17 - Level Down?
Aku terus terbayang-bayang nama yang ada di bagian belakang buku Lingga. Sepertinya hari-hari kurang konsentrasi akan datang lagi. Aku harus gimana ya? Apa aku tanyakan saja langsung padanya? Lingga, siapa itu Dinda? Ah, tapi kok seperti menginterogasi ya? Memangnya siapa aku ini? Hanya teman sekelas yang kebetulan jalan pulangnya searah. Apa Lingga hanya menganggap aku begitu ya?
Aaaarrgh! Semakin dipikirkan semakin terbayang-bayang.
"Heh!" Ibu mengangetkanku dari belakang, tapi aku tidak terlalu kaget sih. Aku menoleh dan melihat ke arahnya.
"Kenapa sih, Bu?" tanyaku.
"Udah siang. Kok malah bengong sih?"
"Iya ini juga mau jalan kok." Aku segera mengikat tali sepatuku, sementara Ibu menyapu halaman dengan sapu lidi andalannya.
Setelah selesai, aku berpamitan dengan Ibu. Kubuka gerbang dan mulai berjalan ke arah sekolah.
Udara segar khas pedesaan menyambutku, hijaunya sawah dan megahnya gunung yang tertutup kabut terlihat menghias pagi ini.
"Nawang!" panggil seseorang dari belakang. Aku pun menoleh, ternyata dia. Si cowok cepak sekaligus ketua kelasku. Rian. Jarang-jarang dia berangkat pagi sekali.
"Tumben berangkat pagi?" tanyaku sambil berhenti berjalan.
"Iya, ada perlu. Sebelum upacara ketua kelas tiga disuruh kumpul," jawabnya.
"Wih, sibuk ya ketua kelas."
"Iyalah, namanya juga orang penting. Udah ayo buruan!" ujarnya yang kemudian berjalan mendahuluiku.
Aku pun ikut berjalan di dekat Rian. Anak laki-laki ini buru-buru sekali jalannya, aku yang malas berjalan cepat pun tertinggal beberapa langkah darinya.
Oh iya, Rian punya banyak teman di sekolah karena dia ketua kelas. Dia banyak berkenalan dengan ketua kelas, sekretaris dan bendahara dari kelas lain. Apa dia pernah dengar nama Dinda ya?
"Rian," panggilku.
"Apa?"
"Sini dulu!"
Rian pun berhenti dan menoleh ke arahku dengan wajah malas. "Apa sih?"
Aku mempercepat langkah dan mendekatinya. "Kamu tau cewek yang namanya Dinda?"
"Dinda? Emang kenapa? Kayanya enggak deh."
"Masa sih? Temen kamu di luar kelas kan banyak, gak pernah gitu minimal denger aja nama Dinda." Aku kembali bertanya.
Sementara Rian berpikir dan coba mengingat-ingat. Dengan sabar aku menunggu jawaban darinya. "Oh iya, ada! Dari kelas XII-5. Dinda si bendahara sekaligus anak paskibra, emang kenapa?"
"G-gak apa-apa, makasih ya!" ucapku.
Ternyata benar ada. Dinda dari kelas XII-5, jangan-jangan dia yang ditulis di dalam buku tulis milik Lingga. Aku perlu mencari tahu lebih lanjut. Tapi kalau tidak salah, kelas XII-5 itu kelas Anin dan Aurel. Aku bisa tanya sama dia aja. Baiklah, petunjuk sudah ditemukan. Ayo Nawang, temukan sesuatu!
Sesampainya di sekolah, aku tak langsung mencari tahu. Aku dan yang lainnya harus mengikuti upacara. Lalu lanjut ke pelajaran jam pertama. Aku tidak bisa fokus, wajahku menatap ke arah buku tapi pikiranku ke mana-mana. Sesekali mataku menatap Lingga yang duduk di paling depan.
Jam istirahat pertama berbunyi nyaring. Inilah saatnya! Gunakan jam istirahat yang singkat ini sebaik mungkin, Nawang! Aku segera berjalan cepat keluar kelas dan berjalan menuju kelas XII-5 yang agak berisik itu. Sesampainya di kelas tujuan, aku melihat dari jendela. Mencari keberadaan Anin dan Aurel.
"Cari siapa?" tanya seseorang dari belakang.
Aku menoleh dan melihat seorang murid laki-laki. "Aurel sama Anin ada gak ya?"
"Aurel aku gak tau di mana, tapi dia masuk. Kalo Anin, dia gak masuk karena izin," jawabnya.
"Oh gitu ya, yaudah deh. Kok kamu tau?"
"Iyalah, aku dari kelas sini." Murid laki-laki itu lalu berjalan masuk.
"Tunggu!"
"Apa lagi?"
"Di kelas ini ada yang namanya Dinda?" Aku kembali bertanya.
"Dinda? Gak ada."
"Masa sih? Katanya ada lho." Aku masih kurang yakin.
"Gak ada, salah kelas kali."
"Ada. Dia bendahara di sini."
"Rinda. Rindaswari Susanti. Bukan Dinda, salah nama kamu."
"Rinda? Bukan Dinda?" Aku meyakinkan sekali lagi.
"Bukan, bendahara di sini namanya Rinda. Udah ya, aku sibuk." Ia langsung berjalan masuk dan meninggalkanku.
Rian! Informasi dari ketua kelas itu sesat! Rinda, bukan Dinda. Dasar. Aku pun berjalan kembali ke kelas dengan wajah kurang puas karena belum berhasil menemukan petunjuk apa-apa. Kembali duduk di posisiku dan melamun sambil melihat ke luar jendela.
Ku kira aku bisa fokus di jam pelajaran kedua, tapi nyatanya aku malah semakin tak konsentrasi. Semua itu gara-gara Dinda. Aaargh! Siapa sih?! Alih-alih memperhatikan pelajaran, aku malah kepikiran hal yang gak penting. Eh, penting juga deh.
Jam istirahat kedua pun tiba, Pak Seno berjalan keluar kelas setelah menyelesaikan beberapa materi. Dengan lesu aku bangkit dari kursiku. Kemudian berjalan ke kantin bersama Saras dan Nindy untuk makan siang.
Sesampainya di kantin, aku duduk di meja biasa bersama kedua teman dekatku ini. Sambil menunggu makanan yang kami pesan datang, hidungku dimanjakan dengan aroma makanan dari wajan-wajan yang berisik itu.
"Kenapa sih? Kok kamu lesu gitu?" tanya Saras padaku.
"Gak apa-apa kok, Dinda."
"Hah? Dinda? Ini aku Saras woi!"
"Pfft!"
Saras mulai menatapku cemas dan menggerakkan tangannya di wajahku seperti yang biasa orang lakukan pada orang pingsan.
"Iya maaf salah sebut." Aku menyingkirkan tangan Saras dengan lesu.
"Aneh banget nih anak."
"Tau nih, cerita dong," kata Nindy.
Aku yang sejak tadi lemas sambil menopang dagu pun menatap mereka dengan tatapan malas. "Suram banget hari ini."
"Kenapa?" Saras kembali bertanya.
"Lingga kayanya suka cewek lain deh."
"Hah? Kata siapa? Kok kamu tau?" tanya Nindy penasaran.
"Jadi, aku kemarin pinjam buku catatannya. Di sana, ada nama cewek pake tinta merah dan dihias bentuk hati gitu. Tulisannya 'Love Dinda' gitu," tuturku menjelaskan.
"Udah kamu cari tau?"
Aku mengangguk. "Kayanya gak ada yang namanya Dinda di angkatan kita."
"Bisa jadi Dinda yang dimaksud itu adik kelas, atau dari sekolah lain. Atau cewek di sekitar rumah Lingga. Dia pasti punya teman selain di sekolah, kan?" kata Nindy yang membuatku semakin kepikiran.
"Santai aja, mungkin orang iseng. Sekarang nikmati aja hari-harimu bersama Lingga. Toh, kalian masih pulang bareng," kata Saras.
Tak lama makanan kami datang. Pembicaraan mengenai Dinda selesai. Aku menyantap makananku, beberapa saat bayangan mengenai Dinda menghilang. Tapi tak berlangsung lama, ia datang lagi saat aku kembali ke kelas dan melihat Lingga.
***
Jam pulang sekolah pun tiba, aku kembali pulang bersama Lingga. Ingin rasanya aku berterus terang dan bertanya padanya. Siapa itu Dinda? Tapi rasanya kurang sopan, itukah privasinya.
"Bukuku udah selesai?" tanya Lingga.
"Belum, malam ini niatnya aku selesaikan. Besok aku kembaliin ya," jawabku. Lingga hanya mengangguk mengiyakan.
Sambil berjalan di pinggir jalan desa, aku sesekali meliriknya. Sosok cowok idamanku yang kini berjalan bersebelahan denganku, tapi belum tentu bisa kumiliki. Aku menatap wajah sampingnya yang bersinar diterpa mentari senja.
"Ekhem! Ciee, lagi punya gebetan ya?" tanyaku sambil berjalan dan melihat ke arah sawah.
"Siapa?"
"Ya, kamulah," jawabku.
"Gebetan? Enggak deh kayanya, aku gak ada gebetan."
"Ada tuh."
"Siapa?"
"Ya kamu taulah orangnya," jawabku sambil memalingkan wajah.
"Aneh banget sih." Lingga kembali menatap ke depan. Ia lalu meminum minuman kaleng yang ia pegang sejak tadi. "Uhuk!" Mendadak Lingga tersedak saat melihat sesuatu di depan.
"Eh kamu kenapa?" tanyaku cemas.
"Dinda!" teriak Lingga sambil berlari ke depan.
Aku diam sambil melihat Lingga mendekat ke seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun yang sedang asik mencoret-coret pagar milik warga dengan spidol.
"Ngapain kamu jauh-jauh ke sini! Pulang! " kata Lingga.
Anak itu langsung tersenyum lebar dan menaiki sepeda kecil miliknya. Dengan cepat ia mengayuh sepeda dan kabur dari Lingga. "Kak Lingga jelek! Kak Lingga jelek!" ejek anak itu sambil berjalan pergi.
"Kenapa, Lingga?" Aku segera mendekat sambil memasang wajah cemas.
Lingga tampak bingung sambil menatap ke arah pagar kayu milik warga. "Kelakuan adikku." Tangannya menunjuk ke arah pagar.
Saat aku lihat, ada tulisan "Love Dinda" di pagar itu. Banyak sekali! Ini vandalisme namanya! Tapi tunggu, seperti ada yang familiar.
"Dinda itu siapa?" tanyaku.
"Bocah nakal tadi, dia adikku. Akhir-akhir ini sering banget coret-coret tulisan seperti ini. Di buku-bukuku, di lemari ku, di pintu juga," jawab Lingga sambil menggelengkan kepala.
"Di buku yang aku pinjam juga ada!"
"Ya, itulah kelakuan adikku."
Jadi itu yang namanya Dinda? Anak itu? Adiknya Lingga. Dia yang aku cari-cari selama ini? Dia yang buat aku seharian ini tidak konsentrasi belajar, ternyata anak kecil?
"I-itu namanya Dinda?"
"Iya," jawab Lingga.
"Dinda lain gak ada?"
Lingga menoleh ke arahku. "Apa sih? Cuma dia yang namanya Dinda. Oh ya, aku duluan ya. Takutnya bocah itu malah keliaran ke mana-mana!"
"Yaudah sana kejar!"
Aku pun terdiam mematung, menatap Lingga berlari mengejar Dinda yang bukannya pulang malah berjalan ke tengah sawah. Anak nakal itu tak hanya menganggu Lingga, tapi juga menggangguku secara tak langsung!
Aku jadi merasa malu sendiri, sumpah. Memalukan sekali! Tapi di sisi lain, aku bersyukur. Ternyata Dinda adalah adiknya. Bukan gadis yang disukainya.
Akhirnya aku tenang. Nawang, kamu aman sekarang!
🍃🍃🍃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro