9 - Si Gadis Suram
Sabtu ini adalah kedua kalinya aku ikut latihan. Sepulang sekolah, aku dan Lingga langsung datang ke aula. Semua sudah siap di sana. Rai dengan drumnya, Aurel dengan tongkat mayoretnya.
Termasuk aku yang beberapa hari kemarin mempelajari buku yang diberikan Kak Ara. Ku ambil marching bell yang akan kumainkan, juga ada Lingga mengambil drumnya.
"Oke, semua udah kumpul ya?" tanya Kak Ara sambil membuka pintu aula lalu masuk ke dalam. Kami semua yang semula masih duduk-duduk langsung berdiri saat mendengar suaranya.
"Siap, Kak!"
"Ambil posisi!"
Kami mulai membentuk barisan. Di bagian depan, terdapat dua pemain terompet dan tuba yang belum kukenal. Lalu juga ada pemain drum snare dan bass. Sedangkan aku dan Anin yang sama-sama bermain marching bell ada di barisan kedua. Di kiri kami ada pemain symbal dan pemain drum tambahan.
Di posisi paling depan, Aurel dengan anggunnya berdiri menghadap kami dan memegang tongkat mayoretnya. Ia siap memulai gerakannya.
Aurel mulai memutar-mutar tongkatnya. Gerakan tangannya sangat lincah bak pemain sirkus profesional, sehingga tongkat itu berputar seperti baling-baling.
Suara nyaring drum snare milik Lingga terdengar, menjadi aba-aba bagi pemain instrumen lainnya. Ketukannya begitu cepat, aku tak tahu kalau Lingga sepandai ini bermain drum.
Terompet dan tiba mulai berbunyi mengikuti suara drum Lingga. Beberapa saat lagi adalah giliranku masuk ke dalam permainan musik ini. Aku mulai gugup. Tenanglah, Nawang! Tarik nafas.
Aku memukul satu dua bilah besi marching bell ini dengan stiknya, suara yang dihasilkan sangat tegas. Sesuai yang aku inginkan. Telingaku terus fokus mengikuti setiap ketukan dan irama musik teman-temanku. Gabungan dari berbagai instrumen musik ini menciptakan melodi yang indah.
Aku baru tahu, rupanya nada yang kumainkan dengan Anin berbeda. Meski bermain alat musik yang sama, peran kami berbeda.
Aku baru tahu kalau bermain marching band ternyata menyenangkan juga. Aku jadi semakin semangat, ketukan dan iramanya semakin cepat dan cepat. Aku terus berusaha mengimbangi. Sampai akhirnya, beberapa menit bermain musik kami pun selesai.
"Yeay!" Aku pun bertepuk tangan saat kami berhasil menyelesaikan musiknya. "Kerja bagus teman-teman!" ucapku.
Anin yang ada di sampingku malah menatapku sinis. "Apanya yang bagus? Gak becus!" katanya dengan jutek dan langsung berjalan pergi.
"Anin, jangan gitu," kata Aurel.
Anak-anak lain kemudian membubarkan diri, lalu mulai berlatih masing-masing. Aku masih bingung, kenapa mereka tidak ada yang senang seperti aku? Apa ada yang salah? Tiba-tiba Kak Ara datang mendekatiku.
"Nawang."
"Iya, Kak."
"Kamu tadi kurang sinkron sama ketukannya Anin, coba deh kamu lebih fokus. Ikutin, perhatiin gimana permainan Anin. Walaupun melodi kalian berbeda, tapi ketukannya harus pas. Jangan terlambat dan jangan kecepetan juga. Supaya hasilnya juga rapi."
"Oh gitu ya, maaf ya, Kak."
"Gak apa-apa, kamu masih baru. Maklum. Sekarang, menurut Kakak mending kamu latihan bareng Anin deh biar dapet chemisry-nya. Oke? Semangat ya!" Kak Ara kemudian berjalan pergi ke anak lainnya.
Permainan yang kukira sudah bagus, ternyata masih kurang. Aku menoleh ke arah Anin yang sedang latihan sendiri di dekat dinding. Aura suramnya itu, wajah sinisnya itu. Yakin aku mau latihan sama dia? Serem banget! Sebenarnya aku malas, tapi mau gimana lagi? Aku harus ikuti saran dari Kak Ara.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mendekat ke arahnya yang berlatih di dekat tumpukkan kabel aula. Baru beberapa meter berjalan, Anin sudah menatapku dengan pandangan sinisnya itu. Tenang, tetaplah tersenyum, Nawang!
"Anin, latihan bareng yuk!"
"Sini!"
Aku pun berdiri di dekatnya dengan masih membawa alat musik ini di bahuku. "Kita coba lagu yang tadi ya."
"Mulai bareng ya. Satu, dua, tiga."
Dalam hitungan ketiga, aku dan Anin langsung mulai bermain. Bilah-bilah besi ini mulai kupukul lagi sesuai urutan not yang kupelajari. Di bagian awal nada yang kami hasilkan lumayan sinkron, tak ada kesalahan.
"Terus, terus. Pertahankan ketukannya," kata Anin mengingatkanku.
Aku terus fokus, fokus dan fokus. Telingaku mendengar baik-baik ketukan Anin dan mencoba menyeimbangkannya. Aku memasang mata dan telinga baik-baik.
Sejauh ini musik kami lumayan senada. Hingga akhirnya, ketukannya semakin cepat dan aku mulai kesulitan. Perasaan gugup mulai datang, permainan kami mulai berantakan.
Sebenarnya, Anin coba menyelaraskan musiknya denganku. Akan tetapi dia pun gagal juga karena permainanku memang sebegitu berantakannya.
"Ah, udahlah! Emang dasarnya kamu gak becus!" bentak Anin dengan wajah kesal padaku.
Ia melepas alat musiknya, kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Aku pun berhenti bermain dan merasa shock dengan yang terjadi barusan. Aku baru saja dibentak olehnya, sudah lama aku tidak dibentak oleh orang lain. Bahkan ayah dan ibuku. Apa aku baru saja membuat kesalahan yang fatal? Atau memang Anin yang sejutek itu?
Sedih rasanya, aku lanjut latihan sendiri. Kucoba mulai bermain dari bagian di mana ketukan itu menjadi cepat. Terus melatih kecepatan tanganku dalam mengetuk tiap-tiap bilah logam marching bell yang menghasilkan nada berbeda. Tapi jujur, agak sulit latihan sendiri.
Setelah satu jam berlatih sendiri, Kak Ara pun datang kembali. Kami berkumpul dan membuat barisan lagi untuk mulai bermain bersamaan seperti tadi. Aku mengambil posisi persis seperti latihan pertama. Permainan pun dimulai, Aurel mulai memainkan tongkatnya, memberi aba-aba kepada kami.
Lagi-lagi, permainanku kurang selaras di bagian yang sama. Aku melirik ke arah Anin sesekali, dia sudah memasang wajah mengerikannya itu. Sudah pasti aku akan dibentak lagi, sial!
"Oke, kerja bagus! Terima kasih sudah hadir di latihan kali ini, masih banyak kekurangan tapi gak apa-apa. Semoga minggu depan bisa diperbaiki, semangat!" ucap Kak Ara saat latihan kami selesai.
"Anin, maaf ya. Tadi berantakan lagi. Soalnya tadi--"
"Masa bodo." Anin langsung berjalan pergi meninggalkanku begitu saja. Aku menatapnya pergi dengan perasaan bersalah. Tiba-tiba, Rai datang dari belakang sambil membawa drum bass dan berhenti di sampingku.
"Dia emang begitu, sabar ya, Kak Nawang," kata Rai sambil melihat ke arah Anin.
***
Selepas latihan, aku pulang bersama Lingga. Kami berhenti untuk membeli minum di vending machine yang ada di pinggir jalan raya dekat halte bus. Aku duduk termenung dengan wajah murung sambil melempar kerikil ke jalanan. Masih terbayang-bayang oleh sikap Anin tadi.
"Nih." Lingga memberikanku sekaleng minuman. Aku pun menerimanya, tapi tak langsung aku minum.
"Kenapa sih? Kok lesu banget? Capek?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku sedih deh, dimarahin mulu sama Anin."
Mendengar itu Lingga yang hendak minum minumannya pun mengurungkan niatnya, dia malah menertawakanku. "Hahahahahaa, sukurin!"
Aku menoleh dengan wajah sebal. "Kok gitu sih? Jahat banget, punya hati gak?"
Lingga meminum sedikit, lalu melihat ke arah jalan raya. "Gimana ya? Anin emang begitu. Dia selalu suram, gak ada senyum, auranya itu kaya apa ya? Dark gitu deh."
"Ada masalah hidup apa sih dia?" tanyaku.
"Rumor yang beredar sih dia korban dari keluarga yang tidak baik. Orang tuanya berpisah. Dia sempat tinggal sama ayahnya, tapi dia malah jadi korban kekerasan sama ayahnya. Setelah itu baru Anin dipindah ke mamanya," tutur Lingga bercerita.
"Masa sih? Kok kamu tau?"
"Iya, tapi itu semua udah masa lalu. Aku diceritain sama temen sekelasnya, dan juga ada salah satu guru yang tak sengaja membenarkan hal ini."
"Gitu ya."
"Makanya, kamu kalau dijutekin sama Anin. Biasa aja ya, dia emang begitu."
"Kalau bete sama muka juteknya Anin. Liat aku aja, Nawang." Lingga pun tertawa kecil saat mengatakan hal kalimat tadi.
Aku pun ikut tertawa. Tapi benar juga, kenapa harus memikirkan wajah jutek Anin kalau aku bisa lihat wajah teman-temanku lainnya yang ramah dan bersahabat. Terutama ia Lingga, setiap senyum yang ia lontarkan kalau bisa aku abadikan. Maka akan aku abadikan dan memasukkannya ke dalam akuarium kamarku.
"Wajar kalo kamu senyum terus, orang gila!" ejekku yang langsung menertawakannya.
"Nawang?! Tega banget kamu bilang begitu, punya hati gak?"
Aku lalu tertawa dan mulai berjalan meninggalkan halte.
Ya, perkataan Lingga barusan membuatku berpikir. Sikap Anin bukanlah tolak ukur untuk diriku, karena di sekitarku masih banyak hal positif yang bisa aku ambil dan dijadikan motivasi untuk melangkah ke depan.
Jangan mengambil pil yang pahit di saat ada begitu banyak permen manis di sekitarmu.
Biar begitu, bukan berarti Anin salah. Ada latar belakang yang membuatnya jadi seperti itu. Aku tidak menyalahkan Anin dan lebih ingin mencoba untuk mengerti dirinya.
Kalian sendiri, apa pernah punya teman seperti Anin di kelas kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro