Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 - Pangeran dan?

Hari pertama di semester terakhirku di sekolah ini, pada awalnya semua berjalan mulus. Akan tetapi berbagai pengumuman dan agenda belajarku ke depan mulai membuatku pusing. Ada banyak sekali pelajaran tambahan dan rangkaian ujian yang harus aku lalui sampai hari kelulusan tiba, atau sampai kami selesai melaksanakan ujian nasional.

Kurasa waktu kami akan habis untuk belajar, tak ada kesempatan untuk kegiatan ekskul. Jadwal sangat padat. Dari mejaku dan menyimak apa yang sejak tadi wali kelasku sampaikan di depan kelas.

"Paham semua? Sudah dicatat poin-poinnya?" tanya wali kelasku sambil menaruh spidol kembali.

"Paham, Bu!"

"Dalam waktu kurang dari enam bulan kalian akan melalui ujian-ujian terakhir untuk lulus dari sekolah ini. Jadi Ibu mohon, persiapkan baik-baik. Fokus belajar dan jangan pikirkan hal-hal yang tidak penting," ucap wali kelasku.

"Siap, Bu!"

Kami pulang lebih awal. Setelah istirahat kedua, kami dipulangkan oleh sekolah. Saat semua murid mengerumuni lorong sampai ke gerbang, aku dan Lingga berjalan ke ruang marching band. Kami sangat rindu tempat itu, sudah lama tidak ke sana selama liburan. Tampaknya beberapa keramik yang retak sudah diperbaiki di sudut koridor.

Sesampainya di sana, Lingga membuka pintu dan masuk ke dalam. Sudah ada Aurel duduk seorang diri, ada yang berbeda dengan gadis ini. Rambutnya, warna rambutnya berbeda. Dia mengecat rambutnya dengan warna cokelat gelap, cantik tapi memangnya boleh ya?

"Wah, keren banget!" kataku saat melihat rambut Aurel.

"Bagus, kan? Tahun baru, rambut baru," Aurel tersenyum dan berputar bak tuan putri.

"Kamu gak kena marah guru?" tanya Lingga sambil menarik kursi dan duduk.

"Enggak kok, emang kenapa? Pak Ketua mau marahin aku ya?" tanya Aurel menggoda Lingga.

"Iya, aku marahin kamu!"

"Wah, aku malah seneng dimarahin Pak Ketua. Marahin dong!" Aurel semakin menjadi-jadi. Ya memang begitulah sifatnya, dia terkadang manja dan genit di depan Lingga. Tapi sayangnya setiap Aurel seperti itu Lingga tak pernah menanggapinya.

Tiba-tiba pintu terbuka, lalu Anin pun masuk. "Halo, Anin!" sapaku.

"Selamat siang," jawabnya yang kemudian mengambil tempat duduk dekat kami. "Padat ya jadwal sekolah," ucapnya.

"Iya nih, kita banyak banget ujian sama pelajaran tambahan."

"Masih bisa gak ya kita kegiatan di sini?" tanya Aurel. "Pak Ketua, gimana? Bisa gak?" Ia lalu menoleh ke Lingga.

"Kita liat aja nanti, kalau kegiatan gak terlalu padat. Kita bisa curi-curi waktu luang buat kegiatan di sini. Tapi kalau ternyata akhirnya malah sibuk banget, kegiatan marching band kita tangguhkan dulu sampai ujian selesai," tutur Lingga menjelaskan.

"Iya, setuju," jawabku.

"Harusnya sih adik kelas kita kaya Rai dan Acha yang jalanin ekskul ini. Kemana sih mereka?"

Lingga mengangguk sekali. "Iya, Anin. Nanti ya, pelan-pelan kita coba arahin mereka."

Setelah menghabiskan waktu di ruang marching band, kami pulang beberapa jam kemudian. Setelah keluar dari sekolah, aku duduk di halte pinggir jalan raya. Menatap mobil yang lalu lalang menghempaskan debu ke sisi jalan.

Sementara Lingga membeli minuman di vending machine. Suara kaleng terjatuh pun terdengar. Aku termenung sambil melihat ke depan, memikirkan apa yang mungkin terjadi satu atau dua bulan ke depan.

"Ayo pulang!" ajak Lingga sambil memberiku sekaleng minuman. Aku berdiri dan menerimanya, kemudian berjalan bersama menuju jalan pulang. Seperti yang sudah kita lakukan selama enam bulan terakhir.

"Kayanya bakal banyak materi yang harus dihafal nih buat ujian," ucap Lingga sambil berjalan di sampingku.

"Udah berapa kali aku bilang? Jangan dihafal, tapi dipahami!"

"Oh iya, dimengerti. Tapi, kelemahanku itu aku suka kurang fokus kalau belajar sendiri."

"Mau aku temenin?"

"Jangan dong, nanti tambah gak fokus aku," jawab Lingga sambil tertawa kecil.

Aku pun ikut tertawa mendengarnya. "Tapi aku punya metode sendiri sih buat belajar," tambahnya.

"Metode yang gimana?" Aku bertanya sambil meminum minumanku.

"Aku kalau menghafal atau mencerna materi, biasanya sambil tutup mata," jawab Lingga.

"Oh, kalo aku sih enggak ya."

"Coba deh, sambil tutup mata enak juga lho. Bayangin materi yang kamu hafal itu perlahan-lahan masuk dan tertanam di otak seperti batang singkong yang menancap ke tanah dan mulai berbuah."

"Enggak, gak bisa!" jawabku.

"Lho? Kenapa?" Lingga mengernyitkan dahi.

"Kalo tutup mata bukannya paham materi, malah kebayang wajah kamu," ucapku dengan wajah iseng. Tapi lagi-lagi, malah aku yang salah tingkah dengan ulahku sendiri. Apa sih, Nawang! Aneh banget!

"Genit ya kamu!" kata Lingga sambil mendorongku.

Karena dorongannya terlalu keras, aku sedikit terpental ke kanan dan hampir jatuh ke sawah. Beruntung aku bisa berpegangan pada tiang listrik. "Linggaaaa!!!" teriakku yang kesal karenanya.

"Maaf! Maaf! Habisnya aku gemes sih, hehe," katanya sambil tertawa.

Aku pun melangkah maju, tapi ternyata tanah pijakanku licin. Aku tergelincir ke arah sawah, tapi dengan sigap Lingga memegang tanganku. Bak pangeran yang gagah, dia menyelamatkanku. Ia tarik tanganku dan mendekatkan tubuhku ke arahnya. Kami pun saling bertatapan dalam jarak yang cukup dekat.

Ya, dia memang seperti pangeran. Tapi kalau dia pangeran, apakah aku cocok menjadi putrinya? Belum tentu. Aku ragu. Kini dadaku berdebar cepat, posisi kami sangat berdekatan. Seakan waktu berhenti, atau lebih tepatnya aku ingin waktu berhenti.

"L-lepas dong," ucapku.

"Eh, iya." Lingga segera melepas pegangan tangannya.

Aku menarik nafas, suasana di antara kami pun jadi canggung. Aku tersenyum kaku, Lingga tertawa kecil untuk mencairkan suasana. "Ayo, lanjut!" ucapnya yang kemudian lanjut berjalan dan mungkin mulai melupakan kejadian tadi.

Ada satu hal yang aku sadari dari Lingga. Yang aku lakukan padanya adalah menggodanya, bersikap genit layaknya perempuan kepada orang yang disukainya. Sebetulnya apa yang aku lakukan ini sama seperti yang dilakukan oleh Aurel.

Tapi respon Lingga berbeda, dia tampaknya selalu menimpali kalau aku yang menggodanya. Bahkan dia yang menggodaku pertama kali, apa ini artinya lampu hijau untukku?

Lingga, apa kamu merasakan perasaan yang sama denganku? Apa cintaku ini tersampaikan? Sampai saat ini pun aku belum bisa yakin, aku masih terus memberanikan diri bersamamu dan menunggu jawabannya datang.

Hari itu, mungkin hari terakhir di mana kami pulang sekolah tanpa beban. Karena hari-hari berikutnya, kami diberikan banyak tugas dan materi yang harus dipelajari. Beban kami semakin besar sebelum menghadapi ujian nasional.

Sepulang sekolah, selalu ada satu pelajaran tambahan. Membuat kami terkadang pulang saat hari sudah gelap. Lalu saat di rumah, kami pun harus belajar lagi. Saat hari sabtu ketika bel pulang sekolah berbunyi lebih awal, kami langsung dihadang dua sampai tiga pelajaran tambahan sekaligus hingga sore. Sehingga tak ada waktu untuk latihan marching band.

Bahkan sebenarnya aku tak punya waktu untuk menceritakan ini kepada kalian. Tapi aku curi-curi waktu. Hehe.

Kira-kira selama beberapa bulan ke depan, aku akan menghadapi semua kesibukan ini. Sesekali ada ujian-ujian kecil dan juga try out ke beberapa universitas. Sampai lupa, aku juga harus memikirkan ingin masuk universitas dan fakultas apa saat lulus nanti. Ah, tapi itu nanti!

Tak banyak yang bisa kuceritakan di masa-masa ini. Semua berjalan sama setiap harinya. Kalau aku ceritakan semua yang terjadi dari bulan Januari-April, maka yang bisa aku ceritakan adalah rumus dan materi-materi yang memusingkan. Andai kalian bisa masuk ke sini, pasti aku akan minta bantuan.

🍃🍃🍃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro