11 - Si Konten Kreator
Di tengah hari yang terik ini, aku dan semua teman sekelasku malah keluar dan turun ke lantai satu. Berkumpul di tengah lapangan untuk olahraga. Hanya sedikit awan yang ada di langit sana, matahari berada persis di atas kepala. Bisa dibayangkan bagaimana panasnya. Bahkan pandangan pun terasa silau.
Aku berjalan ke lapangan dengan memakai kaos olahraga berbahan katun lembut yang menyerap keringat. Tak lupa ku ikat rambutku ini. Kutatap wajah malas teman-teman di sampingku, wajah-wajah tanpa gairah hidup.
Jujur, memang panas sekali hari ini! Kami seperti masuk ke dalam oven. Tinggal tunggu matang saja.
Seluruh kelas pun sampai di pinggir lapangan yang penuh debu dan kerikil ini. Guru olahraga memerintahkan kami untuk berbaris dan mulai pemanasan. Suara peluitnya terdengar beberapa kali. Kami dengan rasa malas mulai meregangkan badan sambil berhitung.
"1."
"2."
"3."
Teman-temanku terus berhitung secara bergantian, aku, Saras dan Nindy ada di bagian paling belakang. Ku gerakkan tangan ku ke kiri lalu ke kanan sambil melebarkan kedua kaki. Tenang saja, Nawang. Olahraga ini pasti cuma formalitas, lihat saja nanti.
"Bete banget sih," kata Saras sambil mengikuti gerakan pemanasan.
"Iya, aku udah cantik gini. Malah disuruh panas-panasan, keringetan. Ya ampun, capek deh," keluh Nindy.
Aku meregangkan kedua tanganku ke atas sesuai dengan intruksi. "Tenang aja, paling habis pemanasan kita bebas mau ngapain aja."
"Iya sih, habis gak jelas. Kenapa pelajaran olahraga harus siang-siang gini coba? Kan bisa pagi atau sore pelajaran terakhir."
"Ssst! Nindy!" Beberapa anak di depan menoleh ke belakang dan menatap Nindy. Membuat anak itu kebingungan.
"Hah? Kenapa?" tanya Nindy.
Aku segera mengingatkannya untuk melanjukan hitungan yang berhenti di dirinya. "Hitung!"
"Oh iya! Enam!" teriak Nindy melanjutkan hitungan.
Anak-anak lain lalu tertawa mendengar hitungan itu. Guru olahraga lalu menghentikan pemanasan dan melihat Nindy dengan wajah jengkel. "Mana ada dari tiga terus enam, empat sama limanya ke mana?" tanya sang guru mendengar Nindy salah menghitung.
"Empat," bisikku sambil menyenggol lengannya.
"Empat!"
Guru olahraga kami menghela nafas. "Pasti gak nyimak nih, lanjut!"
"Lima!" Aku melanjutkan hitungan Nindy sambil menahan tawa.
"Enam!" lanjut Saras dan seterusnya.
Nindy melirik aku dan Saras yang diam-diam menertawakannya. "Iya, iya. Lucu ya, ketawa aja gak apa-apa."
Setelah pemanasan, guru olahraga membebaskan kami. Anak laki-laki paling semangat bermain bola di lapangan. Suara sepatu mereka terdengar berdecit dengan lapangan semen yang dicat hijau.
Sementara anak perempuan bermain basket walau hanya asal melempar tanpa tahu tekniknya. Ketika satu orang berhasil memasukkan bola ke dalam ring, maka semua anak perempuan akan heboh berteriak.
Aku, Saras dan Nindy memilih kegiatan lain. Kami bertiga bermain bola sejak tadi, ya walau cuma asal menendang saja sih. Nindy menendang ke arahku, aku menendang ke Saras, begitu saja terus sambil mengobrol.
"Coba aku jadi kiper!" kata Saras yang segera mengambil posisi. Ia menaruh batu di sisi kiri dan kanannya. "Anggap aja ini gawangnya."
"Aku nendang dong, sini!" Nindy segera merebut bolanya dariku. Ia pun bersiap menendang ke arah Saras sambil merapikan rambutnya.
"Ya ampun, mau nendang bola harus dandan dulu ya?" Sang kiper menghela napas.
"Cantik kok, Nin. Udah cantik," kataku sambil tertawa kecil.
"Tendangan orang cantik!" Nindy langsung menendang bola. Ia menggunakan kaki bagian depan sehingga tendangannya terlalu lemah dan mendatar sehingga bolanya tak sampai ke Saras. Bahkan debu pun enggan terbang.
"Udahlah, gak bisa main," ejek Saras. "Dandan aja sana, Nin!"
Aku hanya berdiri dan menertawakan kelakuan mereka.
"Nawang!" Tiba-tiba Lingga datang dan mendekat ke arahku.
"Kenapa Lingga? Kangen Nawang ya? Ya ampun, baru aja Nawang main sama kita," kata Saras menggodanya sambil cekikikan bersama Nindy.
"Apa sih, Saras?"
Lingga berdiri di depanku dan bersiap bicara. "Kamu ada waktu gak nanti sepulang sekolah?"
"Ciee, mantap nih. Mau ngajak ke mana, Lingga?" tanya Nindy mendahuluiku.
Lingga menggelengkan kepala. "Enggak kok, aku mau kasih tau ke Nawang kalau sepulang sekolah Kak Ara mau ketemu sama kamu. Katanya ada perlu sama anak konten."
"Oh gitu, yaudah deh. Kak Ara di aula ya?"
"Iya, temui dia di ruang marching band ya."
"Oke, makasih infonya ya," ucapku.
Dia hanya mengangguk kemudian berjalan pergi.
***
Sepulang sekolah, aku berjalan ke ruang marching band di saat anak-anak lainnya berjalan keluar sekolah dan pulang ke rumah.
Suasana sudah sepi, tapi samar-samar terdengar suara orang bercakap-cakap di dalam. Aku pun membuka pintu, tampak ada Kak Ara bersama salah satu anak dari kelas lain. Yang jelas, dia bukan anak marching band. Suara gagang pintu aku buka membuat mereka terdiam dan melihatku.
"Nah, Nawang akhirnya dateng juga," kata Kak Ara. "Ini namanya Aldo, dia pembuat konten video untuk channel sekolah kita," tambahnya sambil menunjuk anak laki-laki berkacamata itu.
"Halo, aku Aldo! Salam kenal!"
"Nawang," balasku.
"Jadi, Aldo akan mewawancarai kamu sebagai member baru marching band. Dan akan direkam, terus masuk ke channel sekolah," kata Kak Ara menjelaskan.
"Iya betul, gak lama kok."
"Oke, aku bisa."
"Kalau begitu aku siap-siap ya, kita akan record di sini," kata Aldo yang mengeluarkan peralatannya dari dalam tas besar.
Cowok berkacamata mulai merogoh isi tas dan mengeluarkan kemera, sebelum itu ia mendirikan kamera tripod. Aku diminta duduk di tengah meja. Dia semangat sekali!
Kemudian arah kamera menyorot ke arahku. Aldo mulai menyalakan kamera dan mulai memasang mikrofon untuk menangkap suara. Sementara, Kak Ara berjalan ke luar meninggalkan kami berdua.
"Siap ya?" tanya Aldo.
"Siap!"
Jadi, dalam wawancara ini yang ada dalam frame video hanya aku seorang. Sedangkan Aldo sebagai penanya hanya akan bicara dari belakang kamera sehingga hanya terdengar suaranya saja. Awalnya aku memperkenalkan diri, kemudian Aldo mulai bertanya.
"Jadi gimana tanggapan kamu mengenai koruptor?"
"Hah? Koruptor?" tanyaku. Gak salah? Kukira bakal nanya soal marching band, kenapa jadi koruptor? Masalah kaya gini harusnya tanya ke mahasiswa! Aku harus jawab apa coba? Haruskah aku asal jawab seperti soal PKN?
Ah sudahlah! Karena sudah ditanya dan video terus berjalan, aku pun menjawab sebisaku.
"Menurutku mereka itu jahat, gak punya hati. Awalnya aja baik dan manis, padahal sebenernya mereka itu munafik."
"Gimana kalo kamu berteman sama koruptor?"
"Ya jelas aku gak akan mau berteman sama mereka ya, karena kalau berteman sama mereka yang ada namaku bisa ikut jelek. Mereka itu bawa dampak negatif pastinya, mending berteman sama anak-anak marching band. Ramah dan baik hati," kataku menjelaskan sambil sedikit-sedikit memasukkan unsur marching band.
Setelah itu, Aldo terus bertanya beberapa pertanyaan. Hingga akhirnya sesi wawancara yang aneh ini pun selesai. Aldo pergi dan membawa semua peralatan beserta hasil rekamannya. "Besok aku upload di channel sekolah ya! Jangan lupa nonton!" katanya yang bergegas pergi.
Setelah Aldo keluar, Kak Ara dan Lingga masuk ke dalam ruangan untuk menemuiku.
"Udah selesai, Nawang?" tanya Kak Ara.
Aku mengangguk. "Udah, Kak."
"Yaudah, udah mau malem nih. Buru-buru pulang yuk, gak ada orang lain lagi. Gerbangnya mau ditutup," ujar Kak Ara yang buru-buru mengambil tas dan barang-barangnya.
Aku memakai tas dan berjalan keluar mendekati Lingga yang berdiri di ambang pintu.
"Lho? Kamu kok belum pulang?" tanyaku pada Lingga.
"Aku nungguin kamu, kita pulang bareng."
Lingga rela pulang sesore ini demi tunggu aku dan pulang bareng? So sweet banget sih, apa dia mulai nyaman sama aku ya? Duh, aku jadi kepedean gini. Pikiranku jadi ke mana-mana.
"O-oh gitu, yaudah," ucapku sambil memalingkan wajah. Menyembunyikan pipiku yang memerah tersipu malu.
"Yuk! Cepet yuk!" Kak Ara buru-buru keluar dari ruangan. Aku dan Lingga pun ikut keluar, pintu ruang marching band pun tak lupa dikunci rapat. Setelah itu kami pun berjalan pulang.
Setelah keluar gerbang, tersisa aku dan Lingga berdua. Berjalan di bawah langit yang mulai menggelap ditambah sepoi-sepoi angin yang sejuk.
Aku berjalan sambil sesekali memandang wajah samping Lingga, dengan rambut ikal yang sedikit menutupi telinganya.
Tak ada momen yang lebih indah selain berjalan pulang bersama orang yang kita sukai, bukan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro