo hanya perlu cerita biar gue bisa tetep bikin lo ketawa kayak biasanya meski lo lagi patah hati. Pantes dari kemarin lo banyak diem. Gue pikir lo lagi pusing karena harus belajar IPS. Sorry ya gue kurang peka."
"Nggak pa-pa Wid, lagian gue masih bisa kok melewati hari. Cuma bingung gimana cara mindahin hati."
"Mau dipindahin ke mana?"
"Ke tempat di mana gue spesial."
"Ke mana?"
"Nggak tahu."
"Lo aja belum tahu mau pindah ke mana tapi tanya caranya. Ibarat mau pindah rumah lo harus tahu ke mana dulu jadi lo akan tahu caranya pindah."
"Jadi gue harus nentuin gitu?"
"Yap, kecuali lo bisa tiba-tiba jatuh cinta sama orang lain."
"Mana bisa. Gue cinta mah awalnya naksir terus jadi suka terus jadi cinta deh."
"Nah itu dia. Temukan target lo, siapa yang lo taksir."
"Nggak ada."
"Kalau nggak ada lo mau mindahin hati lo ke mana? Gue yakin hati lo masih tertinggal di tempat Arsen."
Lavina mengembuskan napas berat. Yang dikatakan Widy benar. Bagaimana bisa dia mau memindahkan hati kalau tempat untuk pindah saja belum ada. Yang ada hatinya masih terus tertinggal di tempat Arsenio, cowok yang tak pernah melihatnya. Cowok yang membuatnya gagal move on hanya karena masih bicara dengan kata aku kamu.
"Lo beneran putus?" tanya ulang Widy seolah masih tak rela.
"Iya. Gue nggak mau bohongin diri gue terus dan bikin kebahagiaan orang terhambat karena gue."
"Maksud lo terhambat siapa?"
"Arsen. Dia suka cewek lain."
"Lo yakin?"
"Yakin, Wid."
"Analisa dari mana?"
"Dari banyak hal, terakhir dia dateng kemarin sore ke tempat les kita. Gue yakin dia mau jemput cewek barunya."
"Ah, masa sih. Dia bukan jemput lo?"
"Bukanlah, ngapain jemput gue. Kan kami udah putus, gue juga nggak minta jemput."
"Gue jadi penasaran siapa cewek yang Arsen suka. Gue merasa dari dulu Arsen itu sukanya sama lo. Masa sih pengamatan gue salah."
"Nyatanya gitu."
"Lo inget nggak tiap kelompokan Arsen selalu milih bareng lo?"
"Iya, tapi itu kan karena Lolita mau kelompokan bareng Angkasa, males kelompokan sama kita."
"Mm... lo inget nggak waktu olahraga lo terkilir siapa yang bawa lo ke UKS?"
"Itu mah karena disuruh Pak Subur."
"Tapi kan Pak Subur bukan langsung nunjuk Arsen."
"Tapi waktu itu Arsen yang ada di deket gue karena gue emang niat deket-deket dia sih."
"Ya udah nggak penting mengenang masa lalu. Mending sekarang lo menatap ke depan," ucap Widy.
"Yap, dan cari target rumah. Rumah buat hati gue yang rapuh."
"Terserah lo yang penting lo bahagia jadi lo semangat buat ngejalani hari yang monoton ini. Hari-hari kita cuma diisi dengan belajar," balas Widy, lalu mendesah.
"Ah, lo itu ngingetin gue sama Arsen aja. Omongannya belajar terus bikin nggak napsu makan," ucap Lavina lalu mengerucutkan bibirnya.
"Eh itu Arsen," seru Widy.
"Mana?" Refleks Lavina menoleh cepat.
"Gini yang katanya udah putus?" Ledek Widy, melirik Lavina lalu lari.
"Sial! Lo lama-lama kayak Loli," seru Lavina yang dibohongi.
Lavina mengejar Widy dan tak sengaja menabrak Arsenio saat Arsenio baru keluar dari Kantin. Lavina mengaduh, tapi untung saja Arsenio memegang tangannya hingga dia tak jatuh terjerembab.
"Sorry," ucap Lavina, matanya melebar saat mengangkat kepalanya dan melihat Arsenio dari dekat.
"Kamu sakit?"
***
Hayo mananya yang sakit? Hihihihi
Makasih banyak ya buat Lavlav Lover
Aku happy banget!! Moga kalian juga happy..
Please follow instagram Lavlav.store dkk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro