Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 - Acha dan Symbal-nya

Akhirnya, sesuai dengan kesepakatan waktu itu. Latihan pun ditambah menjadi hari Selasa. Sepulang sekolah, aku berjalan menuju aula untuk kembali berlatih bersama tim marching band. Kemarin malam, aku sudah berlatih dan menghafal nada. Kupastikan permainanku kali ini akan membaik.

Kak Ara sudah siap di dalam aula bersama yang lainnya. Semua tampak serius membuat barisan di tengah aula ini, tak ada yang berani mengobrol atau bercanda.

Tanpa basa-basi, kami membawa alat musik masing-masing. Bilah-bilah besi kecil marching bell sudah terpasang di bawah dadaku dan siap untuk kumainkan.

Aku melirik Anin dan Acha yang sudah bersiap dengan symbal-nya. Di depanku ada Rai dan Lingga dengan drumnya, lalu pemain alat musik tiup mengapit pemain drum. Di paling depan, Aurel bersiap dengan tongkat mayoretnya.

“Ingat! Penampilan udah gak lama lagi. Waktu kita singkat, latihan sebaik mungkin. Kakak mau lihat perkembangan kalian. Dan untuk kelas tiga, setelah ini kalian akan fokus dengan ujian. Jadi persiapkan penampilan terakhir sebaik mungkin. Paham?” kata Kak Ara dengan suara keras.

“Paham!”

“Semangat!”

Aurel mulai memutar-mutar tongkat mayoretnya, mulutnya berhitung tiga sampai satu. Saat hitungan ke satu, kami mulai memainkan alat musik masing-masing.

Suara dari instrumen kami menciptakan melodi yang indah dan padu. Terdengar menggema di tengah aula yang sepi ini.

Aku terus memukul bilah-bilah besi itu mengikuti ketukan dan nada yang dimainkan. Aku yakin, permainanku sudah bagus. Tapi ada yang aneh, aku bisa merasakannya. Pemain symbal sepertinya beberapa kali salah ketukan. Acha, ada apa dengannya? Sesekali kulihat Anin menatap kesal ke arah anak itu.

“Stop!” Kak Ara menghentikan permainan.

“Yang bener dong!” kata Anin kepada Acha.

Adik kelas yang malang itu pun menunduk sambil mengangguk. “Iya, Kak. Maaf!”

“Acha, masih semangat, kan?” tanya Kak Ara.

“Masih, Kak,” jawab Acha.

“Mulai dari awal ya."

Musik pun dimulai dari awal. Aku terus fokus, melakukan yang terbaik supaya tidak seperti Acha yang kena marah Anin. Ya, permainanku membaik. Bagus teruskan, melodinya semakin enak didengar. Ketukan semakin cepat, tapi aku bisa mengimbangi. Terutama suara snare Lingga. Dia jadi penentu tempo kami.

Acha kembali melakukan kesalahan, ketukannya sudah benar. Tapi suara symbal-nya terlalu lemah. Satu kali masih dibiarkan, tapi kedua dan ketiga kalinya ia terus membuat kesalahan. Aku lihat Kak Ara sudah menggeleng-geleng kepala. Tapi kami terus bermain sampai lagu selesai.

“Acha, kamu gak semangat ya?” tanya Kak Ara saat lagu sudah selesai.

“Semangat, kok!"

“Enggak, semangat itu gak kaya tadi. Beda lho, kamu gak kaya biasanya. Kenapa sih? Mau pulang? Capek? Keberatan kita latihan dua kali? Ngomong aja, kita di sini latihan buat anak-anak yang niat aja. Kalo gak niat mending pulang,” kata Kak Ara dengan nada kesal. “Semuanya latihan sendiri ya, lima belas menit Kakak balik lagi. Kita mulai lagi.” Kak Ara kemudian pergi dari aula meninggalkan kami.

Kami pun mulai bermain alat musik masing-masing, aku dan Anin berlatih berdua. Sedangkan Lingga dan yang lainnya berlatih sendiri. Selama beberapa menit berlatih, kami masih baik-baik saja. Sampai akhirnya aku sadari, sejak tadi Acha duduk sendiri di pojok ruang aula. Tak lama Aurel mendekatinya, melihat Aurel mendekati Acha. Aku pun ikut mendekat.

“Acha kamu kenapa?” tanya Aurel. Aku berdiri di sampingnya.

Acha menoleh dan tampak wajahnya sedang menangis. Kami berdua langsung duduk di dekatnya. “Kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?” tanyaku.

Tapi gadis ini tidak menjawab dan hanya menangis sesegukan. Aku kasihan, tapi tak tahu apa yang dialami anak ini sampai menangis. Apa karena Kak Ara? Bisa jadi sih, dia kan masih kelas satu. Baru merasakan jenjang SMA, mungkin juga Kak Ara terlalu keras padanya.

“Kamu gak salah kok, kalo capek wajar. Tapi kita semua di sini juga capek,” kata Aurel menenangkannya. Tak lama Lingga dan Rai pun ikut datang mendekati kami.

“Acha, cerita aja!” sahut Raihan.

“Eh, itu kenapa?” Lingga sambil menunjuk ke arah tangan kanan Acha.

“Gak apa-apa!” Acha langsung panik dan menyembunyikan tangannya dari kami sambil memalingkan wajah.

Melihat gerak-gerik Acha yang mencurigakan, aku dan Aurel saling pandang. Dia tampak ketakutan saat Lingga bertanya. Ada yang tak beres dengan anak ini. Dengan lembut Aurel mengeluarkan senyuman ajaibnya, yang membuat siapa pun luluh dibuatnya.

“Kenapa? Coba sini aku lihat,” kata Aurel sambil memegang tangan Acha.

“Gak mau, Kak!” Acha menolak dan tetap menyembunyikan tangannya.

“Gak apa-apa. Kasih liat aja!" tegas Lingga.

Setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Acha menunjukkan tangannya. Terlihat luka lebam di pergelangan tangan Acha. Aku tahu, itu pasti menyakitkan. Jadi karena itu dia banyak melakukan kesalahan di latihan ini.

“Jangan bilang Kak Ara,” kata Acha.

“Lho, kenapa? Ini harus diobatin." Aurel berusaha membujuknya.

Acha malah makin menangis saat mendengar ucapan Aurel. “Jangan! Aku takut, nanti aku gak bisa ikut latihan. Nanti aku gak bisa tampil sama kalian, aku juga mau tampil."

Tapi biar bagaimana pun Kak Ara harus tahu kondisi Acha. Rai segera memanggil Kak Ara yang ada di ruang marching band. Sementara kami di sini mencoba menenangkan gadis malang ini yang terus menangis. Kecuali Anin, dia hanya melihat dari kejauhan.

“Nanti kalo aku gak bisa tampil gimana?” Pertanyaan itu terus dilontarkan Acha kepada kami.

“Enggak, ini pasti sembuh. Percaya deh sama kita, kamu nanti pasti tampil sama kita,” ucapku berusaha membuatnya tenang.

Tak lama Kak Ara datang dan langsung melihat keadaan tangan Acha. Karena UKS sudah tutup dan hari semakin sore. Kak Ara hanya bisa memberinya pertolongan pertama sebisanya. Kak Ara mengkompres tangan Acha dengan air dingin.

“Kamu itu kalo emang niat mau tampil dan lanjut latihan sama kita ya seharusnya ngomong kalo ada yang sakit begini. Kalo didiemin malah makin parah terus kamu gak bisa ikut, mau?" tanya Kak Ara padanya.

Acha menggeleng.

"Kalian udah gede semua ya, coba belajar buat tanggung jawab sama diri sendiri. Kalo ada apa-apa, bilang! Daripada nantinya didiemin malah menghambat perkembangan tim."

Selanjutnya, Acha dibiarkan duduk dan hanya menonton kami latihan. Untuk pemain symbal, sementara Kak Ara yang menggantikan Acha. Kami terus berlatih dan berlatih selama dua jam tanpa henti. Hingga enam sore, kami baru selesai latihan.

Dengan badan yang begitu letih, aku kembali berjalan pulang bersama Lingga. Hari sudah gelap. Lampu-lampu jalanan sudah menyala. Rasanya bunyi besi bilah-bilah besi marching bell masih terngiang-ngiang dalam otakku.

“Wah kayanya malam ini aku tidur mimpinya marching band nih,” gumamku.

“Haha, sibuk ya hari ini. Latihan kita intens, begitulah Kak Ara kalu udah serius. Karena itu kita juga harus serius dan sungguh-sungguh, supaya bisa menampilkan yang terbaik,” ucap Lingga.

"Kak Ara serem hari ini."

"Ya begitulah kalau udah serius, jangan diambil hati. Jadikan motivasi aja."

Aku tersenyum dan menatap wajahnya. Lingga ingin penampilan yang terbaik, maka demi dirinya. Demi cowok yang aku sukai aku pun akan berlatih keras. Supaya aku pun bisa membantunya memberikan penampilan terbaik untuknya. Dan untuk tim.

Masih akan banyak latihan besok! Apa yang akan terjadi ya? Tapi yang jelas aku tak ingin kalah dari yang lain, meski baru bergabung aku tak ingin tertinggal.

Hari ini pun, aku belajar dari Acha. Ia begitu bersungguh-sungguh dengan usahanya. Ia begitu kuat, sangat ingin memberikan yang terbaik untuk tim marching band sampai harus menahan rasa sakit di tangannya dan berpura-pura tidak merasakan apa-apa.

Tapi apa benar berpura-pura baik-baik saja adalah kekuatan yang sebenarnya?

🍃🍃🍃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro