14 - Bersama Kembali
Sore itu, aku menangis di tengah langit yang menyala jingga. Dan di sampingku, Lingga dengan yang sabar menemani, menungguku sampai berhenti menangis. Lalu ketika aku berhenti menangis, dia juga yang memberiku selembar tisu. Juga dengan senyumannya yang sangat menenangkan.
Tanpa sadar, seiring berjalannya waktu kami semakin dekat. Hingga sedekat ini. Aku semakin yakin kalau aku menyukai orang yang tepat. Begitu nyaman berada di dekatnya. Dan kini, aku sangat menikmati waktu di mana aku berjalan pulang bersamanya. Sesekali bercerita tentang hari ini.
Sampai akhirnya kami berpisah saat aku sudah sampai di rumah. Dia bahkan berhenti saat aku sedang membuka pagar dan menungguku masuk ke dalam. Ku balikkan badan, menatapnya yang masih berdiri di sana.
“Makasih ya,” ucapku padanya.
“Untuk?”
“Untuk semuanya, dukunganmu, kepercayaanmu dan juga tisumu,” jawabku sambil tertawa kecil.
Lingga pun ikut tertawa. “Iya, iya. Tapi janji ya!”
“Janji apa?”
“Jangan sedih-sedih terus, kalau butuh temen cerita. Hubungi aku aja, nomorku ada di grup chat marching band,” ucapnya sambil tersenyum.
Aku pun ikut tersenyum. “Iya."
“Bagus! Semangat ya!” Lingga kemudian mulai berjalan pergi untuk melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Aku terdiam sambil memandanginya yang semakin menjauh. Pelan-pelan, suara langkahnya menjauh lalu menghilang. Berganti dengan suara ranting yang saling bergesekkan tertiup angin.
Dengan hari ini, aku merasa bahwa usahaku sudah berhasil. Hubunganku dengan Lingga kini terasa spesial. Kami sudah sedekat ini dan perasaanku padanya masih tetap sama. Aku masih menyukainya. Tak bisa kugambarkan lagi saking indahnya. Akan tetapi, apakah kamu merasakan perasaan yang sama sepertiku, Lingga? Apa perasaanku ini tersampaikan padamu?
***
Keesokan harinya, Saras dan Nindy masih menjauhiku. Aku kembali beristirahat bersama Lingga. Kami seperti biasa menghabiskan waktu di kantin sekolah untuk makan siang bersama anak-anak marching band. Sesekali aku melirik dan memperhatikan kedua sahabatku dari kejauhan. Aku rindu berada di dekat mereka. Harusnya ada aku di meja itu.
"Heh, melamun!" tegur Aurel yang duduk dihadapanku. Seketika aku pun tersadar. "Makanannya habisin dulu!"
"I-iya." Aku kembali memalingkan fokusku sejenak ke sepiring mi goreng yang sudah dingin dan tersisa setengah.
Setelah selesai makan, aku dan Lingga kembali ke kelas lebih dulu meski waktu istirahat masih ada setengah jam lagi. Karena aku janji padanya untuk membantu mengisi soal yang tidak dimengerti. Saat melewati salah satu kelas, aku samar-samar mendengar perbincangan seseorang.
“Jahat banget kamu Sinta, kamu udah fitnah orang lho,” kata seseorang dari dalam kelas itu.
Aku mendengar suara itu, suara yang kukenal. “Biarin aja! Biar dia tau rasa, ini akibatnya kalau berani sama aku. Lagi juga, hasil dari video itu lumayan menguntungkan. Banyak orang yang penasaran dan video kita banyak yang nonton!"
Sinta! Ya, tak salah lagi. Itu dia. Dalang dari semua masalah ini. Aku pun berhenti berjalan saat mendengar suaranya. Ku dekatkan telinga ke dinding kelas untuk meyakinkan diri, tak cukup menguping aku pun berjinjit dan mengintip melalui jendela. Sontak emosiku mulai naik saat melihat Sinta. Lingga pun ikut berhenti.
“Biarin aja, ini bukti kalau aku gak pernah main-main! Sekarang dia dijauhin sama Saras dan Nindy. Haha, puas aku liatnya!” kata Sinta sambil tertawa.
Suara tawanya itu, suara yang menertawakan penderitaanku. Aku di sini merasa kehilangan dua sahabat dan psikopat itu puas tertawa. Aku tak bisa diam! Sudah habis kesabaranku.
Ku tatap Lingga sejenak. Tampaknya dia pun mendengar apa yang ku dengar.
"Jangan!" Lingga mengisyaratkan ku untuk tidak meladeninya. "Sabar dulu, Nawang."
Tapi aku tak peduli lagi, kurasa momennya pas karena Sinta mengakuinya sendiri. Aku berjalan cepat dan langsung masuk ke kelasnya. Pandangan semua siswa berpusat kepadaku saat aku masuk, termasuk Sinta.
“Nawang!” panggil Lingga yang agak panik.
Aku mendekat ke Sinta dengan wajah marah. Melihat kedatanganku, Sinta sedikit kaget. Tapi wajahnya kemudian berubah menjadi menyeramkan. Aku tidak takut sama sekali, yang ada aku sudah muak dengannya. Dan kini saatnya aku membela diri.
“Kamu pikir, yang kamu buat itu bagus? Hah?!” kataku membentaknya.
Sinta lalu berdiri dan menatap tajam ke arahku. “Iya! Emang bagus, channel kita dapet banyak penonton!” jawabnya. “Dan yang lebih penting, aku bisa liat kamu menderita!”
“Tega kamu ya!”
“Iya! Aku emang tega, suruh siapa kamu deketin Lingga! Padahal udah aku kasih peringatan!”
Di sini, entah mengapa aku terdiam dan tak bisa bicara lagi. Aku melihat sekitar, anak-anak sudah berkerumun menonton pertengkaran ku dengan Sinta. Bahkan dari kelas lain pun sampai datang hanya untuk melihat kami. Sebagian dari mereka menonton lewat jendela kelas. Tapi kemana Lingga? Kenapa dia tak ada?
“Kenapa? Sedih dicuekin sama Saras dan Nindy? Udahlah, lagi juga ngapain berteman sama mereka? Gak ada gunanya, Saras si cewek caper dan Nindy si orang kaya munafik! Tukang pamer!” ucap Sinta dengan mulut pedasnya itu.
Mendengarnya membuat telingaku panas, bisa-bisanya dia menghina kedua temanku begitu. Aku semakin tak bisa menahan emosiku, aku marah kalau sampai ia menghina sahabat-sahabatku.
“Heh! Jangan sembarangan! Emangnya kamu tau apa tentang mereka? Kamu cuma nilai dari yang kamu liat! Selama ini, mereka selalu temenin aku ke mana pun dan kapan pun. Mereka selalu ada saat aku susah dan senang. Hanya karena kamu gak pernah liat kebaikan mereka, bukan berarti mereka gak baik!” kataku dengan nada lantang.
“Ya! Aku gak pernah liat mereka berbuat baik! Semua orang juga tau, Saras itu cewek caper! Kamu itu temen deketnya, udah pasti kamu bela dia. Lagi juga, kamu udah ketularan caper tuh sama Saras. Keliatan dari sikapmu ke Lingga!"
“Enggak! Aku bela dia karena aku paham dan kenal dekat sama dia! Saras dan Nindy itu orang baik dan tulus. Gak peduli gimana tanggapan orang tentangnya, aku tetap sayang sama mereka! Mereka berhak jadi diri mereka sendiri. Dan kamu, tukang fitnah cuma bisa rusak pertemanan orang!” Aku kembali membalas dengan suara yang tinggi.
“Iya emang aku yang fitnah kamu, aku yang edit video itu, supaya kamu tau rasa!”
“Dasar gak punya hati! Hatimu pasti gak ada karena udah dimasak jadi gulai, kan? Waktu lahir otakmu itu ketukar sama bakso kali ya?!” bentakku.
“Apa kamu bilang?! Berani-beraninya!” Sinta murka setelah aku mengatainya. Ia mengepalkan tangan dan bersiap memukulku dengan tatapan psycho-nya.
Tak apa-apa, pukul saja aku! Aku rela wajahku luka-luka demi nama baik sahabat dan diriku sendiri. Dan ini juga akan menjadi bukti betapa aku menyayangi mereka.
Sinta mengangkat tangannya dan melesat menuju ke wajahku. Anak-anak lain mulai berteriak panik, beberapa berusaha menenangkan Sinta tapi tetap tak berhasil. Tinjunya mulai mengayun ke arahku. Ah, Lingga ke mana ya?
Tack!
Tiba-tiba saat tangan Sinta hampir menghantam wajahku, seseorang langsung menahan tangannya. Sehingga wajahku pun selamat dari pukulan Sinta. Hampir saja, sedetik saja apabila tak ada yang menghentikan maka wajahku bisa babak belur.
“Berani kamu pukul dia?!” kata Saras datang menyelamatkanku. Ia memegang tangan Sinta dan menatapnya dengan tatapan tajam.
“Saras,” panggilku dengan nada pelan.
Dari sebelah kanan, Nindy datang dan berdiri di sampingku. “Jangan coba-coba sentuh, Nawang!”
“Nindy,” gumamku.
“Apa? Kalian berani sama aku!” Sinta melepaskan tangannya dari pegangan Saras. “Kalian bertiga pun aku gak takut!” ucap gadis psikopat itu.
“Sinta!” Tiba-tiba, Anin tampak berdiri di tengah kerumunan murid yang menonton. Seketika, nyali Sinta ciut setelah melihat Anin. Ia jadi gugup dan kebingungan. Padahal Anin hanya berdiri di sana dan memasang wajah tanpa ekspresi. Mungkin aura suram Anin mengalahkan aura sadis Sinta.
“Ah udahlah!” Sinta pun berjalan pergi dengan sendirinya meninggalkan kami.
Anak-anak murid lainnya mulai menyoraki Sinta. Ya, dia adalah gadis bodoh yang hanya mengandalkan otot. Dengan sendirinya dia mengaku di depan umum kalau memang dia yang sengaja meng-edit videoku. Aku pun tak perlu repot-repot membersihkan namaku karena pelakunya sudah mengaku dengan sendirinya.
“Nawang,” panggil Saras. “Kita udah denger semuanya."
“Maafin kita ya,” ucap Nindy dengan mata berkaca-kaca.
Aku pun jadi turut terharu dan ingin menangis. Dengan berlinang air mata, aku mengangguk.
“Aku gak pernah benci sama kalian. Kalian gak pernah kasih dampak negatif, justru dengan adanya kalian, rasanya hidup ku jadi jauh lebih menyenangkan. Aku sayang sama kalian berdua,” ucapku sambil meneteskan air mata.
“Jangan nangis dong,” kata Saras yang ikut menangis.
"Aku gak nangis," Aku mengelap air mata yang mengalir di pipiku. "Emangnya nangis gak boleh?"
"Nanti aku nangis juga."
Kemudian kami bertiga saling berpelukan. Aku menempelkan wajahku ke bahu Saras dan terus menangis hingga membasahi seragamnya dengan air mata. Tangan halus Nindy memegang telapak tanganku. Aku bisa merasakan kehangatan mereka, rasa sayang mereka padaku.
Aku bersyukur memiliki mereka dan sampai kapan pun kuharap kami bertiga bisa selalu bersama. Entah sudah berapa banyak hal yang kita lewati bersama.
Biarlah tangisan dan air mata menjadi bukti dari kuatnya persahabatan kita.
🍃🍃🍃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro