Gosip
Gosip
9 Februari 2023
Sudah menjadi kebiasaan, emak-emak yang tinggal di perumahan itu akan berkumpul pada sore hari di depan salah satu rumah milik salah seorang dari mereka. Berbicara dengan suara yang beragam; tinggi rendah, cepat lambat. Apa yang mereka bicarakan sangat beragam dan random, tetapi satu yang pasti, topik kehidupan keluarga orang lain adalah favorit mereka.
Terutama keburukan, mau sekecil apa pun, akan jadi topik menyenangkan untuk mulut-mulut lemas itu bicarakan. Dan, parahnya cerita akan mereka modifikasi sesukanya, ditambah dan dikurang, seakan fakta tidak terlalu penting dibandingkan pembicaraan seru mereka.
Hal itu juga yang membuat Dean geram dan menaruh rasa benci pada emak-emak penggosip itu. Apalagi dengan kondisinya sekarang; seorang pengangguran berumur tiga puluh tahun yang belum menikah. Tinggal bersama orang tua, adik-adiknya yang sudah punya pekerjaan dan sudah lebih dulu menikah, dan dia yang tetap menjadi beban orang tuanya diumur segitu.
Dean baru saja pulang sehabis bertemu dengan kekasihnya, waktu yang tidak pas, pria itu harus melewati salah satu rumah yang menjadi tempat gosip kali ini. Sialnya lagi, rumah itu bersebelahan dengan rumah Dean.
"Eh! Dean!"
Sekitar beberapa langkah lagi pria itu sampai dan bisa melipir ke dalam rumah, satu panggilan nyaring menghentikan pergerakannya. Karena tidak ingin dikira sombong Dean berbalik dan menengok orang yang barusan memanggilnya.
"Iya, Bu?"
"Dari mana aja? Selalu sore-sore pulang. Sudah dapat kerjaan belum?"
Dengan malu-malu, Dean menggeleng. Lalu ia tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, segera masuk ke rumahnya. Namun demikian, ia masih bisa mendengar mereka membicarakan dirinya dengan nada mencemooh dan menghina.
Sakit hati dia menutup pintu rumah dengan sedikit keras. Kepala berdenyut-denyut, ia pusing. Jika bisa memilih, dia juga tidak ingin jadi pengangguran di umurnya saat ini, dia juga ingin sukses dan sudah memiliki keluarga. Dean tidak mau terus-terusan jadi beban keluarga, apalagi ia tahu, orang tuanya sudah semakin tua.
"Kenapa toh?"
Rena--ibu Dean--muncul dari pintu dapur dengan wajah cemas. Pasalnya ia mendengar pintu ditutup kasar seperti itu pertanda ada sesuatu yang terjadi. Ia menghampiri Dean yang kini matanya penuh dengan amarah.
"Kalau capek, kamu segera mandi sana, terus makan. Biar bisa cepat tidur."
"Dean mau langsung tidur aja," kata pria itu lalu masuk ke kamarnya segera.
Rena mengelus dada, pria itu memang sangat tempramen. Namun, begitu Rena tetap harus bersabar, sebab Dean merupakan anak tertuanya, anak kesayangannya.
***
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, bila mereka berbicara besar-besar tanpa segan dan tidak peduli pada orang lain. Kini, mereka hanya berbicara dengan nada lirih, berbisik, dan sendu, membicarakan salah satu dari mereka yang telah lebih dulu berpulang.
Bukan itu saja alasan mereka begitu, tetapi desas-desusnya, mendiang Zaenab meninggal karena dibunuh. Pihak sampai sekarang masih melakukan penyelidikan, meski jasad beliau telah dikuburkan semalam.
Banyak yang mengatakan bahwa si pelaku adalah mantan suami korban, yang tidak terima Zaenab menikah kembali beberapa bulan lalu, dan itu adalah teori paling beralasan diantara alasan-alasan lain.
"Mulai sekarang kamu jangan lagi pulang-pulang malam."
Dean yang baru saja selesai mencuci tangan mengangkat sebelah alisnya, "kenapa, Bu?"
Rena yang tengah menyiapkan makan malam saat itu hanya berdecak kesal, anak sulungnya ini terlalu tidak acuh terhadap apa pun. Walaupun dia sendiri tidak selalu mengikuti kabar terkini, tetapi kabar yang satu ini sudah menghebohkan satu perumahan, atau mungkin satu desanya.
"Masih bertanya lagi! Kamu tahu sendiri Bu Zaenab meninggal beberapa hari yang lalu ...."
"Terus Ibuk takut hantunya gentayangan?"
Rena memukul lengan Dean, tidak terlalu kuat, tetapi mampu membuat pria itu meng-aduh. "Kamu bicara sembarangan!"
Dean tertawa kecil melihat wajah serius dan kesal ibunya, itu sedikit membuat ia lupa akan beberapa masalahnya.
"Bu Zaenab, kan meninggal enggak wajar. Dibunuh katanya," suara Rena sedikit berubah, ia sebenarnya selalu merasa ngeri membicarakan tentang kasus ini. "Dan, pelakunya belum ketangkep sampai sekarang," tambah wanita itu.
Dean yang mengerti maksud Rena, sambil memberikan sebuah mangkuk tempat sayur yang telah matang memberikan senyum pengertian. "Jangan terlalu khawatir, Bu."
Sayur matang, masakan untuk makan malam telah selesai. Rena menyuruh Dean untuk membereskan meja.
Satu yang istimewa dari keluarga Dean adalah makan malam yang selalu hangat. Kini hanya mereka bertiga--ayah, ibu, dan Dean--yanh menikmati hal tersebut. Dulu sewaktu adik-adik Dean masih lajang, mereka begitu menikmati waktu-waktu ini.
Sekarang, setelah masing-masing memiliki keluarga, sangat jarang bisa berkumpul bersama. Paling lebaran mereka pulang, itu pun hanya satu dua Minggu. Salah satu hal yang membuat Dean bersyukur dengan kondisinya sekarang, meskipun itu juga yang menjadi buah bibir tetangga dan ikut menyeret orang tuanya yang kurang tegas pada Dean. Sebenarnya, apa pun itu, itu 'kan urusan pribadi Dean. Kenapa mereka sibuk sekali mencampurinya.
"Bagaimana hubungan kamu dengan Vanya?"
Topik yang ia hindari beberapa jam lalu terdengar membuat pikiran pria itu buyar. Mereka sekarang sedang berada di meja makan dengan makanan di piring mereka sudah habis setengah.
Dean melihat pria dengan janggut tipis yang memutih itu menatapnya penuh harap, memberikan informasi tentang kelanjutan hubungannya dengan sang pacar.
"Ya ... gitu."
"Ya, gitu, gimana?" Toni mungkin dapat memaklumi kondisi bahwa anaknya yang satu ini tidak bekerja karena belum menemukan tempat kerja yang cocok. Berulangkali ganti-ganti pekerjaan karena tidak cocok, tetapi urusan jodoh, anaknya itu telah berpacaran dengan gadis bernama Vanya selama enam tahun.
Toni tidak percaya bahwa orang tua Vanya legowo saja dengan fakta itu. Apalagi mengingat mereka tinggal di lingkungan, yang mana wanita yang sudah berumur dua puluh lima ke atas harus segera nikah. Bahkan banyak yang sudah menikah di bawah dua lima tahun.
"Dean 'kan belum punya pekerjaan."
"Bapak bisa bantu."
"Tapi ini nikahannya Dean, Pak." Dean tahu bahwa hal ini akan terjadi, orang tuanya pasti menginginkan Dean memiliki hidup yang sama seperti saudara-saudaranya. Namun, ia belum punya modal untuk melakukan itu.
"Memang orang tua Vanya nggak keberatan, selama ini loh, Yan?"
Rena hanya mengamati dalam diam, ia hanya sebagai pengamat bila mana nanti kondisi pembicaraan mereka menjadi panas, ia bisa jadi penengah.
Meletakkan sendoknya, masakan yang tadi sangat nikmat di lidahnya itu menjadi hambar. "Dean sudah kenyang."
Melihat anaknya yang beranjak pergi, Toni meremas sendoknya, lalu menengok ke istrinya. "Dia selalu seperti ini."
"Sabar, Mas. Mungkin perlu beberapa waktu lagi."
"Sampai kapan Dean akan selalu jadi pembicaraan orang-orang, pengangguran yang tak kawin-kawin!"
"Mas ... nanti Dean dengar."
"Biar, biar dia tahu kalau dia harus bergerak cepat!"
***
Sudah sore, tetapi kembali Rena temukan anaknya belum pulang. Padahal sudah dia sudah memperingatkan bahwa pelaku pembunuhan Zaenab belum ketemu dan sepertinya masih berkeliaran bebas di luar sana, mengintai korban-korban lainnya.
Pakaian-pakaian yang telah rapi tersetrika dengan baik, berada di tangan Rena. Itu semua milik Dean, karena merasa kelamaan bila menunggu pria itu pulang, wanita itu berinisiatif untuk mengemasnya sore itu tanpa seizin Dean masuk kamarnya.
Untuk ukuran seorang laki-laki, kamar Dean termasuk rapi, mungkin pria itu selalu rajin membersihkannya. Hanya ada satu bagian yang kurang teratur yaitu mejanya, meja yang dulu ia gunakan sebagai tempat belajar, dan juga tempat ia bekerja.
Kertas-kertas bertumpuk tidak jelas, saling menimpa tidak tentu. Gatal melihat pemandangan itu, Rena membereskannya. Sesuatu yang mengejutkan ia temukan, sebuah undangan berwarna emas yang masih berplastik.
Rena membelalakkan matanya sembari menutup mulut dengan satu tangan.
Undangan itu dari Vanya. Rena merasa terkejut, bersamaan dengan dari pintu muncul Dean dengan hoodie masih menyelimuti kepalanya.
"Ibuk kenapa masuk tanpa izin?"
Mengabaikan pertanyaan itu, Rena lebih fokus terhadap benda yang baru saja ia temukan. "Katakan apa ini, Yan?"
"Kenapa Ibu ikut campur sekali dengan hidup Dean?"
Rena tidak habis pikir dengan jawaban sang putra pun membalas, "Ikut campur? Sampai kapan kamu sok-sokan menentukan pilihan sendiri tapi hasilnya gagal?"
"Bu ...."
"Sekarang pacar kamu pun sudah ninggalin kamu?!"
"Ibu seharusnya tidak bilang begitu."
"Jadi apa?! Ibu harus apa?! Ini satu-satunya yang bisa Ibu harapkan dari kamu."
Rena memegangi keningnya yang mulai berdenyut-denyut, kepalanya mendadak pusing. Ia tidak percaya harapannya selama ini sudah pupus.
"Ibu malu punya anak yang masih tinggal di rumah ini, padahal umur kamu udah tua." Rena mengatakannya tidak peduli Dean melotot tajam mendengar pernyataan itu.
"Ibu bisa bantuin bayar nikahan kamu, biar kamu cepat keluar dari rumah ini. Dean enggak capek apa digosipkan satu perumahan terus? Jujur Ibu capek."
Perasaan laki-laki terluka, ia pikir orang tuanya selama ini tidak memikirkan hal tersebut. Ia kecewa, ternyata pemikiran mereka sama saja. Sama saja dengan para emak-emak yang suka bergosip itu.
Tanpa sepengetahuan Rena, Dean berjalan mendekati wanita yang tengah memijat-mijat kelapanya itu.
"Ibu tidak mau lihat Dean di rumah ini lagi?" tanya Dean kini berada dekat dengan Rena.
Wanita itu pun tanpa berpikir panjang berkata, "tentu saja."
Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Dean yang mencekik leher ibunya dengan kuat sampai wanita kehabisan napas.
"Kalau begitu pergilah ke neraka bersama teman-teman Ibu yang lain!"
Tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro