6 - Bukit Itu
Setelah libur satu hari, akhirnya aku mengulang lagi satu minggu dengan pelajaran dan materi-materi di sekolah yang membosankan.
Aku merapikan piring dan alat makanku, lalu berjalan keluar rumah untuk memakai sepatu. Ayah sudah pergi pagi-pagi sekali bersama Kakakku yang kuliah di perbatasan kota.
Setelah selesai mengikat tali demi tali di sepatuku ini, segera ku pamit dengan ibu yang sedang duduk di pelataran rumah. "Nawang berangkat ya, Bu."
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam! Hati-hati," balas Ibuku sambil lanjut mengupas jeruk.
Aku membuka gerbang dan mulai berangkat. Mata ini terlebih dahulu melihat sekitar, merasakan segarnya udara pagi dengan bau embun yang menenangkan. Dan juga, barangkali aku kembali beruntung bisa bertemu seseorang. Sudahi berkhayal, mari mulai jalan!
Sesampainya di sekolah, ternyata masih terlalu pagi bahkan ruang guru pun masih sepi. Hanya ada beberapa satpam dan penjaga kebersihan, itu pun mereka masih bersantai.
Beberapa anak tengah bersih-bersih kelas. Biasanya mereka yang dapat giliran piket. Aku masuk ke kelasku, sudah ada dua orang yang datang. Dan salah satunya adalah Saras. Kukira aku yang pertama.
"Hayo, kamu dateng pagi karena belum ngerjain tugas ya?" kataku saat melihat Saras sedang sibuk menulis sesuatu di buku tulisnya.
"Iya nih, bantuin dong!"
Aku menaruh tas di tempatku, kemudian beranjak ke meja Saras. "Kamu sih, kemarin libur harusnya dikerjain!"
"Pagi!" Lingga datang dan menyapa semua yang ada di kelas. Seketika pandanganku beralih ke sosok itu, ia pun duduk di posisinya seperti biasa.
Tampaknya ia memang kurang peka. Sejak tadi aku memperhatikannya, berharap ia menoleh dan melontarkan senyum pada gadis yang penuh harap ini. Alih-alih begitu, dia langsung duduk di tempatnya dan membelakangiku.
Karena itu, aku juga memalingkan pandangan ke arah tugas yang sedang dikerjakan Saras. Beruntung masih sekitar setengah jam sebelum bel masuk, masih ada waktu bagiku menyelamatkan satu orang teman yang belum mengerjakan tugas ini.
***
Saat jam istirahat kedua, aku bersama Nindy dan Saras menghabiskan waktu di kantin seperti biasa. Di mana suara sendok dan piring saling beradu, ditambah aroma makanan yang menggoda siapa pun untuk datang.
Lalu tiba-tiba terdengar suara Lingga memanggilku. Aku lantas menoleh, ia menggerakkan tangannya. Memberi isyarat supaya aku mendekat.
Dengan senang hati aku berdiri dan berjalan ke arahnya. Saras dan Nindy sudah senyum-senyum sendiri saat melihat aku dipanggil olehnya.
"Kenapa, Lingga?" tanyaku saat sampai di depannya.
"Udah makan?"
"Udah."
"Ke ruang marching band yuk."
"Ngapain? Ada latihan, kah?"
"Gak ada sih, cuma anak-anak lagi kumpul. Aku takut ketinggalan sesuatu. Mau ikut gak?"
Aku pun mengangguk tanpa ragu. "Ayo!" kataku. Aku menoleh sesaat ke arah dua sahabatku yang masih duduk di meja kantin. Mereka mengisyaratkanku supaya cepat pergi bersama Lingga dan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku pun mengangguk dan pergi bersama Lingga.
Kami berdua berjalan melewati lorong, mengarah ke arah aula sekolah. Sesampainya di sana, kami masuk ke dalam ruang marching band.
Ternyata hanya ada Kak Ara dan Aurel di sana. Tengah duduk di meja panjang di tengah ruangan dengan kursi-kursi di sekitarnya bagai ruangan meeting. Seperti biasa, Aurel selalu ramah kepada siapa pun.
"Hai," sapa Aurel sambil menatap Lingga.
Tatapannya itu, cantik sekali. Bulu matanya, bentuk matanya seperti boneka. Siapa pun pasti akan meleleh bila ditatapnya. Sampai kapan pun sepertinya aku tak akan bisa jadi secantik dia. Bohong sekali kalau Lingga tidak salah tingkah ditatap dengan tatapan mata itu.
"Apa sih, Aurel? Biasa aja kali." Alih-alih salah tingkah, Lingga malah langsung duduk di salah satu kursi.
Sementara aku memilih untuk tetap berdiri dan melihat-lihat sekitar. Menatap rak berisi penghargaan, dan alat musik yang tergeletak begitu saja di sudut ruangan. Entah mengapa, aku merasa dari posisi ini mata Lingga sedang menatapku dari posisinya duduk.
Aku mencoba tetap tenang dan tidak terlalu pede. Aku hindari kontak mata dengannya, karena aku tahu aku akan gugup tak terkendali kalau mata kami saling bertemu.
Dan pada akhirnya, Lingga dia sendiri yang berdiri dan mendekat ke arahku. "Ini punyaku," katanya sambil menunjuk drum snare yang tadi sempat kusentuh.
"Iya, kemarin aku liat kamu pake itu."
"Mau coba?"
"Boleh." Aku mengangguk lalu mencoba mengangkat drum itu.
"Awas berat." Lingga segera membantuku mengangkatnya. Biasa saja, tidak berat. Tapi ku hargai niatnya membantuku. Aku memasang penyangga drum itu ke bahuku, dan sebuah alat musik bulat pun berada tepat di bawah dadaku.
Lingga memberikanku stiknya, dan aku mulai memukul-mukul dengan asal. Lingga pun tertawa kecil melihatku.
"Gini caranya." Ia lalu mengajariku cara memegang stik dan bagaimana aku memposisikan tangan dengan benar. Lagi-lagi, dia berada begitu dekat denganku. Alih-alih memperhatikan apa yang diajarkannya, aku justru memandangi wajahnya dan melamun.
"Ngerti gak?"
"Eh!" Aku tersadar dari lamunanku. "Iya ngerti,"
"Coba!"
Tanganku pun kembali memukul drum dengan stik, tapi karena tidak memperhatikan yang Lingga ajarkan. Aku kembali memukulnya dengan asal. Kemudian Lingga pun menggelengkan kepala sambil cekikikan.
Melihatnya tertawa saja sudah membuatku tenang. Apa dia menertawakanku ya? Apakah lucu melihatku bermain drum ini? Kalau lucu, maka akan ku tambah. Aku mulai memainkan drum dengan asal dan semakin menjadi-jadi.
"Tolong dong, kalau mau main di luar ya," kata Kak Ara sambil membenarkan kacamatanya dan terus menatap ke layar laptop yang sedang ia gunakan. Alih-alih membuat Lingga tertawa, aku malah menganggu Ketua.
"Udah, ah!" Aku melepas drum dan menaruhnya kembali.
"Aaaaaa!!!' Tiba-tiba Aurel teriak. Suara nyaringnya bahkan lebih besar dari suara drum. Aku dan Lingga sampai kaget di buatnya.
"Ya ampun, berisik, Aurel!" Kak Ara kesal dan menegurnya. Lebih mengganggu daripada permainan drumku, kan?
"Ini lho? Cakep banget." Aurel dengan wajah berbinar-binar melihat layar ponselnya.
Aku dan Lingga mendekat karena penasaran. Kami berdua lalu melihat isi dari layar ponsel itu. Ternyata itu adalah foto pemandangan dari atas bukit yang ada di desa. Aku tahu tempat itu.
Kukira digigit harimau atau disengat tawon raksasa sampai teriak begitu. Rupanya hanya hal sepele.
"Wah, keren ya. Di mana ini?" tanya Lingga.
"Kamu gak tau?" tanyaku pada Lingga.
"Enggak."
"Ini di desa kita lho, masa kamu gak tau tempat ini."
Lingga lalu memalingkan wajah dan kembali melihat ke layar ponsel Aurel. "Aku beneran gak tau. Mungkin karena jarang keluar rumah juga."
"Kalian balik sana ke kelas, udah mau masuk, kan?" kata Kak Ara mengingatkan kami. Atau boleh dibilang, mengusir secara halus.
Alhasil, bila sudah mendengar itu kami pun tak mau membantah. Aku bersama Lingga dan Aurel pun keluar dari ruang marching band lalu sama-sama berjalan ke kelas. Istirahat tersisa lima menit lagi. Aurel belok arah saat melewati koridor pertama, ia memang ada di kelas yang berbeda.
Kini menyisakan aku dan Lingga berdua. Lagi-lagi berdua, entah mengapa setelah beberapa kali kita berdua seperti ini, aku jadi merasa semakin dekat dengan Lingga. Apakah Lingga juga merasa demikian ya? Apa kami sudah bisa disebut teman? Entahlah, Lingga kan orangnya kurang peka.
"Nawang," panggil Lingga sambil berjalan.
"Ya?" tanyaku.
"Bukit itu di desa kita sebelah mana? Yang kutahu bukit desa kira isinya cuma pohon."
"Ada deh, deket kok."
"Kenapa sih? Kamu penasaran banget sama bukit itu. Kalo penasaran mending langsung aja ke sana. Kalau mau aku tunjukkin jalannya."
Apa tidak terlalu cepat ya? Mengajak orang yang kusukai ini. Rasanya jantungku berdebar, takut dia menolak. Kalau sampai ditolak aku malu banget.
"Boleh banget, nanti sepulang sekolah ya!" Lingga menjawab dengan begitu semangat.
Jawaban yang aku dambakan. Sepulang sekolah! Baiklah, aku siap. "Oke, aku anter sepulang sekolah!"
"Tapi, emang gak apa-apa? Nanti kamu pulang kesorean gak?"
"Enggak, tenang aja. Deket kok."
"Beneran?"
"Bener, aku tunjukkin jalannya!"
Apa sih yang enggak buat kamu?
Akhirnya, aku akan pergi bersamanya ke bukit itu. Kalian mau ikut? Di-part selanjutnya ya!
🍃🍃🍃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro