Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 - Shonichi

Seperti biasa, sekolah selesai lebih awal di hari sabtu. Jam dua siang, bel pulang sekolah sudah berbunyi. Kali ini aku tidak langsung pulang, sesuai perjanjian aku akan datang ke aula untuk berlatih bersama anak-anak marching band.

Suara langkah kaki teman sekelasku terdengar riuh. Mereka tak sabar ingin pulang.

"Ciee, anak marching band!" kata Saras menggodaku.

"Tau nih, jadi gak bisa jalan-jalan nih kita. Pulang cepet lho," sambung Nindy.

"Gak bisa, Nin. Anak marching band mau latihan dulu."

"Apa sih kalian? Stop deh."

Aku mulai memasukkan buku-buku ke dalam tas. Kemudian mataku melirik ke arah depan, Lingga berdiri dan berjalan keluar kelas. Aku mempercepat gerakanku.

"Ayo cepet, pangeran udah jalan keluar tuh! Cepet!" kata Nindy.

"Udah dong, biasa aja." Mereka senang sekali menggodaku ya.

"Yakin biasa aja?"

"Ah, udah deh. Aku duluan!" Tanpa basa-basi lagi, aku bergegas berjalan meninggalkan mereka berdua yang masih duduk di kursinya. Kalau diladeni terus, tidak akan ada habisnya bicara sama mereka.

Aku keluar kelas dan melihat sekitar, ternyata Lingga jalannya cepat juga. Dia sudah ada di ujung lorong saat kepalaku keluar. Tahu begitu, aku mempercepat jalanku. Ikut berjalan menuju aula sekolah.

Lorong sekolah cukup sepi, hanya ada suara sepatuku beradu dengan lantai yang menggema dalam kesunyian. Ya, lorong menuju aula memang sesepi ini. Siapa juga yang jalan ke sini sepulang sekolah selain marching band.

Dan cicak.

Tak lama berjalan, akhirnya aku sampai di aula. Samar-samar ku dengar suara orang mengobrol di dalam. Aku langsung cepat-cepat mendekat karena takut terlambat di hari pertamaku ini. Kubuka pintu aula dan langsung segera masuk.

Aku percaya diri dan langsung berucap, "sore!"

"Siang!" jawab Kak Ara yang sudah berdiri di tengah aula. Dan di sekitarnya para anggota sedang berkumpul mengelilinginya.

Sudah lama aku tidak ke aula yang luas ini. Ternyata lantainya sudah diganti, lebih putih dan bersih. Ada sebuah cermin raksasa di sisi kanan ruangan, biasa dipakai ekskul dance.

Mereka semua menoleh dan melihat ke arahku saat aku datang. Ada Lingga juga di sana, aku sedikit malu kalau dilihat banyak orang begini. Hanya senyuman kaku yang bisa kuberikan.

"Lho? Nawang?" panggil Lingga saat melihatku.

"Hai, Lingga. Hehe."

"Sini Nawang, gabung!" Aku segera berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di samping Kak Ara menghadap ke arah anggota lainnya. "Oke, jadi akhirnya ada juga orang yang mau gabung ke tim kita. Setelah sekian lama menunggu!"

"Syukurlah!"

"Bagus deh!"

Terdengar suara para anggota lainnya yang merasa lega setelah mendengar kedatanganku ke ekskul ini. Aku pun merasa kalau keberadaanku di sini begitu berharga bagi mereka, tapi apa mungkin seberharga itu? Atau aku yang terlalu pede?

"Kenalin diri dong, kok diem?"

Aku tersadar dari lamunan begitu Kak Ara menegurku. Aku menarik nafas dan memasang senyum yang ramah, menatap para anggota klub yang menungguku bicara.

"Halo semua, aku Diah Nawang Wulan. Biasa dipanggil Nawang. Dari kelas XII IPS-II, mulai sekarang aku jadi anggota klub marching band. Jadi, mohon bimbingannya ya!"

"Salam kenal, Nawang!"

"Halo, Nawang!"

"Sekelas dong sama Lingga!"

Suara para anggota menyapaku terdengar sangat hangat, aku merasa diterima di sini. Bagus, Nawang! Satu awal yang cerah untukku.

"Kemarin Kakak udah jelasin apa itu marching band dan segala hal tentang klub ini. Jadi, gimana? Udah siap belajar?"

"Siap!"

"Udah cari tau soal alat musik yang Kakak bilang?"

"Udah!"

Kak Ara pun mengangguk. "Oke, langsung aja yuk kita mulai!"

Dalam tim ini hanya terdapat sembilan orang yang masing-masing memiliki peran berbeda. Ada yang bermain drum, terompet, tuba, dan lainnya. Aku datang ke sini sebagai pemain marching bell, sepertinya tidak terlalu sulit ketimbang alat musik lain.

Alat musik yang kumainkan ini berbentuk bilah-bilah besi yang disusun sesuai not. Setiap bilah besi mengeluarkan suara yang berbeda. Cara memainkannya seperti piano, tetapi dipukul menggunakan stik khusus.

Alat ini menggantung di bawah dadaku, dengan sebuah penyangga besi yang terpasang di bahuku untuk menahan beban. Agak berat sih awalnya.

Kak Ara mengajariku teknik dasar bermain alat musik ini, sebelum nantinya aku bergabung bersama tim.

"Liat nih, cara pegang stiknya begini." Kak Ara menunjukkan cara memegang stik. Sebenarnya hanya dipegang biasa, hanya saja ibu jari serta telunjuk saling mengapit dan berposisi lebih ke depan dari jari lainnya.

"Terus pukul, jangan terlalu keras tapi jangan pelan juga." Kak Ara memukul bilah besi itu, dan suara-suara mirip bel pun terdengar.

Aku terus memperhatikan Kak Ara yang terus menjelaskan selama beberapa menit ke depan, walau sesekali aku mencuri pandang ke arah tim untuk melihat sosok Lingga di sana.

"Jadi gimana? Paham?" tanya Kak Ara.
Aku pun mengangguk.

"Sekarang coba."

Dengan perlahan aku memukul satu per satu bilah besi kecil keemasan yang ada di alat musik ini sesuai perintah, dan suara-suara kecil mulai terdengar.

"Coba lebih kuat lagi deh, jangan ragu-ragu."

Aku memperkuat pukulanku dan suara marching bell ini semakin nyaring. Kak Ara mengangguk, aku mulai menyukai alat musik ini. Cukup mudah, cara memainkannya mirip dengan pianika dan piano. Aku tinggal memukul deretan besi ini mengikuti bagian melodiku.

Selama dua jam aku mempelajari alat musik ini, awalnya ada Kak Ara mendampingi, tapi akhirnya ia pergi dan aku belajar sendiri mengikuti buku petunjuk yang ia berikan.

Beberapa meter di depan, ada Lingga yang sedang asik bermain drum snare yang menggantung di bawah dadanya. Suara yang dihasilkannya cukup tegas dibanding drum tenor yang nyaring.

"Nawang ya?" Tiba-tiba, dari arah belakang seseorang datang menyapaku. Seketika aku menoleh ke belakang dan melihat sosok gadis cantik berkulit putih bersih. Ia tersenyum padaku, begitu manis sampai sesama perempuan sepertiku pun dibuat salah tingkah olehnya.

"I-iya."

"Aku Aurel!" katanya yang kemudian duduk di sampingku. "Di sini, aku berperan sebagai mayoret. Salam kenal ya!"

"Salam kenal Aurel," balasku. Auranya itu, gadis ini bak seorang tuan putri. Semua perempuan boleh mengaku cantik, tapi jika tak punya aura seperti Aurel maka tetap akan kalah. Lelaki mana pun pasti ingin melindunginya kalau sudah bersamanya.

"Gimana? Udah bisa main marching bell?"

"U-udah, sedikit-sedikit."

Aurel mengangguk. "Semangat ya! Kita butuh banget anggota baru, soalnya peran pemain marching bell lumayan penting buat tim kita."

"Ngomongin apa nih? Ikut dong." Tiba-tiba seorang anak laki-laki berkacamata datang dan langsung duduk di dekatku.

"Apa sih? Kok sok asik?" Aurel melirik dengan wajah malas ke arah anak itu. Ia memalingkan sehingga rambutnya yang panjang sepunggung itu terkibas.

"Kenapa sih? Kok sentimen sama aku."

Anak laki-laki itu beralih pandang ke arahku. "Halo, Kak Nawang. Aku Raihan, biasa dipanggil Rai. Aku main bass drum di tim ini, yang itu lho. Drum yang gede itu." Tangannya menunjuk ke sebuah drum bass yang dibiarkan di lantai.

"Iya, salam kenal ya."

"Nantinya kamu bakal bersebelahan sama Anin, dia pemain marching bell. Kamu harus bisa kerja sama sama dia," Aurel menunjuk ke arah perempuan yang sedang bermain alat musik yang bentuknya sama denganku. Aku pun hanya mengangguk mengiyakan.

Selama beberapa saat, mayoret cantik ini menceritakan banyak hal mengenai tim ini. Rencana mereka ke depan dan masih banyak hal lain yang diceritakan. Aku cukup antusias mendengarkannya, sambil mengangguk aku terus menyimak.

"Selamat datang di marching band!" ucap Lingga yang tiba-tiba datang. Sungguh, aku tidak siap sama sekali. Aku harus bagaimana? Senyum! Oh iya, aku pun tersenyum. Agak aneh tapi tak apa-apa, semoga dia gak sadar kalau aku lagi gugup.

Lingga duduk dan bergabung bersama kita sambil meminum sebotol air mineral. Aku memperhatikannya dari dekat, kalau dilihat-lihat bulu matanya agak panjang dan alisnya tebal. Dari sela-sela rambut, keringatnya mengalir. Ingin sekali aku mengelapnya.

Sabar, Nawang! Akan ada momennya nanti. Aku memang datang ke sini demi Lingga, tapi aku harus menahan diri dan menghormati semua yang ada di dalam ekskul ini. Tak apa, untuk sekarang pandangi saja dulu.

"Uh, kasihan." Aurel mendekat dan langsung mengelap keringat Lingga dengan handuk kecil.

Eh? Aku tak salah lihat, kah? Semudah itu dia sentuh Linggaku? Mereka sudah sedekat itu? Aku ketinggalan? Aku sedikit kaget, lalu membeku sambil melihat tangan Aurel mengelap dahi Lingga.

Senyumnya, ekspresinya. Tatapan Aurel menggoda sekali. Semuanya terlihat dekat. Apa mereka biasa seperti ini? Jangan, aku masuk marching band bukan untuk melihat hal ini!

"Oi, Kak?"

"Iya?!" Aku kaget saat Rai menegurku dan membuatku tersadar dari lamunan.

"Sampe segitunya ya liat Aurel. Mau dielap juga?"

"E-enggak, enggak." Astaga, kenapa suaraku jadi gugup gini? Rai pasti melihatku tercengang tadi. Ah sudahlah, yang jadi pertanyaanku sekarang.

Apa mereka punya hubungan spesial?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro