16 - Level Up!
Aku terbangun dari tidurku dengan sangat terkejut. Ya, ayah membangunkan ku dan berkata kalau aku terlambat. Setelah ku lihat jam, ternyata benar! Matilah aku. Sebentar lagi gerbang ditutup dan aku belum siap sama sekali.
Segera aku melompat dari atas kasur, lalu berlari ke luar kamar. Kemudian mendengar suara TV menyiarkan acara pagi yang biasa Ibu tonton. Dapur Oma namanya. Aku sampai hapal slogan acara itu.
Dapur Oma, dapurnya kita semua!
Eh? Dapur Oma? Acara masak-masak itu kan cuma tayang di hari Minggu.
Berarti hari Minggu dong?
Aku berhenti berlari dan menoleh ke ayahku yang ada di meja makan. "Ayah ini hari Minggu!" kataku dengan wajah sebal.
“Iya, Ayah tau. Tapi itu lho, di luar ada yang cari kamu."
“Hah? Siapa?” Siapa yang mencariku pagi-pagi begini? Ganggu tidurku saja.
“Katanya temen sekelas kamu, namanya Lingga."
“Hah?”
Lingga? Mendengar namanya, mataku pun menjadi segar. Rasa kantukku seakan hilang, aku langsung duduk dan menatap Ayahku dengan wajah serius. “Serius Lingga?” tanyaku untuk meyakinkan bahwa aku tidak salah dengar.
“Iya, mau ngajak kamu olahraga kali. Soalnya pake baju olahraga dia."
Ah sial, aku memang janji ingin olahraga bersamanya. Aku pun buru-buru berlari ke depan. Lalu mengintip melalui jendela. Dan benar, dia di sana. Lingga sedang duduk di pelataran rumahku. Ayah pasti menyuruhnya masuk.
“Cepet siap-siap sana, kasian dia nungguin,” ujar Ayah.
“Iya ini juga mau siap-siap!” Aku berlari kecil ke kamar mandi dan mencuci wajahku. Setidaknya Lingga jangan sampai melihat wajahku yang baru bangun tidur ini. Oke wajah sudah, terus apa lagi? Oh iya! Rambut. Buru- buru aku merapikan rambutku.
Oke, udah lebih baik. Aku bergegas kembali ke kamar dan mengganti baju tidurku dengan kaos katun dan celana training. Kemudian langsung berjalan cepat ke depan rumah sambil membawa sepatu lariku.
"Hoaam." Aku keluar sambil menguap.
"Ya ampun, Diah Nawang Wulan. Ini udah jam enam lewat, kamu baru bangun?" tanya Lingga.
“Lingga? Ya ampun, pagi banget. Ayam aja belum pada bangun tau."
“Siapa bilang? Udah kok." Lingga menunjuk sekumpulan ayam yang sednag mencari makan.
“Oh iya, ini buku yang mau kamu pinjam,” kata Lingga sambil memberikan sebuah buku catatan. Aku lalu menerimanya untuk nanti aku menyalin catatan milik Lingga.
“Udah yuk!” ajakku yang sudah selesai memakai sepatu.
“Yuk!” Lingga pun mulai melangkah dan mendekati sepedanya yang terparkir di depan rumah
.
“Kamu bawa sepeda?”
“Iya, kita ke aku tau tempat keren di sekitar sini."
“Hah? Ke mana?”
Lingga pun mulai menaiki sepedanya. “Udah naik aja."
Aku pun menurut dan naik di bagian belakang sepedanya. Setelah posisi dudukku sudah nyaman, Lingga mulai mengayuh sepedanya. Angin terasa dingin menyejukkan, embun pagi masih terlihat di dedaunan. Udara pagi ini terasa sejuk dan segar.
Dari arah barat, tampak cahaya oranye menyingsing. Rasanya nyaman sekali, berada di belakang sepeda bersama Lingga. Aku pun bersandar di punggungnya, kukira dia akan risih. Tapi ternyata tidak, dia menerima diriku. Kukira hubungan ini kembali naik satu level.
Ibarat main game online, aku harus lebih banyak bersamanya, supaya exp-ku bertambah dan bisa naik level.
“Jangan tidur lho ya,” kata Lingga sambil sedikit melirik ke belakang.
“Enggak kok."
Dia tahu saja kalau sebenarnya aku masih mengantuk dan hampir tertidur di punggungnya. Sesekali bebatuan dan jalan rusak mengguncang sepeda kami, membuatku reflek berpegangan kepadanya. Tanpa sengaja memeluknya dari belakang. Kuharap, jalan yang kami lalui rusak sampai tujuan. Supaya aku bisa memeluk Lingga sepanjang perjalanan.
Setelah sepuluh menit berjalan, kami sampai di suatu tempat. Aku tahu tempat ini. Sebuah waduk yang cukup besar. Waduk Margapura namanya.
Airnya jernih dan tenang, di pinggir waduk terdapat jalan setapak yang nyaman untuk pejalan kaki. Di jalan inilah kami berlari-lari kecil berdua. Tidak berdua juga sih, ada beberapa orang yang juga sedang olahraga.
Terkadang aku merasa, Lingga sengaja melambatkan larinya hanya supaya bisa sejajar di sampingku. Supaya aku tidak tertinggal olehnya. Apakah ini artinya dia ingin terus ada di sampingku? Tidak, tidak. Jangan terlalu pede, mungkin dia takut aku hilang.
Setelah berlari selama setengah jam lebih, kami beristirahat saat sampai di sebuah pintu air. Di sini, suasana cukup ramai. Terdapat penjual makanan kecil dan juga minuman. Saking ramainya, kurasa tempat ini bisa dibilang pasar pagi.
Aku pun duduk di kursi kayu sambil menghadap ke waduk. Air yang tenang itu kini memantulkan kilauan matahari pagi yang hangat.
“Nih.” Lingga datang dan memberiku sekaleng minuman dan juga es krim sesuai permintaanku.
“Wah, beneran dibeliin dong! Makasih, Lingga. Padahal aku bercanda lho.” Aku menerima es krim dan minuman itu. Lebih dulu aku minum dan membasahi tenggorokan, sebelum akhirnya aku membuka bungkus es krim dan mulai menikmatinya.
Lingga duduk di sampingku, ternyata dia juga beli es krim untuknya sendiri. Selama beberapa saat kami terdiam tanpa bicara apa-apa. Ditambah aku pun sibuk menikmati es krim segar ini.
“Agak silau ya di sini,” kata Lingga.
“Gak apa-apa, matahari pagi itu sehat tau."
“Iya sih,” sahutnya yang kemudian melahap es krim cokelatnya itu.
“Selain matahari, apa lagi yang bersinar di dunia ini?”
“Apa ya? Pelangi? Bulan? Bintang? Nawang? ” jawab Lingga sambil berpikir dan menebak-nebak.
“Salah semua. Selain matahari yang bersinar itu senyumanmu,” jawabku sambil tersenyum iseng.
Entah mengapa? Aku yang mencoba menggodanya, tapi malah aku yang salah tingkah. Ekspresinya itu lho, dia tertawa saat mendengar itu dariku. Kukira tadinya dia akan jijik, ternyata tidak. Astaga, aku jadi malu!
Lingga memalingkan wajah sambil tersenyum.
“Tapi senyumanku bersinar untuk menyinari hari-harimu,” ucap Lingga yang malah balas menggodaku.
Ya, mungkin ini adalah level tertinggi dari semua hal yang pernah Lingga ucapkan kepadaku. Aku menahan diriku yang dibuat tak karuan olehnya, dengan pipi yang memerah ini rasanya aku ingin berenang di waduk saking senangnya, lalu akan kuceritakan kepada ikan-ikan di waduk tentang apa yang Lingga katakan padaku. Dia kasih aku serangan balik!
“K-kamu, jangan gitu,” ucapku sambil memalingkan wajah.
Lingga menertawakan ekspresiku. Ya, ekspresiki ini memang pantas ditertawakan. “Lagian, kan kamu sendiri yang mulai,” ucapnya. "Aku bercanda ya."
Tak apa-apa, bila cara bercandamu seperti ini aku malah senang. Semoga kamu sering-sering berkata seperti tadi, mungkin yang awalnya bercanda. Bisa jadi nanti suka.
Sekitar jam sepuluh aku dan Lingga beranjak dari waduk ini untuk pulang. Ia mengantarku ke rumah, tidak juga sih. Jalan kita memang searah. Aku turun tepat di depan gerbang dengan wajah yang sedikit berkeringat.
“Huh, makasih ya,” ucapku pada Lingga.
Lingga mengangguk. “Nih jangan sampe ketinggalan,” katanya sambil memberikan botol minumanku yang aku letakkan di keranjang sepedanya. Aku segera menerimanya.
“Jangan kapok olahraga sama aku ya,” cakapku.
Lingga mengangguk. “Enggak dong. Aku duluan ya!” Lingga lalu berpamitan dan lanjut mengayuh sepedanya untuk sampai ke rumah. Seperti biasa aku memandanginya sampai jauh sebelum akhirnya kembali masuk ke rumah.
Setelah mandi dan membersihkan diri, aku berdiam diri di kamar. Kuambil buku tulis dan pulpen. Niatnya aku mau langsung menyalin catatan yang dipinjamkan oleh Lingga. Kubuka halaman pertama, terlihat goresan tangannya yang membentuk huruf demi huruf dengan rapi.
Aku pun mulai menulis poin-poin penting dari pelajaran yang sempat aku lewatkan beberapa hari lalu. Sampai akhirnya, tak sengaja aku membuka halaman terakhir buku tulis Lingga.
Aku pun kaget saat melihat bagian belakang buku ini. Terdapat tulisan tangan bertinta merah bertuliskan ‘Love Dinda’ ditambah gambar hati di dekatnya.
Seketika aku pun tercengang dan terdiam. Hatiku terasa berdebar. Siapa itu Dinda? Aku baru dengar namanya. Kenapa romantis sekali? Pakai tinta merah dan ada gambar hati juga.
Ada yang mendahuluiku? Tapi kenapa aku tak tahu? Mungkin teman rumahnya? Iya, aku bahkan tak pernah ke rumahnya.
Dinda, Dinda, Dinda. Nama itu terus berputar-putar di kepalaku. Apa jangan-jangan dia perempuan yang disukai Lingga? Lalu, selama ini aku apa?
🍃🍃🍃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro