Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - Senja Bersama Lingga

Sepulang sekolah aku menunggu Lingga di depan gerbang. Aneh memang, padahal kita sekelas. Tapi gimana bisa kita berpisah ketika kelas bubar. Saras dan Nindy sudah pulang duluan, diriku agak khawatir sambil sesekali melihat jam. Mana sih dia?

Dari balik sekumpulan anak lainnya, ku melihat rambut ikal khasnya. Lingga datang sambil jalan terburu-buru. Aku memanggilnya sambil melambaikan tangan, begitu melihatku dia langsung cepat-cepat mendekat.

"Kamu kemana aja? Aku cari kamu lho," kata Lingga.

"Lho? Aku malah nungguin kamu di sini."

"Yaudah, kita jadi, kan?"

"Jadi."

Lalu Lingga menatap ke arah langit. "Yakin? Udah sore banget lho."

"Apaan sih? Jam lima aja belum, udah ayo!" ujarku yang langsung berbalik badan dan berjalan mendahuluinya. Terdengar suara langkahnya mengikutiku dari belakang.

Sore ini aku menepati janji untuk mengantarnya ke bukit itu, Lingga sangat penasaran. Lokasinya tidak jauh, tapi agak melelahkan karena menanjak. Tak apa, demi dia mau selelah apa pun tak apa. Senangnya bisa jalan sama orang yang kusuka.

Aku mengambil jalan pulang biasa, masuk ke gapura desa. Bedanya, saat baru beberapa meter melintasi jalan desa, kami belok ke jalan setapak yang lebih kecil. Membelah sawah dan mengarah ke perkebunan. Lingga dengan sabar mengikutiku.

"Awas, Nawang. Licin," kata Lingga memperingatiku.

"Gak apa-apa, kalo jatuh kan ada kamu yang tangkap aku."

"Oh iya ya."

"Hah?" Seketika wajahku memerah.
Dia ini polos atau gimana sih? Ucapan dia yang 'Oh iya ya' meski terdengar singkat tapi seakan mengiyakan kalau dia akan menangkapku kalau aku jatuh.

Aku yang niat menggodanya, kenapa malah jadi aku yang salah tingkah? Wah, kalau gitu apa kujatuhkan saja badan ini ya supaya ditangkap olehnya ya? Enggak, gak boleh. Ketahuan banget settingan-nya.

Saat jalan mulai menanjak, di sinilah ujian sebenarnya dimulai. Kami sesekali berpapasan dengan para pencari kayu bakar. Hingga salah satu pencari kayu bakar memberhentikan kami. Lantas aku dan Lingga berhenti dan menoleh.

"Mau ke mana, dek?" tanya kakek itu sambil membawa seikat kayu bakar di punggungnya.

"Ke atas, Kek!"

"Jangan lama-lama ya, hari udah mau gelap," katanya yang kemudian berbalik arah dan lanjut berjalan turun ke bawah.

lingga menatap ke arahku. "Tuh kan! Kita turun aja yuk, kesorean ini!"

"Enggak, Lingga! Tenang aja, aku biasa ke sini sore-sore. Udahlah percaya aja sama aku."

Walaupun nafasku tak beraturan, walau kakiku pegal berjalan menanjak. Tapi sesampainya di atas, semua rasa letih itu terbayarkan. Pemandangan dari atas sini sangat cantik ketika senja, di ujung timur matahari terbenam dengan indahnya. Menyebarkan kilauan emas yang menghias cakrawala.

Angin bertiup sejuk, semua terlihat dari sini. Pemukiman warga, persawahan yang seakan tidak berujung, dan juga gunung yang menjulang tinggi di kejauhan. Tak lupa, gedung sekolah kami juga terlihat dari sini.

"Wah, ini lebih indah dari yang di foto Aurel tadi."

"Bener, kan? Setimpal, kan sama rasa capeknya?"

"Kamu capek ya? Keliatan nafasmu ngos-ngosan gitu."

"Gak apa-apa."

Selama beberapa menit, kami berdua duduk di batu sambil menatap mentari yang perlahan tenggelam karena tak pakai pelampung.

Masih memakai seragam putih abu-abu kami yang melekat di badan. Saat sedang melihat sekitar, aku diam-diam mengeluarkan ponsel dan memotret Lingga dari jarak beberapa meter. Dan berhasil! Aku mendapatkan fotonya dengan latar langit berwarna jingga.

"Nawang!" panggil Lingga. Begitu menoleh ke arahnya, dia langsung mengarahkan kamera ponselnya dan mengambil foto diriku. "Kena, hehe," katanya.

Eh, dia baru saja memotret aku?

"Ngapain sih?"

"Gantian, kamu tadi foto aku, kan?"

Rasanya malu sekali saat tahu ternyata Lingga sadar dirinya sedang difoto. Aku pun segera mengelak.

"Enggak kok!" ucapku.

Lingga tertawa kecil. "Iya tuh, gak apa-apa kali. Mau foto yang banyak juga gak apa-apa."

"Kalau liat pemandangan kaya gini, aku jadi kepikiran banyak hal deh," kata Lingga sambil berdiri menyilangkan tangan di dada.

"Kepikiran apa?" tanyaku.

"Dari sini kita bisa liat banyak kehidupan di bawah sana. Dunia seluas ini, akan jadi apa ya kalo kita udah lulus nanti? Kurang dari setahun lagi lho."

Aku berpikir sejenak. "Aku mau jadi anak yang membanggakan orang tua tentunya, kalo kamu?"

Lingga menoleh dan tersenyum padaku. "Aku sendiri gak tau, aku gak mau berharap. Aku takut kalau jadi orang dewasa ternyata gak semudah yang aku kira."

Entah mengapa, senyumannya kali ini terasa berbeda. Terasa dalam dan seakan ada perasaan yang terpendam di balik senyuman itu. Kenapa ya? Aneh rasanya, baru kali ini aku melihat senyuman yang semiris ini. Dan di saat yang sama, aku semakin terpikat olehnya. Sosoknya yang bermandikan cahaya senja.

"Tapi harapan itu harus tetap ada, Lingga."

Lingga lalu duduk di sampingku, dari dalam tasnya ia mengeluarkan sesuatu. "Ini," katanya sambil memberikanku sekaleng minuman.

"Hah? Kapan kamu beli ini?" Aku menerima sekaleng minuman darinya yang sudah tidak dingin lagi.

"Waktu aku cari kamu tadi, aku sempetin ke kantin." Ia membuka kaleng dan mulai meminum miliknya. "Ayo kita nikmati sunset yang indah ini!" katanya sambil tersenyum polos.

Aku terdiam sambil menatapnya. Lingga, daripada menikmati sunset. Justu aku lebih menikmati momen ini. Momen ketika hanya ada kita berdua, saat kamu duduk di sampingku.

Apa benar kamu cowok yang selama ini hanya bisa aku lihat dari belakang? Kita sudah sedekat ini? Aku ingin bersandar di bahumu, tapi aku malu. Sudahlah, lupakan.

Kami berdua duduk bersama. Menghadap matahari yang semakin tenggelam sambil ditemani sekaleng minuman yang bahkan sudah hilang sodanya.

Langit semakin gelap, cahaya semakin pudar. Dan dari kejauhan kami melihat lampu-lampu rumah warga sudah terlihat menyala.

Kami berdua buru-buru berjalan turun, ternyata lebih mudah menuruni bukit ini ketimbang menaikinya. Tapi semakin ke bawah, pohon semakin lebat dan gelap. Aku agak takut.

"Kok serem ya," kata Lingga sambil melihat sekitar.

"Lingga, udah mau malem. Gelap lagi, jangan ngomong yang enggak-enggak."

"Kamu takut ya? Takut hantu?"

"Lingga! Jangan lanjutin!"

"Santai aja, Nawang. Kalo kamu takut, mereka malah menunjukkan diri lho." Lingga tertawa kecil.

"Lingga!" bentakku. "Tau ah!" Aku kesal dan mempercepat langkahku untuk menjauh darinya. Sementara dia malah asik menertawakanku di belakang sana. Astaga, tak kusangka ternyata dia juga bisa menyebalkan begini ya. Awas aja!

Aku merasa tenang saat sudah sampai di jalan desa. Sudah ada penerangan dan orang sesekali lewat dengan sepeda motor. Kini tinggal jalan ke rumah yang sudah tidak jauh lagi. Angin berembus dingin di ujung hari ini. Perlahan kami mulai memasuki pemukiman.

Beberapa menit kemudian, sampailah di depan rumahku. Saatnya kami berdua berpisah. Aku berdiri di depan gerbang dan menoleh ke arahnya yang berada beberapa meter di belakangku.

"Aku sampai," ucapku.

"Aku tau." Lingga mengangguk. "Yaudah sana, istirahat. Capek, kan?"

Aku ikut mengangguk. "Dadah." Tanganku kemudian bergerak membuka gerbang.

"Nawang."

Aku pun menoleh saat Lingga memanggilku.

"Makasih ya, udah mau temenin aku. Karena itu, besok kamu aku traktir!"

"Janji ya?" Aku tersenyum menatapnya dari balik gerbang.

"Iya, kalau aku inget."

"Aku selalu inget."

"Udah sana pulang, hati-hati ya," ucapku yang kemudian berjalan memasuki halaman rumah. Baru beberapa langkah berjalan, aku berhenti dan kembali menoleh ke arahnya.

Ia berjalan sendirian, rasanya tak bisa mata ini lepas darinya. Sampai ia menghilang di kejauhan aku terus menatapnya.

Aku berhasil menutup hari ini dengan akhir yang indah. Sungguh aku merasa beruntung hari ini!

🍃🍃🍃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro