Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- Stupidity things

KEBODOHAN
25 Mei 2018
s a r i n a a v a

📎📎📎

Sebilah pisau ditusukkan ke dadaku, dan mereka bahagia tanpa menyadarinya

~k

📎📎📎

Aku baru saja sampai didepan pintu ketika mama membuka pintu dengan raut wajah kesal, sebelum aku mengucapkan salam suara mama lebih dulu menginterupsi.

"Jam berapa ini?"

Aku tidak langsung menjawab melainkan langsung masuk, dan bisa kutebak mama membuntutiku sampai ke dapur. Aku mengambil gelas dan menuang air kedalamnya, setelah itu meminumnya sampai habis.

"Ma, Nia tadi ada tugas kelompok. Kan, tadi Nia udah SMS mama," jelasku.

"Setiap hari alasannya kerja kelompoklah, tugas lah, apalah. Mama sampai bosan dengarnya, anak gadis kerjaan pulang sore tiap hari, Bapakmu aja nggak segitunya," omel Mama membuatku hanya dapat mengembuskan napas berat.

Selalu begini, Mama nggak pernah percaya bahwa aku disekolah mengerjakan tugas. Emang dikira aku mau terus-terusan pulang sore, aku juga capek sebenarnya, tapi apa boleh buat demi coretan tinta indah bernilai di buku laporan belajarku semester ini.

Tubuhku lelah, ditambah lagi tas ku yang berat, yang membuat punggungku pegal-pegal. Ah, rasanya aku segera membaringkan tubuh di tempat tidur.

"Kalau orang tua ngomong didengarkan!" Suara Mama meninggi.

Oh, tolong. Aku sangat lelah untuk berdebat dengan Mama saat ini, dan aku juga tidak punya keahlian untuk dapat menang adu mulut, terutama dengan Mama.

Tanpa memedulikan Mama yang masih mengomel ria, aku masuk kamar menghempaskan tubuh pada empuknya kasurku. Padahal biasanya tidak seempuk itu.

"Kania! Bisa nggak dengar Mama sekali saja?!"

Nggak tau apa badanku capek! Dasar Mama memang nggak pengertian.

Aku langsung terduduk, kulihat wajah Mama yang menahan amarah. Terkutuklah hari ini, mengapa alam seolah tak memberikanku kesempatan untuk beristirahat, dan itu sungguh menyebalkan.

"Kamu sudah besar Kania! Anak gadis pula, bukannya mandi malah tidur," kata Mama tidak luput dengan nada tingginya yang memekakkan telinga.

"Mama bisa nggak ngomong nggak usah pake toa? Bising, Nia capek Ma. Seharusnya Mama pengertian dikit kek," geramku.

Mama sudah bersiap dengan khotbah panjang lebar, tapi sebelum itu aku sudah lebih dulu melenggang pergi untuk mandi.

Lima belas menit kuhabiskan untuk membersihkan diri, mandi membuatku menjadi lebih segar. Lelahku sedikit meluruh.

Sesaat indera penciumanku mencium sesuatu yang enak, perutku seketika berbunyi. Aku sangat lapar, dengan semangat makan aku menuju dapur mataku berseri tak kala melihat gulai ayam —makanan kesukaan ku— diatas meja makan.

Cepat kuhampiri sigulai ayam yang sangat menggoda iman itu. Baunya saja senikmat ini, apalagi rasanya.

"Mau ngapain kamu?!"

Oh, oke. Aku lupa satu hal.

Aku berbalik menemukan Mama yang berkacak pinggang berjalan menghampiriku, Mama langsung menutup gulai ayam beserta teman-temannya dengan tudung saji.

"Ihh Mama, Nia kan mau makan," sungutku tidak terima.

"Bapak sama Kakakmu belum datang, nanti aja biar makan bersama."

Walaupun tidak terima aku tetap tidak bisa makan, karena keputusan Mama sudah tidak bisa diganggu gugat. Hakim emang.

Sambil menunggu Bapak dan Kakakku datang kualihkan perhatian pada ponsel pintar yang memunculkan beberapa notifikasi dari aplikasi WhatsApp. Sebagian besar berasal dari grup kelas, sebagian lagi dari teman yang iseng nge-P.

"Selalu main hape, anak jaman sekarang emang mainannya hape mulu. Belajar kamu Nia...," kata ibu yang kapan datang aku tidak tahu.

"Mama ngomel mulu dari tadi, nggak capek apa?"

"Melawan saja kamu."

"Lagi pula Nina kan baru pegang hape," kataku setengah mendengus.

Suara pintu menderit serta ucapan salam dengan suara bass dan suara lembut terdengar, Mama langsung beranjak meninggalkanku. Aku segera mengikuti dari belakang, Bapak dan Kakakku telah pulang. Dapat kulihat wajah berseri-seri Mama menyambut keduanya, aku berdecih sambil melenggang ke dapur.

Dengan sedikit kesal aku langsung membuka tudung saji, tidak ingin menunggu yang lain aku langsung makan. Bukankah Mama bilang kalau aku boleh makan kalau mereka sudah pulang? Jadi aku tidak salah, kan?

"Nia!" Mama menyentak tanganku yang menyendokkan nasi ke piring.

"Aww, sakit Ma," lirihku menatap punggung tanganku yang sedikit memerah.

"Tunggu yang lain Nia!"

Aku kembali hanya bisa mencebik kesal, kugigit bagian dalam bibirku geram. Perutku sudah keroncongan, tadi siang aku belum sempat makan.

Dan detik selanjutnya rasanya kepalaku mengeluarkan asap yang mengepul melihat pemandangan didepanku kini.

"Kamu capek, Gia? Makan dulu yuk, baru mandi," Mama mengatakan dengan lembut.

Kak Gia patuh, tanpa melepaskan setelan baju dinas yang sangat mempesona di mama perempuan berumur dua puluh tiga itu mengambil tempat disampingku.

Anggia Putri Natasya, anak yang selalu Mama banggakan. Kak Gia selalu jadi patokan kesuksesan bagiku, selalu jadi alat pembanding bagiku.

Huh?! Menyebalkan sekali. Aku mengeram kuat dalam hati, dan berbisik pelan pada diriku bahwa harus kebal akan pemandangan ini.

Kak Gia selalu sempurna bagi orang tuaku, sedangkan aku selalu salah dimata mereka. Hanya karena Kak Gia berhasil sekolah perguruan tinggi kedinasan dan setelah lulus langsung jadi PNS, mereka langsung menyuruhku mengikuti jejaknya. Hanya karena Kak Gia semasa SD sampai SMA selalu dapat juara umum disekolah lantas mereka langsung membandingkan diriku yang hanya mentok mendapat sepuluh besar di kelas. Karena aku tidak pernah mendapat nilai sembilan puluh di pelajaran matematika, lantas mereka bilang aku bodoh.

Huh?! Mengingatnya membuat dadaku sesak, melihat mama menyendokkan gulai ke piring Kak Gia membuat air mata memenuhi pelupuk mataku dan siap tumpah saat aku berkedip sekali saja.

"Gia tadi di kantor gimana? Kerjaannya capek?" Tanya mama riang.

"Semua beres ditangan Gia, Ma. Nggak ada kesulitan kalau udah Gia yang tangani," Bapak yang menjawab, mendatangi kami lalu mengambil tempat disamping Mama.

"Wah, bagus deh, sekarang kamu makan yang banyak."

Kak Gia yang tersenyum, baiklah anggap saja aku tidak ada. Nafsu makanku mendadak menghilang. Aku tahu peristiwa kayak gini itu sudah terjadi semenjak dulu. Seharusnya aku sudah terbiasa, kan? Seharusnya hatiku sudah kebalkan dianggap anak tiri? Seharusnya aku tidak perlu iri dengan semua kasih sayang yang diberikan Mama Bapak pada Kak Gia, kan?

Tapi seberapa seringnya aku merasakan rasa ini, Seberapa lamanya aku mengalaminya tidak membuat rasa sakitnya berkurang. Sebilah pisau ditusukkan didadaku, dan mereka bahagia tanpa menyadarinya.

"Nggak makan Nia?" Itu suara lembut Kak Gia.

Aku benci mendengarnya meskipun semua orang menyukai suara lembut nan anggun itu.

"Tadi kayak nggak tahan, sekarang nggak makan. Maunya apa sih nih anak!" Sungut Mama sambil menyendokkan nasi pada Bapak.

Hu, lalala. Berubah dengan cepat, ya intonasi suara Mama ketika bicara denganku. Tenang, Nia. Jangan nangis di depan mereka!

"Nia nggak lapar," kataku lalu berdiri beranjak dari tempat.

Ku abaikan suara bapak yang bertanya kenapa dengan diriku. Bahkan ketika menutup pintu, aku melakukannya dengan keras hingga terdengar bunyi bedebum yang kuat.

Kukunci dari dalam mencegah siapapun masuk, karena aku tahu setelah ini baik Mama ataupun kak Gia pasti akan menyusulku.

Cih! Kalau Mama datang pasti untuk memarahiku yang tidak sopan.

Rasanya sangat sakit, sepertinya pisau itu telah menusuk jantungku. Sangat sakit hingga membuatku tak bisa lagi menahan air mataku lebih lama. Perlahan alirannya semakin deras. Kututup mulutku mencegah suara tangisku.

Aku beranjak ke meja belajarku, kuambil sebuah map plastik dari lagi. Disana ada print out e-sertifikat yang kudapatkan dari menang menulis karya ilmiah dari beberapa perlombaan online.

Juara satu terpampang jelas di kertas itu, dan membuat aku semakin sakit. Nyatanya benda itu tidak akan pernah membuat orang tuaku bangga, mereka hanya menganggap apa yang selama ini kulakukan ada membuang waktu saja.

Aku memang tidak bisa seperti Kak Gia, selamanya tak bisa. Tapi aku bisa membuat cerpen yang memenangkan lomba karya tulis nasional, yang kata Bapak anak kecil pun bisa menulis cerita dongeng seperti itu. Aku memang tidak bisa mendapatkan nilai sembilan puluh di matematika, tapi aku pastikan nilai bahasa Indonesia ku tidak pernah dibawah sembilan lima.

Aku tidak pernah mendapat juara umum ataupun juara kelas. Tapi apakah mereka tidak pernah melihat usahaku agar bisa masuk sepuluh besar? Aku memang tidak bisa membawa pulang piala olimpiade sains, tapi kenapa sertifikasi lomba menulisku diabaikan.

Sumpah! Aku benci itu semua! Berlembar-lembar sertifikat juara ini nyatanya tidak sanggup membuat mereka melepaskan pandangan dari kak Gia yang sangat mempesona.

Capek! Sumpah capek! Tiap hari dibandingkan dengan orang yang jelas-jelas berbeda denganku.

Lelah dengan anggapan bahwa menjadi penulis itu pekerjaan yang jelek sedangkan PNS adalah pekerjaan yang dipuja-puja. Lelah dengan semua penolakan yang mereka berikan.

Capek, capek, capek!

Lelah, aku sangat lelah!

Aku ingin teriak, muak dengan keadaan ini. Semua yang kulakukan nggak ada yang benar di mata mereka. Ini dan itu salah, atau memang kehadiranku yang salah.

Kujambak rambutku berusaha mengalihkan rasa sakit didadaku yang sangat perih. Kutarik lebih kuat lagi tapi tidak bisa menghilangkan rasa itu.

Tanganku beralih mengambil gunting dari tas, lantas langsung memotong satu persatu sertifikat tadi. Membuatnya menjadi benar-benar tidak berarti seperti yang mereka katakan.

"Ini semua nggak berarti!"

Buku-buku catatan yang kusimpan baik di meja kuhamburkan. Rasanya begitu sia-sia mencatat itu semua, toh hasilnya nggak akan sebagus apa yang kak Gia dapatkan dan itu berarti tidak berguna.

Meja beserta segala yang berada disana ku hancurkan.

Percuma!

Percuma!

PERCUMA!!!

Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mendapatkan secuil kasih sayang dari mereka karena orang tuaku telah memberikan seluruhnya pada Kak Gia.

Percuma aku rajin belajar, rajin kerja kelompok sampai sore, yang bahkan tidak diapresiasi sedikit pun oleh Mama dan Bapak.

Belum puas sebilah pisau menusuk jantungku, beribu pisau tertancap menembus seluruh tubuhku. Sakit sekali, perih, rasa-rasanya seluruh tubuhku ngilu.

Aku menghancurkan apa yang kulihat, apapun mencakar tubuhku berusaha mengalihkan rasa sakitnya. Kembali menjambak rambut dan kegiatan lain untuk mengalihkan rasa sakit itu. Tapi dadaku tetap sesak dan sakit.

Kulihat frame foto di dinding, disana tampak fotoku, Mama, bapak yang bahagia. Tapi semua hanya palsu, semua tidak seindah difoto. Aku capek dengan semua tekanan ini, dan satu gerakan aku lempar foto itu ke pintu yang diketuk-ketuk, dan alhasil bendara itu hancur, kaca pelindung nya pecah berkep

Aku tahu mereka mulai khawatir, apalagi dengan suara berisik dari benda yang kuhancurkan dan teriakan menjerit ku.

Tapi aku tidak peduli lagi, aku tidak akan pernah peduli lagi. Bukankah mereka tidak pernah menginginkanku? Baiklah jika itu benar yang mereka inginkan.

Aku lalu mendorong lemariku yang tak jauh dari pintu untuk mengganjal benda itu. Karena aku tahu tak lama lagi mereka akan mendobrak benda itu.

Setelahnya aku berjalan menuju nakas, mengambil pisau cutter dari salah satu lacinya. Dan dengan cepat ku arahkan ke pergelangan tanganku.

Darah keluar dari sana, tapi entah kenapa aku seakan tidak merasakan rasa sakitnya. Apa karena perasaanku yang sudah pias, atau karena hatiku yang lebih sakit dari luka sayatan itu?

Aku memberikan satu goresan lagi, tapi tetap saja tidak ber-efek. Lantas aku menyayat tanganku yang satunya, barulah sedikit membuatku tersenyum. Tidak puas aku memberikan masing-masing beberapa goresan dalam pada setiap pergelanganku.

Barulah pisau itu kujatuhkan, perlahan tapi pasti luka-luka di tanganku mengambil alih tubuhku, mengambil alih semua rasa sakit yang kurasakan.

Darah segar keluar dengan derasnya dari sana, mengotori lantai. Perlahan tapi pasti, luka itu juga mengambil kesadaranku. Membawaku pergi dari siksaan batin ini, membawa pergi semua rasa sesak itu.

Di detik-detik terakhir kesadaranku habis, kulihat suara bedebum lemari yang jatuh. Serta teriakan histeris mama dan Kak Gia ketika pintu dibuka.

Mereka berhamburan masuk saat semuanya menggelap.

Aku bahagia sekarang, aku tidak akan membuat kesalahan yang bisa membuat Mama stress, juga akan mengurangi biaya tanggungan Bapak. Dan yang terakhir mereka tidak perlu merasa harus membagi rasa sayangnya padaku, semuanya sekarang akan menjadi milik kak Gia.

Yah... aku bahagia di detik terakhir kehidupanku, aku bisa membuat mereka bahagia.

Bukankah mereka akan bahagia?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro