Cinta Monyet
Cinta monyet, katanya.
14 September 2022
Kaki mengayuh pedal dengan tergesa-gesa, jemari menggenggam erat stang, sepeda ontel tua itu meliuk-liuk di jalanan padat Senin pagi yang cerah. Anton tidak lagi mengecek arloji usang di pergelangan tangannya sejak lima menit lalu mengetahui bahwa ia akan telah terlambat.
Seragam putih berpasangan dengan celana pendek berwarna biru sudah tidak serapi ketika ia masih di rumah. Jantungnya bertalu-talu, Anton tidak mau terlambat ketiga kalinya dalam seminggu ini. Pasalnya, setiap kali terlamba, Bu Kenny, selaku guru yang memegang bagian kedisplinan akan menghukumnya satu jam membersihkan halaman sekolah.
Kira-kira sepuluh meter lagi ia sampai, sebuah mobil hitam menyerempet, ia yang tidak siap lantas jatuh, sepeda dan tubuhnya bergesekan dengan aspal pagi yang sudah panas. Meskipun begitu yang ada di kepalanya hanyalah "ia sudah terlambat", dilihatnya arloji dengan mata sudah memanas. Benar ia sudah telat.
Pakaiannya kotor, lututnya berdarah, ia menangis kencang, karena sakit dan terlambat. Mobil yang tadi menyerempet berhenti, sesosok pria paruh baya berpakaian dinas cokelat keluar segera membantunya bangkit. Di belakang pria itu, gadis cantik berkepang dua, memakai seragam putih biru sama seperti dirinya ikut menolong. Tangan putih dengan gelang merah mengibaskan baju Anton yang kotor.
"Astaga, maaf, Dek. Bapak enggak lihat. Aduh, pasti sakit ya?"
Anton cuma diam sambil terus menangis nyaring. Menurutnya untuk apa bertanya seperti itu padahal dari luka di lutut dan memar di siku sudah menjelaskan kondisinya saat ini.
"AWW," teriak Anton saat merasakan ada yang menyentuh luka di lututnya dengan sengaja, matanya melotot mendapati gadis tadi.
"Sakit sekali, Yah. Buktinya dia sampai teriak begitu." Perkataan gadis tadi membuat Anton semakin kesal.
"Jangan begitu, Sita!" marah Pria tadi kepada gadis bernama Sita tersebut. "Ayo naik mobil saya, saya anter ke rumah sakit."
Anton menggeleng, matanya masih terus mengalir air mata sampai ia sesenggukan, hidungnya pun sudah mapet. Ia menunjuk ke arah gerbang sekolah. Pria tadi melihat lambang sekolah di bahu kanan Anton, menyadari bahwa Anton merupakan saah satu anak didik nya.
"Kamu sekolah di Nusa Satu juga, ya?"
Anton mengangguk, ia mengusap matanya menghalau air mata yang terus menerus turun.
"Bagaimana kalau kamu naik mobil saya, terus kamu diobati di UKS saja?" tawar pria tadi lagi.
Kali ini Anton setuju, begitulah caranya untuk masuk tanpa terkena sanksi, meskipun harus mengorbankan lutut dan sepedanya.
Hampir dua jam Anton tidak mengikuti kelas karena masih tiduran di UKS, luka-lukanya telah diobati, memang masih sakit, tetapi seharusnya bisa segera mengikuti pelajaran. Anton memilih tidur di UKS saat pria yang mengaku sebagai kepala sekolah baru itu menawarinya untuk istirahat atau langsung ke kelas.
Saat ia tengah bersantai ria, pintu terbuka, gadis cantik tadi pagi masuk dengan tanpa bersalah lalu menghampiri Anton yang masih rebahan.
"Kata mama bagus untuk orang sakit," ujar Sita sambil menjulurkan kresek hitam. Anton ragu-ragu, tetapi tetap menerima.
Ia buka kresek tersebut, dua bungkus roti dan dua kotak susu cokelat membuat Anton yang sudah sarapan tiba-tiba lapar.
"Kamu mau makan sekarang?" tanya Sita, kemudian tanpa menunggu jawaban Anton ia mengambil satu bungkus roti dan membukanya. Ia berikan roti itu kembali pada Anton, lalu beralih pada susu kotak, ia melakukan hal yang sama, menusukkan sedotan ke kotaknya, lalu memberikan lagi pada Anton.
"Cepat sembuh ya..."
Anton menatap wajah gadis itu lamat-lamat, baru ia menyadari betapa cantik dan menggemaskan Sita. Sedari tadi ia hanya fokus pada dirinya sendiri.
"Kenapa kamu tidak masuk?" tanya Anton begitu selesai mengunyah potongan besar roti, setelahnya menyeruput susu sampai habis setengah dengan sekali teguk.
Sita naik ke tempat tidur Anton, lalu duduk tepat di samping laki-laki tersebut. "Aku, kan, anak kepala sekolah. Suka-suka akulah."
Anton terkejut dengan jawabannya, "Tidak bisa begitu!"
"Bisa Anton..." Sita mengusap bibir Anton, membuat laki-laki itu terkejut untuk kedua kalinya.
"Apa-apaan?!" Anton menjauhi Sita.
"Kamu makannya celemotan, lihat nih coklat," Sita menunjukkan jempolnya yang telah kotor dengan selai cokelat dari roti tadi.
"Ya, enggak perlu begitu, aku bisa membersihkannya sendiri."
Melihat Anton yang marah-marah, Sita malah ketawa, ia mencubit pipi Anton, membuat lagi-lagi anak itu terkejut untuk ketiga kalinya. "Kamu lucu deh, jadi suka."
"Idihhh. Sana turun!"
Sita semakin menjadi dan malah mendekati Anton untuk mencubit pipi gembulnya.
"Turun sanaaa."
"Anton gemes banget, deh...."
Karena Sita tidak menyerah, Anton semakin geram, akhirnya ia mendorong Sita cukup keras hingga perempuan itu terjatuh cukup keras. Sontak Anton segera menyesal dan turun untuk memeriksa keadaan Sita.
"Maaf-maaf, kamu sih nggak mau dibilangin."
Dahi Sita berdarah, Anton semakin panik dan merasa bersalah. Kini pelupuk matanya lagi-lagi menggenang air, sekali kedip saja akan tumpah ruah.
"Jangan nangis bocah cengeng, ini cuma luka kecil," tukas Sita sambil mengusap dahinya, meskipun dari luka yang sama darah terus merembes keluar.
"Ma ... maaf, aku ... mi ... minta maaf," kata Anton sambil menangis keras.
Sita berdiri, mengambil empat lembar tisu di atas meja, tiga lembar ia serahkan pada Anton, satu untuknya menutup luka di dahi.
"Aku maafin kalau kamu mau jadi pacar aku."
Pernyataan tersebut membuat Anton terdiam, matanya melotot seakan bertanya pada Sita apa maksud dari ucapannya.
"Kalau kamu tolak, aku aduin Ayah aku."
Anton langsung mengangguk meskipun kembali melanjutkan tangisnya. Sita tertawa lalu mengusap air mata Anton dengan tisu.
"Lucu sekali pacar aku...."
Sekelebat ingatan itu membuat matanya memanas, sudah lima belas tahun berlalu, tetapi memori indah itu masih melekat jelas di kepalanya. Ramai tamu undangan di sekitarnya membuat ia sadar ia harus bisa move on. Tak boleh lagi jadi Anton cengeng seperti ketika ia SMP dulu. Umurnya sudah mencapai seperempat abad, malu sekali jika teman-temannya lihat.
"Masih belum siap naik pelaminan bertemu Sita?"
Reno sohibnya sejak kuliah menyenggol bahunya, ditangannya ada segelas jus berwarna merah ia teguk sambil melihat sepasang pengantin tengah tertawa bahagia berfoto bersama para tamu.
"Lima tahun, Bro. Masih belum cukup untuk merelakan dia?"
Anton menghela napas berat. Sejak kejadian Sita mengajaknya pacaran, mereka benar-benar pacaran sampai sepuluh tahun. Awalnya Anton memang tak punya rasa, ia mau karena ancaman. Tak tahunya semakin lama mereka bersama rasa itu tumbuh dan berakar kuat.
Sita yang cantik dan kuat berpacaran dengan dirinya yang cengeng dan jelek. Ia tahu perpaduan ini tidak pas, itu sebabnya beberapa kali mereka sempat bertengkar. Namun Sita selalu punya cara untuk membuat hubungan mereka membaik. Itulah kesalahan Anton, ia selalu menunggu Sita memperbaiki, tak pernah berinisiatif.
Puncaknya ketika akhir semester perkuliahan, saat masa sulit Sita menyelesaikan skripsinya, Anton malah marah karena Sita meminta tolong kating (Kakak tingkat/senior) bukan dirinya. Ditambah kating tersebut rupawan membuat Anton cemburu buta.
"Kenapa harus dia, Ta? Karena dia ganteng? Karena dia kaya? Dia pintar gak kayak aku?"
"Apaan sih Anton? Aku cuma minta tolong dia bantu penelitian aja kok."
"Enggak usah bohong! Aku tahu selama ini kamu malu punya pacar jelek dan bodoh kayak aku?"
"Aku capek berdebat hal yang sama Anton, kamu tahu pasti jawaban aku. Aku enggak pernah berpikir begitu."
"Terus kenapa sama Reza, Ta? Reza itu pria yang banyak disukai semua cewek-cewek."
"Aku cuma butuh dia bantu aku, Nton. Itu aja."
"Kan, bisa sama yang lain?"
"Masalahnya cuma Mas Reza yang punya penelitian dengan tema yang sama kayak aku."
"Alasan, bilang aja akhirnya kamu nemu cowok yang selevel dengan kamu."
"Aku capek Anton."
Anton masih terus berbicara panjang lebar tentang bagaimana Sita melakukan kesalahan karena meminta bantuan Reza. Tidak sadar Sita telah menangis, hingga suara isak akhirnya terdengar barulah Anton tahu ia telah melakukan kesalahan besar.
"Capek gak sih, Nton? Capek banget melanjutkan hubungan ini. Kita berhenti sampai di sini saja ya?"
Anton kira perkataan Sita hari itu hanya omongan biasa seperti biasanya mereka bertengkar. Setiap hari Anton menunggu pesan ucapan maaf dari Sita, menunggu Sita kembali menghampirinya dengan tawa riang lalu bilang "ayo pacaran lagi Anton", seperti biasanya Sita memperbaiki hubungan mereka.
Nyatanya berawal dari seminggu, hingga sebulan dan setahun, mereka benar-benar berpisah.
"Lagipula emang cinta monyet itu kebanyakan enggak berhasil, Nton. Udahlah masih banyak cewek lain," tukas Reno menaruh gelas kosong di meja lalu menarik Anton ke pelaminan.
Benar, ia tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Ia harus bahagia di hari bahagia gadis yang ia cintai selama lima belas tahun itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro