Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 - Last Chapter

"Kamu telat banget sih datengnya," ucap Lingga sambil berjalan mendekatiku.

"Kamu menungguku?"

"Tentu, aku yakin kamu datang."

Aku lalu menatapnya tanpa bisa berkata-kata. Kemudian air mataku menetes. Aku terduduk di tanah sambil menutup wajahku dengan kedua tangan. Terdengar suara langkah Lingga mendekat ke arahku.

"Nawang?"

Sambil menangis aku berdiri, menghadap ke arah Lingga yang berada satu meter di depanku Lalu dengan cepat memeluknya begitu erat. Sampai-sampai Lingga hampir terjungkal ke belakang.
"Whoaa, santai," kata Lingga.

Terasa tangannya mendekapku dengan hangat, membalas pelukanku ini. Aku pendamkan wajahku di bahunya yang dibalut jaket biru. Wangi parfumnya masih sama. Aku menangis di sana, membasahi jaketnya dengan air mataku.

"Aku kira kamu nolak aku," ucapku sambil memangis terisak.

"Kamu udah baca tulisan di kertas merah itu, kan? Aku tepati janjiku. Jadi semuanya udah jelas. Kalau aku juga menyukaimu," ucap Lingga. Aku hanya mengangguk sambil melanjutkan tangisan haruku.

"Andai aku tau lebih cepat."

"Aku sudah menyukaimu sejak beberapa waktu lalu. Maaf karena harus menunggu lama, sampai-sampai kamu menyatakannya duluan. Andai aku lebih berani terus terang denganku, maaf karena aku payah."

Aku menggelengkan kepala. "Gak apa-apa, gak masalah, Lingga. Kamu gak sepayah itu kok."

"Tapi ada satu hal yang masih aku ragukan, bisa lepas pelukannya dulu?" pinta Lingga.

Aku lalu melepas pelukan, lalu menatapnya dengan wajah basah oleh air mata. "Apa?" tanyanya.

"Sebelumnya, ini harus dihapus dulu." Lingga mengeluarkan selembar tisu dan mengelap air mataku. Dari jarak sedekat ini, aku menatap wajah tulusnya.

"Apa?" tanyaku lagi yang tidak sabar ingin mendengar kata-kata darinya.

"Aku gak yakin kalau kita saling cinta, soal hubungan kita. Belum ada kepastian dan semua ini tak ada artinya kalau belum kupastikan. Jadi aku mau memastikannya sekarang," kata Lingga.

"Apa? Coba bilang, cepet!"

"Apa kamu mau jadi pacarku?" tanya Lingga sedikit kikuk.

Aku lalu tertawa kecil walau mataku masih berkaca-kaca. Pertanyaan macam itu? Setelah sama-sama menyatakan rasa suka kamu pikir aku ingin hubungan kita ini menjadi apa? Majikan dan anak buah?

"Jangan ketawa dong, aku jadi malu," kata Lingga.

"Kamu itu bodoh atau polos sih? Udah pasti aku mau jadi pacarmu, itu impianku sejak kelas dua," jawabku sambil tersenyum.

Lingga pun mengangguk beberapa kali. "Ya, ya. Rasanya hebat, terima kasih karena sudah mewujudkan mimpimu," ucap Lingga.

Tanpa berkata-kata, aku kembali memeluknya. Dan ia pun tak membalas pelukan, tangannya melingkar di punggungku. Rasanya nyaman, inilah yang aku inginkan. Berada di sampingnya. Kalau dulu aku hanya bisa mengikutinya dan melihatnya dari belakang, maka kali ini aku ada di dalam pelukannya.

Setelah melewati saat-saat mengharukan itu, kami berdua lalu duduk berdua di atas batu sambil melihat matahari terbenam. Beberapa kali ada pencari kayu bakar yang memperingatkan kami untuk turun sebelum senja. Akan tetapi, kami berdua mengeyel.

Dari sini, aku bisa melihat indahnya wajah Lingga yang berkilau diterpa sinar jingga mentari senja. Sambil tersenyum aku menoleh ke arahnya, ia ikut menoleh dan menatapku. Lalu kami berdua sama-sama tersenyum.

"Kenapa sih?" tanyanya sambil tertawa kecil.

"Gak apa-apa," jawabku sambil tesenyum.

"Jangan senyum-senyum gitu, kasihan matahari," ucap Lingga.

"Kasihan matahari?" Aku pun menatapnya heran.

"Iya, itu matahari tenggelam karena minder. Kalah cantik sama senyumanmu," ucap Lingga sambil tertawa kecil.

"Ya ampun," sahutku sambil tersipu malu. Lalu kusandarkan kepalaku di bahunya dan menatap ke depan.
Lingga menatapku dari dekat, tak lama ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Tangannya mulai menyentuh dahiku dengan sebuah kain biru yang halus nan lembut. Ia mengelap keringat yang ada di dahi, sambil tersenyum mataku meliriknya.

"Kamu sampai berkeringat gini, kamu lari ke sini ya? Padahal jalanan ke sini itu licin dan menanjak. Beruntung kamu gak apa-apa, lain kali jangan kaya gitu ya." Lingga berhenti mengelap keringatku. "Kenapa kamu bisa telat, Nawang?"

Aku pun menghela nafas. "Gak apa-apa, gak usah dibahas. Yang penting, aku di sini sekarang. Kita bisa ketemu." Ya, tak ada gunanya juga kan kalau aku cerita soal perbuatan Aurel itu. Aku takut Lingga marah dengannya.

Kami menghabiskan waktu berdua selama beberapa menit ke depan. Hingga perlahan sinar matahari lenyap, warna langit pun memudar. Samar-samar rembulan terlihat dari balik awan. Lampu-lampu jalan dan pedesaan juga sudah mulai menyala. Mentari pun tenggelam dijemput kegelapan malam.

Aku masih duduk di batu yang berdekatan dengan pohon rindang, sehingga kami bisa bersandar pada batangnya yang kasar. Rasanya aku ingin waktu berhenti, rasanya aku juga ingin bumi berhenti berputar. Cukup dengan momen ini, selamanya.

"Udah mau malem, pulang ya?" ajak Lingga.

Aku menggelengkan kepala. "Kenapa buru-buru?"

"Bukan buru-buru, tapi ini udah beneran mau malem." Lingga menoleh sekitar, wajahnya cemas melihat hutan-hutan dan jalan pulang kami yang sudah gelap. Terlebih dedaunan lebat menghalau sinar rembulan yang terangnya tak seberapa.

Aku pun mengangguk menurutinya, lalu berdiri dari batu dan menepuk-nepuk celanaku yang agak kotor. Samar-samar terdengar suara babi dari dalam semak-semak. Lingga buru-buru menarik tanganku dan berjalan menjauh.

"Aku bilang cepetan!" ucapnya sambil berjalan cepat menarikku.

Syukurlah, meski perjalanan kami begitu gelap kami tetap bisa turun dengan selamat. Sejak memegang tanganku dari atas sana, Lingga tak pernah melepasnya sampai kami sampai di bawah. Dia takut aku salah injak atau terpeleset di tanah yang licin ini. Apalagi kami sempat melewati dahan pohon yang menghalangi jalan.

Aku merasa lebih tenang saat sudah keluar dari area perkebunan dan pepohonan yang gelap. Setelah melewati jalan setapak yang membelah sawah, sampailah kami di jalan desa yang sudah ada penerangannya. Meski begitu, Lingga tetap tidak melepas pegangan tangannya.

"Pelan-pelan aja," ucapku supaya Lingga berjalan lebih santai, sehingga waktu kita bersama jadi lebih lama. "Kita baru jadian lho, ngomong sesuatu kek!"

"E-eh? Apa ya?" Lingga bingung dan menggaruk kepalanya.

Aku yang semula menggenggam tangan Lingga kini naik dan menggandeng lengannya. "Habisnya kamu diem aja, gak biasanya kita canggung gini."

"Oke, oke." Lingga tersenyum. "Aku mau jujur. Kenapa aku pura-pura gak denger waktu kamu nyatakan perasaan di depan kembang api itu? Karena aku gak mau kamu menyatakannya duluan, niatnya sih aku mau nyatakan duluan. Tapi ternyata kamu lebih cepet, yaudahlah."

"Gak masalah, sejak awal emang ini misiku. Gak ada masalah kalau perempuan bilang suka duluan, kan?"

"Nawang, udah mau sampe. Kamu gak malu kita gandengan gini?"

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Gak apa-apa." Aku meliriknya. "Kamu malu?"
"E-enggak kok, santai aja."

Tak lama aku sampai di depan gerbang rumah. Lingga berhenti dan memperhatikanku masuk gerbang. Sebelum masuk, kusempatkan diri untuk berbalik badan menatapnya. "Lingga, aku mau denger lagi. Coba ngomong lagi."

"Ngomong apa?"

"Apa kamu cinta aku?"

Lingga menghela nafas. "Iya, Nawang. Aku cinta sama kamu."

"Hmm." Aku pun tersenyum lebar. "Yaudah sana pulang!"

"Gak mau, kamu duluan."

"Gitu ya, oke deh." Aku pun mulai berjalan mendekat ke pintu rumah. Di belakang, Lingga menungguku sampai aku benar-benar masuk ke dalam rumah. Kubuka pintu, sebelum masuk kepalaku kembali menoleh ke arah pacarku. Hehe, aku sudah bisa menyebutnya pacar sekarang. Aku pun tersenyum dan berjalan masuk.

Setelah kututup pintu, barulah Lingga berjalan pulang. Saat dia berjalan pulang, aku kembali membuka pintu. Berdiri di beranda rumah sambil memandangi pacarku berjalan menuju rumahnya sampai ia tak lagi terlihat.

Ya. Inilah akhirnya, kisah cinta yang kukira hanya akan menjadi cinta searah akhirnya terbalaskan. Perjuanganku tak sia-sia. Perasaanku tersampaikan sepenuhnya.

🍃🍃🍃

Jangan pergi dulu ya, masih ada lagi!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro