15 - Perlukah Aku Belajar Sihir?
Waktu pun berjalan cepat, tak terasa aku bertemu kembali dengan hari sabtu. Beberapa hari sebelumnya aku rutin melatih tanganku untuk bergerak lebih cepat. Berharap bisa menyelaraskan permainanku dengan Anin.
Sepulang sekolah, aku kembali berkumpul dengan anak marching band. Rencananya, kami akan latihan seperti biasa. Akan tetapi, Kak Ara tidak bisa datang karena ada keperluan lain. Alhasil semua tanggung jawab diserahkan ke Aurel.
“Udahlah temen-temen, gak ada Kak Ara kita santai aja,” kata Rai sambil duduk di lantai aula dan bersandar di dinding.
“Iya ya, udahlah santai dulu yuk. Nanti jam setengah tiga aja kita mulai." Aurel ikut duduk lalu mengeluarkan ponselnya.
“Sampe setengah tiga ya? Awas lho kalo nanti malah keenakan duduk-duduk,” ucap Lingga.
“Iya, iya. Santai aja."
Aku memasang marching bell di bahuku dan mulai latihan sendiri. Kepalaku bergerak melihat sekitar, sepertinya Anin belum datang. Padahal aku mau main bersamanya supaya bisa menyelaraskan ketukan.
“Kak, mau boleh ikutan?” tanya seseorang dari arah belakang. Dia adalah Acha, gadis kelas satu yang biasa bermain symbal.
“Boleh,” ucapku. Acha lalu mengambil marching bell yang biasa dimainkan Anin. Dan di luar dugaanku, dia cukup mahir memainkannya. Power-nya juga cukup stabil.
Matanya tampak fokus di bawah poni yang lucu, tangannya terus memukul bilah-bilah besi. Dengan bantuannya, aku pun jadi lebih mudah berlatih. Sementara yang lain masih bersantai. Bahkan Rai pergi ke kantin untuk beli minuman.
Dasar, pemalas. Sepertinya kambing Rian jauh lebih rajin dari mereka.
“Selamat siang!” Seseorang tiba-tiba membuka pintu. Semuanya terkejut saat tiba-tiba Kak Ara datang dengan langkah kaki yang agak terburu-buru.
Serentak Aurel dan yang lainnya berdiri, kocar-kacir mengambil alat musiknya masing-masing.
“Ada pengumuman, kumpul semua!” kata Kak Ara. "Duduk ya."
"Hah? Apaan nih?"
"Duh, pengumuman apa ya?"
Kami semua lantas bertanya-tanya, membuat mentor kami itu gemas melihatnya.
"Duduk dulu, tolong ya! Bisa, kan duduk?"
"Eh iya, Kak!"
Sontak kami semua duduk berkumpul sesuai arahan Kak Ara. Aku melepas alat musikku dan bergabung dengan yang lainnya menyimak pengumuman yang akan di sampaikan.
Setelah berkumpul, Kak Ara mulai mengabsen kami satu per satu. Terlihat selembar surat di tangannya, sepertinya ada pengumuman penting yang akan ia sampaikan.
“Rai mana?” tanya Kak Ara.
“Anu, Kak.” Aurel bingung dan malah melirik Lingga. Akan tetapi Lingga mengangkat bahu dan mengisyaratkan tak tahu. “Ke kantin.'
“Ke kantin? Ngapain?”
“Beli minuman." Aurel mulai gugup.
“Kok kamu bolehin? Kamu kan penanggung jawabnya, haduh udah deh nanti dulu. Ada yang lebih penting."
“Pasang telinga baik-baik semuanya."
Kami semua pun hening dan menunggu Kak Ara menyampaikan pengumumannya. Dari balik kacamatanya, mentor kami membaca isi surat.
“Intinya. Penampilan kita untuk acara di balai kota yang semula di bulan Desember, dipercepat jadi awal bulan November. Keputusan ini dibuat panitia karena bentrok dengan jadwal lain yang ada di bulan itu,” kata Kak Ara membaca surat.
“Hah? Kok mendadak banget? Kenapa bisa?” tanya Aurel yang agak shock.
“Desember jadwal penuh sama event Natal dan tahun baru. Jadi jadwal kita yang digeser."
“Wah, parah nih,” gumam Lingga yang samar-samar terdengar di telingaku.
“Artinya apa? Kalian punya waktu kurang lebih setengah bulan buat mempersiapkan semuanya. Waktu yang cukup singkat, dan kalau Kakak perhatikan perkembangan latihan kalian juga masih gini-gini aja,” kata Kak Ara.
"Kak, kayanya susah deh kalau dalam waktu sesingkat itu. Apalagi kita baru kedatangan beberapa anak baru."
"Terus mau gimana, Aurel? Mau mundur? Ini tantangan buat kalian, pokoknya harus bisa! Siap gak siap harus siap, Kakak gak terima alasan!"
“Jadi gimana dong solusinya?”
“Jadi, Kakak mau menambah porsi latihan yang semula sekali seminggu jadi dua kali. Di hari sabtu dan selasa."
“Untung bukan minggu,” kata Acha yang duduk di sampingku.
Terlihat Aurel yang tampak gelisah. "Yakin, bisa, Kak?"
"Lho, kamu yakin gak? Kalo Kakak sih yakin selama kalian bersungguh-sungguh. Tinggal kalian jalaninnya gimana."
"Aurel, udahlah. Kita coba dulu, jangan banyak tanya," ucap Lingga yang tampaknya sudah agak sebal melihat Aurel terus mengeluh.
“Ada yang keberatan? Kalau ada halangan atau apa, kasih tau aja ya,” ujar Kak Ara.
Kami semua mengangguk dan mengiyakan apa yang dikatakan Kak Ara. Mau bagaimana lagi? Kalau sudah keputusan panitia, kita tak bisa banyak protes. Walau rasanya agak sulit dalam waktu secepat itu.
Terdengar suara langkah kaki dari luar aula.Dan tak lama, Rai masuk ke aula sambil membawa dua gelas plastik berisi minuman dingin dengan es batu yang mengambang di dalamnya. Ia shock saat melihat Kak Ara ada di aula, tangannya gemetar sambil memegang gelas. Tak hanya Rai, Anin yang terlambat pun datang.
“Ada apa ini dua orang baru dateng?” tanya Kak Ara dengan wajah datar.
“Maaf, Kak. Aku tadi ada tugas tambahan."
“Rai? Ah sudahlah, gak usah ditanya pun semua udah tau."
“Semuanya mulai latihan, waktu kita gak banyak! Buat Rai dan Anin, nanti tanya temen yang lain aja soal pengumuman barusan,” tegas Kak Ara.
"Iya, Kak."
Entah mengapa setelah pengumuman tadi, rekan setim ku jadi terlihat lesu dan kurang bersemangat.
"Jadwal perform dikit lagi, kalian mau lesu kaya gitu? Semangat dong! Mau tampil gak sih?" Kak Ara menegur kami sedikit keras.
"Siap, Kak!" Semuanya langsung bergerak cepat.
Kupasang marching bell di bahuku, kami semua lanjut latihan seperti biasa. Berbagai bunyi instrumen mulai terdengar menggema di aula yang luas ini. Dan di posisi terdepan, Aurel bergerak menari dengan indah dengan tongkatnya mengikuti alunan musik.
Kali ini aku terus menyesuaikan semua ketukan dengan Anin. Tapi lagi-lagi, permainanku tidak bagus. Aku sudah cemas dan sesekali melirik ke arahnya. Akan tetapi, hari ini Anin tidak sejutek hari kemarin. Syukurlah kalau pelan-pelan gadis dingin ini bisa mencair denganku.
***
Aku pulang saat langit hampir gelap. Latihan hari ini benar-benar intens. Setelah mendengar pengumuman mendadak itu, tak ada lagi sesi ngobrol dan bercanda. Kami semua fokus berlatih.
Sumpah ya, bahuku rasanya mau patah. Hampir dua jam aku memakai alat musik itu.
Sambil berjalan pulang bersama Lingga, aku sesekali mengeluh lelah sambil meminum minuman kalengku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Wajahnya biasa saja, tak ada tanda-tanda lelah.
“Kenapa sih liat-liat?” tanya Lingga.
“Apa sih? Enggak kok, aku liat gunung kok."
“Bohong, gunungnya ketutup awan. Gak apa-apa kok. Liatin aja sampe puas,” kata Lingga.
“Capek ya?” tanyanya padaku. Aku pun mengangguk.
“Tenang, besok libur. Istirahat aja."
“Gak mau."
“Nanti sakti lho."
“Sakit!” ujarku membenarkan perkataannya.
Lingga pun tertawa. Sementara aku masih tetap melihatnya, memandangi tawa dan senyum lebarnya yang memikat. Rasanya senang melihat dia senang, wajahnya yang tertawa membuatku tenang.
“Besok olahraga yuk, temenin aku lari santai aja,” ajakku iseng.
“Ayo."
Awalnya aku hanya iseng-iseng ajak dia, dan ternyata dia mau. Astaga, keberuntungan macam apa ini? Tidak. Nawang, kenapa kamu asal ngomong? Bodoh, bahkan kambing dan bebek pun tak akan melakukan hal sebodoh itu, Nawang!
Ini bukan keberuntungan, tapi semua ini wajar karena hubungan aku dengannya memang sudah sedemikian dekat. Mendadak aku semangat kembali, diriku yang semula lesu seakan mendapat tenaga baru.
“Bener ya?”
“Iya bener!”
“Janji?”
“Janji!” tegas Lingga.
Aku lalu menyodorkan jari kelingkingku.
“Ya ampun, kaya anak kecil,” kata Lingga. “Yaudah deh.” Ia langsung mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku. Kemudian aku tersenyum kepadanya.
“Jangan manis-manis senyumnya, aku salting,” ucap Lingga.
Hah salting? Baru kali ini aku dengar Lingga bercanda seperti itu. Lucu juga. Tapi tunggu, apa benar dia sedang bercanda? Jangan-jangan dia beneran salting sama senyumanku! Ah, laki-laki agak sulit ditebak ya!
“Serius?”
“Apanya?”
“Kamu salting?” Aku kembali bertanya.
“Enggak deh, bohong! Hahaha!” Ia melepas jari kelingkingnya kemudian berjalan mendahuluiku sambil tertawa.
Aku jadi malu sendiri, apa aku yang terlalu pede ya? Aku mulai gugup. Apalagi cara bicaranya itu menyebalkan sekali, seakan mengejekku yang terlalu berharap ini.
Tapi tak apa, setidaknya aku berharap pada orang yang benar. Tak ada salahnya kalau aku berharap, kan? Siapa tahu suatu saat harapan itu bisa jadi kenyataan.
Ya, kadang perasaan laki-laki sulit ditebak. Entah memang sulit atau aku yang kurang peka. Bagaimana menurut kalian? Apa aku perlu belajar sihir untuk membaca pikiran Lingga?
Hmmm.
🍃🍃🍃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro