26 - Kertas Merah
Singkat cerita, waktu pun berjalan cepat. Selama beberapa bulan ini, aku terus diburu oleh materi dan pelajaran. Tak ada waktu untuk bermain-main. Bahkan untuk bercerita pada kalian pun aku tak sempat. Sampai tepat pada waktunya, bulan April pun datang. Ujian nasional tiba. Di hari pertama aku mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Suasana kelas sepi dan hening, tak ada yang berani bersuara.
Pengawas ujian kami berasal dari luar sekolah. Beredar rumor yang mengatakan kalau salah satu dari kami ketahuan mencontek, maka akan masuk penjara. Rumor sampah seperti itu tentunya tidak akan berlaku di sekolah kami. Cuma anak TK yang percaya rumor seperti itu.
Guru luar yang berkeliling sambil memasang wajah seram itu membuatku geli. Suara sepatunya terdengar berpindah ke depan, belakang, bahkan di sampingku.
Sesekali guru itu keluar kelas, lalu diam-diam mengintip dari jendela. Jebakan konyol itu juga tidak berlaku di sini, kami ini anak pintar. Mana mungkin mencontek.
Dua hari kemudian....
Tak terasa ini hari terakhir ujian dan mungkin jadi yang terakhir bagiku berada di bangunan sekolah. Karena berdasarkan yang aku lihat di jadwal, setelah ujian ini sudah tidak ada lagi kegiatan belajar. Apakah ini akhirnya?
Di hari ini juga, aku sudah merencanakan misi pamungkasku. Ini adalah penentuan dari semua usahaku selama ini. Ya, aku akan menyatakan perasaanku pada Lingga saat ujian selesai. Hari ini Bahasa Inggris, aku akan selesai lebih cepat dan menunggunya di depan kelas.
Strategi sudah dirancang jauh-jauh hari, kalau gagal rasanya akan menyesakkan.
Pagi itu, aku berjalan masuk ke sekolah. Aku dan Lingga berbeda ruang ujian. Ruang ujianku berada di dekat ruang marching band, sementara Lingga di lantai dua. Akan tetapi, pagi itu aku melihatnya masuk ke dalam ruang marching band. Lingga, mau apa dia masuk ke sana pagi-pagi begini?
Aku pun menaruh tas di meja, sebelum ujian dimulai aku menyempatkan diri untuk masuk ke dalam ruang marching band. Lingga agak kaget saat aku mendengar suara pintu yang aku buka.
"Halo, Lingga!" sapaku.
"Nawang? Duh, bikin kaget aja."
"Hehe, maaf." Aku berjalan mendekatinya. "Kamu lagi ngapain di sini?" tanyaku.
"Aku lagi liat-liat aja," jawabnya sambil melihat sekitar. "Gak kerasa aku akan segera lulus. Tempat ini sudah jadi tempatku selama tiga tahun, banyak kenangan antara aku dan tim marching band. Dan sekarang aku akan meninggalkannya."
"Begitu ya." Aku menarik kursi dan mendudukinya.
Selama beberapa menit, suasana hening. Tak satu pun dari kami berdua yang berbicara. Aku sengaja diam, membiarkannya menikmati sisa-sisa kenangan di tempat ini sebelum nantinya pergi dan entah kapan kembali lagi.
Suasana begitu tenang, entah mengapa justru memancing gejolak dalam hatiku. Muncul sebuah dorongan untuk melakukan sesuatu. Saat ini kami berdua, suasana pun sepi. Aku mulai terbawa suasana. Haruskah aku menahan gejolak ini?
Kurasa tidak. Inilah kesempatanku.
"Lingga!"
"Ya?" Lingga pun menoleh ke arahku.
Aku lalu berdiri sambil menatap ke arahnya. Di bawah poni ikalnya, kedua mata Lingga menatapku. "Ada yang mau aku omongin."
"Ya, silahkan." Lingga menunggu ucapan dariku.
Aku tersenyum dan menarik napas dalam, menghirup aroma khas ruangan ini. "Gak kerasa, hampir setahun kita kenal. Sebenernya aku udah perhatikan kamu sejak lama. Waktu kelas dua, aku selalu berjalan pulang di belakangmu sambil terus mengagumimu. Menatapmu saja aku sudah bahagia, aku gak berani menyapa. Sampai akhirnya kita punya kesempatan untuk saling kenal, aku seneng banget," tuturku menceritakan.
"Lingga, awalnya aku masuk marching band itu demi bisa deket sama kamu. Tapi setelah melalui berbagai hal bersama Kak Ara, Aurel dan lainnya. Aku mendapat banyak hal di sini, persahabatan, perjuangan dan lainnya. Aku cinta tim marching band. Tapi pada akhirnya, aku harus ingat sama tujuan awalku, aku harus mengatakan ini ke kamu." Aku terdiam sejenak.
Inilah saatnya, Lingga benar-benar serius mendengarku. Nawang, sebelum bel masuk berbunyi. Ayo sampaikan! Aku menarik napas panjang, lalu memberanikan diri menatap wajahnya.
"Harus aku katakan. Kalau aku jatuh cinta sama kamu, sejak pertama kali kita bertemu di vending machine dua tahun lalu. Saat kamu kasih aku sekaleng minuman. Lingga, aku suka sama kamu," ucapku dengan dada berdebar. Wajahku memerah dan tak bisa kusembunyikan wajah malu ini.
Lingga tersenyum sambil menunduk, ia tak melihat ke arahku. "Aku udah tau," katanya.
Hah? Sudah tahu gimana? Aku mulai bertanya-tanya sendiri dalam hati. Malu sekali rasanya!
"Inget waktu kita liat kembang api pas malam tahun baru? Kamu udah bilang 'suka' sama aku, kan? Tapi aku pura-pura gak denger," katanya.
Aku pun kaget mendengar pengakuannya. Pura-pura tidak dengar? Karena apa? Karena tidak mau memberi jawaban? Aku jadi khawatir, jangan-jangan dia mau menolakku dengan halus. Ah! Tapi biar bagaimana pun aku siap! Itu sudah jadi resikonya.
"Nawang, aku-"
"Stop!" Aku pun menghentikannya sebelum Lingga berbicara. "Stop, Lingga! Aku gak siap dengar jawaban kamu! Jujur aku gak siap!" ucapku dengan tegas.
Dari dalam saku, aku mengeluarkan sebuah kertas berwarna merah yang kebetulan sudah ada di sakuku sejak kemarin. Kuberikan kertas itu padanya. Sebenarnya ini tidak aku rencanakan, spontan saja. Lingga menerima kertas dariku, kertas itu kosong.
"Lingga, aku ingin kamu mengisi kertas itu dengan jawabanmu. Apa kamu juga cinta padaku? Kalau kamu cinta padaku maka kamu letakkan kertas itu di sini. Tapi kalau kamu gak cinta sama aku, yaudah buang aja kertas itu," kataku.
"Satu lagi, nanti setelah selesai ujian kamu pulang duluan aja!"
Lingga mengangguk. "Aku paham, lewat kertas ini kamu akan tahu jawabannya. Setelah pulang sekolah, setelah ujian kita berakhir," kata Lingga. Aku pun mengangguk, kemudian bel masuk sekolah pun berbunyi.
Kami pun masuk ke ruangan ujian masing-masing. Ternyata, semua berbeda dari rencanaku pada awalnya. Takdir memberiku waktu lebih awal untuk menyatakan cinta padanya. Tak apa, sekarang aku malah berdebar. Jangan, untuk dua jam ke depan aku harus kembali fokus pada ujian.
Aku akan tahu jawabannya sepulang sekolah nanti. Jika aku menemukan kertas itu di ruang marching band, itu artinya Lingga juga mencintaiku. Kalau kertas itu tidak ada, berarti aku ditolak olehnya. Kita lihat nanti, apa yang akan kutemukan?
***
Aku jadi yang pertama mengerjakan soal Bahasa Inggris, bukan karena aku asal isi. Tapi memang Bahasa Inggris salah satu pelajaran yang aku kuasai. Dan kebetulan soalnya cukup mudah. Aku berdiri di depan kelas, menunggu bel berbunyi dan semua murid mengumpulkan jawaban.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku membukanya dan melihat satu pesan singkat dari Lingga. Segera aku membacanya.
"Nawang, aku pulang duluan sesuai permintaan kamu," ucap Lingga melalui chat kepadaku. Lingga sudah pulang, itu artinya ia sudah menaruh kertas itu di ruang marching band.
Inilah saatnya aku ke pergi dan melihat jawaban darinya. Dengan semangat sekaligus berdebar, aku berjalan ke ruang marching band. Kebetulan aku dekat dengan marching band, aku bisa dengan cepat sampai di sana.
Ayo, Nawang! Aku tak sabar melihat kertas merah itu tergeletak di atas meja, dan di dalamnya terdapat ungkapan rasa cinta Lingga padaku. Ya, aku yakin Lingga pasti menaruh kertas itu di sana.
Aku sampai dan langsung membuka pintu ruangan. Kakiku melangkah masuk ke dalam dan langsung melihat ke meja. Tidak ada apa-apa di sana. Kertas merah yang aku harapkan jadi pertanda cinta Lingga padaku tidak ada. Aku belum yakin.
Aku mulai melihat sekitar, barangkali Lingga menaruhnya di tempat lain. Aku membuka laci, melihat ke rak sampai ke lemari. Ah, mungkin jatuh! Aku membungkuk, melihat ke kolong meja dan lemari. Bahkan sampai memakai senter ponsel, tapi tetap tidak ada. Dicari kemana pun tetap tidak aku temukan kertas itu.
Ya, kertas itu tidak ada.
Lingga tidak menaruhnya di sini. Apa dia membuangnya?
Entahlah, tapi yang jelas. Aku ditolak.
Lingga tidak menyukaiku. Lingga tidak mencintaiku.
Pantas saja dia pura-pura tidak dengar saat aku bilang suka di acara kembang api itu.
Aku butuh diam sejenak, ku tarik kursi yang agak berdebu dan duduk di atasnya sambil melamun tak percaya. Kesunyian semakin menenggelamkanku dalam suasana aneh ini.
Meski ditolak, menyukaimu bukanlah pilihan yang buruk. Tidak, aku tak mau menangis. Percuma, air mata tidak akan bisa menggambarkan rasa sakit ini.
Aku butuh waktu untuk menerima kenyataan pahit ini. Lingga, jadi selama ini aku hanya teman sekelas saja yang jalan pulangnya searah. Hah, mungkin aku saja yang terlalu berharap banyak. Sekali lagi, aku ditolak. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Lingga tidak mencintaiku.
🍃🍃🍃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro