4 - Pulang Berdua
Aku yang sejauh ini dengannya. Aku yang selalu melihatnya dari belakang, kini berada dekat dengannya. Tapi, nyatanya tidak sedekat itu. Ada gadis lain yang lebih dekat dengannya, bahkan mampu menyentuhnya semudah itu.
Diri ini masih terdiam dan melihat Aurel mengelap keringatnya dengan tangannya yang lemah lembut. Lalu senyum cantiknya itu. Lingga, apa dia suka saat Aurel mengelap keringatnya ya?
Mulutku tak bisa berkata-kata. Bukan karena sedih, tapi lebih karena kaget. Ini hal yang tak pernah aku bayangkan akan terjadi.
Ayolah! Sudah cukup, ku ingin pemandangan ini segera berakhir!
"Apaan sih, udah ah? Aku bisa sendiri." Lingga lalu merebut handuk kecil itu dan memegangnya. "Lagi keringatku juga gak banyak!"
"Dasar jutek." Aurel kemudian berjalan pergi.
Lingga menoleh ke arahnya dan melihat gadis itu dengan tatapan malas. Lalu ketika hendak melihat kembali ke depan, matanya berhenti ke arahku. Dan senyuman pun terukir di wajahnya. Senyuman untukku.
"Udah paham cara mainnya?" tanya Lingga.
"Udah kok, tinggal belajar ketukannya aja."
"Gak berat, kan?"
Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Dulu itu yang main marching band namanya Tiara. Tapi karena jarang dateng latihan, dia dikeluarin sama ketua," kata Lingga sambil melihat ke arah depan.
"Terus pas kita mau cari anggota baru, ternyata gak segampang itu. Jadi repot sendiri deh."
Aku merespon ceritanya dengan senyuman kecil. Lingga kembali menatapku.
"Untung ada kamu ya, Nawang. Kita semua sekarang udah tenang karena dapat anggota baru. Soalnya kita ada penampilan bulan Desember nanti."
"I-iya, waktu kamu bilang soal marching band di kelas. Aku tertarik."
"Gitu ya, kalo gitu aku ngomong sama orang yang tepat." Lingga menghela nafas. "Makasih ya udah mau gabung sama kita."
Lagi-lagi Lingga tersenyum padaku.
Ah sial! Senyumannya itu. Tulus, hanya untukku. Gimana ini? Aku salah tingkah lagi! Aku pun membuang muka dan menyembunyikan wajah malu-malu ini sambil mengangguk pelan. "Sama-sama, mohon bantuannya," jawabku.
***
Kami berlatih selama tiga jam di aula sekolah. Tapi tidak sepenuhnya berlatih karena diselingi dengan istirahat, bercanda, mengobrol dan makan kue pemberian Kak Ara. Jam lima sore baru aku keluar aula untuk pulang sekolah.
Lorong sekolah yang sepi ku lewati pelan-pelan sambil melihat ke luar jendela. Tak pernah kurasakan suasana sekolah sesepi dan sekosong ini.
Lorong yang biasanya penuh kerumunan siswa kini terasa hampa, hanya terdengar suara ranting yang tertiup angin dan mengetuk-ngetuk jendela.
Setelah melewati gerbang sekolah, aku lanjut berjalan di jalan trotoar ke arah tempat tinggalku. Di jalan raya, mobil-mobil lalu lalang dan suara klakson kadang mengganggu telingaku. Terutama mobil-mobil truk yang bunyi klaksonnya bising.
Lalu beberapa meter di sampingku, Lingga sedang berdiri agak membungkuk di depan vending machine.
"Lingga," sapaku.
Ia menoleh sambil memegang sekaleng minuman dingin. "Oh, halo Nawang!"
Aku lalu memasukkan uang ke mesin minuman itu dan memilih salah satu minuman rasa leci yang menyegarkan. Lampu-lampu di mesin itu menyala lalu suara kaleng terjatuh terdengar, segera kuambil minumanku.
"Kamu suka minuman di sini juga?" Lingga bertanya padaku.
"Iya dong." Jemariku mulai membuka kaleng dan mulai meminumnya. Rasa segar dan manis memenuhi mulutku, lalu mengalir pelan menghilangkan dahagaku.
"Emang kamu gak inget?" tanyaku kepada Lingga.
"Inget apa?"
"Waktu kelas satu, di mesin ini juga."
Ayolah sudah diberi petunjuk, masa kamu tak ingat.
Lingga lalu berpikir sejenak. "Apa sih? Aku gak tau!" katanya.
Dasar! Dia lupa sama waktu pertama kali kita bertemu, di vending machine ini dulu dia membelikanku minuman. Dan sekarang dia sudah melupakan hal itu. Apalah aku yang terlalu mengingatnya sampai sekarang hanya karena terbawa perasaan.
"Yaudah, lupain aja. Aku mau pulang. Kamu ke arah jalan itu, kan?" Aku lalu menunjuk jalan desa yang akan aku lewati setelah dari jalan raya ini. Lingga pun mengangguk sambil meminum minumannya. "Sama aku juga ke sana!"
"Oh, kamu pulang ke sana juga? Kita searah dong? Kok aku gak pernah liat kamu sih?" tanya Lingga dengan heran.
Memang sangat mengherankan. Tapi aku lebih heran lagi. Padahal selama ini aku selalu berjalan di belakangnya, memperhatikannya setiap pulang sekolah. Tapi sedikit pun dia tidak pernah menyadari keberadaanku.
Bahkan sekarang dia baru tahu kalau jalan pulang kita searah. Apa benar dia setidak peka itu? Kalau iya maka hal itu akan membuatku repot.
"Pulang bareng yuk!" ajak Lingga.
Ah, andai ajakan itu sejak dulu dia katakan.
"Yuk!"
Kami berdua pun mulai berjalan kaki bersama dan menyebrang jalan raya, sambil bermandikan cahaya keemasan mentari senja yang tenggelam di cakrawala.
Kami masuk ke sebuah gapura kayu yang catnya sudah pudar. Gapura yang jadi tanda gerbang masuk ke desa. Di jalan desa yang berbatu ini, kami berjalan beriringan diapit persawahan yang luas membentang di sisi kiri dan kanan jalan.
Sesekali aku meliriknya, memperhatikannya. Seakan tak percaya, akhirnya aku bisa sedekat ini dengan orang yang aku suka. Orang yang selama ini hanya bisa ku lihat dari belakang. Kalau harus menangis haru, aku bisa menangis sekarang. Tapi itu tidak mungkin! Karena terlalu berlebihan. Bukan gayaku.
"Kamu udah lama tinggal di sini?"
"Aku dari kecil di sini," jawabku.
Lingga mengangguk. "Oh, kalau aku baru waktu SMP pindah ke sini."
"Sebelumnya kamu di mana?" tanyaku.
"Banyak tempat," jawabnya. "Aku pernah di tinggal di Semarang, Bogor, Temanggung, sempet balik ke Semarang terus akhirnya ke sini."
"Hah? Kamu travelling?"
"Iya, kaya travelling ya?" Lingga tertawa kecil. "Itu semua karena pekerjaan Ayahku yang pindah sana-sini."
Setelah beberapa saat bersamanya, aku sampai di rumah. Biasanya aku ingin cepat-cepat sampai di rumah, tapi kali ini rasanya masih ingin berjalan bersamanya. Tapi gimana lagi? Sudah sampai di rumah.
"Duluan ya!"
"Ini rumah kamu? Wah besar ya." Lingga melihat rumahku sambil mengangguk pelan.
"Rumah orang tuaku." Aku tersenyum tipis. "Hati-hati ya!" ucapku sambil melihat Lingga pergi.
"Sampai jumpa hari senin!" Lingga pun berlalu pergi. Aku memandanginya sambil memegang gerbang rumah yang agak karatan ini. Memperhatikannya sampai ia semakin menjauh dan hilang dari pandangan. Entah kenapa aku jadi tersenyum sendiri melihatnya.
"Heh!" Tiba-tiba seseorang mengejutkanku dari belakang. Sampai-sampai aku hampir melompat saking kagetnya.
Aku menoleh dan melihat kakak perempuankulah pelakunya. "Apa sih, Kak? Ya ampun kaget aku!"
"Lagian kamu ngelamun gitu, abis makan apa sih?" tanya kakakku.
"Tau deh, ada-ada aja nih Kakak!" Aku langsung berjalan melewati halaman depan rumah yang jadi tempat parkir motor ayahku dan lokasi bunga-bunga ibuku tumbuh subur.
Aku melepas sepatu dan menaruhnya di rak kecil di samping pintu. Lalu kubuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Aku berpapasan dengan Ibu yang sedang bermain game di ponselnya sambil bersandar di sofa empuk ruang tamu.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam!" jawab Ayahku yang keluar dari dalam dapur.
"Sibuk banget main game sampe gak jawab salam," kataku menyindir Ibu.
Ayah tertawa sambil memakai peci untuk menutupi kepala botaknya. "Biasa, Ibu lagi asik main cacing. Udah sana kamu mandi. Ayah ada panggilan ke desa nih."
Kalau sudah pakai seragam cokelat itu, Ayah pasti akan sibuk di kantor desa.
Aku masuk ke kamar di sisi kanan rumah ini, menutup pintu dan melempar tas ke kasur dengan sprei biru yang rapi.
Kutatap diriku di depan cermin, memandangi wajah dan rambutku yang panjangnya sebahu. Lalu kulitku yang tidak terlalu putih. Apa aku sudah cukup cantik ya?
Andai aku punya mata secantik Aurel, atau rambut bergelombang sebagus Nindy. Tapi biar gimana pun, aku akan tetap terbangun di pagi hari sebagai Nawang. Bukan siapa pun, selain gadis yang ada di pantulan cermin ini.
Kurasa aku hanya punya diri sendiri untuk diandalkan.
Aku menghela nafas dan berbaringkan diri di kasur sambil menatap ke langit-langit kamar berwarna putih dan bermotif bunga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro