3. Bersikeras
Rasa kantuk mulai menguasai Daeng Mangalle. Niat awalnya menutup sejenak kelopak mata kini berakhir menjelajahi dunia mimpi. Selagi tidur, ia tidak mengetahui bahwa pertemuan antara Karaeng Galesong dan beberapa orang penting lainnya dengan raja Gowa keenam belas telah selesai.
Tepukan di pundak membangunkan Daeng Mangalle yang tengah asyik menikmati dunia mimpinya. Tempat di mana ia bisa melakukan apa yang diinginkan, tanpa ada yang melarang. Tidak pula ada yang berkomentar. Semua sesuai keinginannya.
"Kenapa kau tidur di sini, Mangalle?" Karaeng Galesong bertanya dengan kerutan tipis yang tercipta di antara keningnya.
Daeng Mangalle mengucek matanya sejenak. "Saya menunggu Karaeng Galesong di sini," jawabnya seadanya.
Sebelah alis Karaeng Galesong terangkat. "Ada hal penting yang ingin kau bicarakan dengan saya sehingga menunggu sampai tertidur seperti ini?"
Daeng Mangalle mengangguk. "Saya menunggu Karaeng Galesong selesai berbincang dengan Karaeng Bontomangape. Apakah ada hal genting yang terjadi? Kelihatannya pembicaraan dalam ruangan itu sangat rahasia," cetusnya mengutarakan maksud.
"Kurang lebih seperti itu, tapi kau tidak seharusnya mengetahui hal ini," jawab Karaeng Galesong singkat.
Jawaban Karaeng Galesong seketika membuat Daeng Mangalle berdecak kesal. "Apakah kerajaan Gowa akan melakukan penyerangan terhadap para kompeni itu? Karaeng Galesong juga ikut?"
Karaeng Galesong sejenak menutup kelopak matanya. "Kau benar, Mangalle. Kerajaan Gowa akan melakukan penyerangan terhadap kompeni di kerajaan Buton."
"Saya ingin ikut!" Daeng Mangalle berucap antusias.
"Tidak. Kau di sini saja. Peperangan ini akan membahayakan, mengingat kau belum begitu mahir menggunakan senjata dan kau pun belum cukup dewasa untuk ikut dalam peperangan."
"Selalu saja seperti itu. Jika Karaeng Galesong bisa ikut, kenapa saya tidak? Karaeng juga belum cukup dewasa saat mengikuti pertempuran pertama kali." Daeng Mangalle menuntut penjelasan. Dirinya tidak bisa ikut peperangan dengan alasan belum cukup dewasa, sedangkan saudaranya mengikuti peperangan pertama kali saat umurnya juga belum sepenuhnya dewasa.
"Peperangan ini sungguhan, bukannya latihan. Juga, membahayakan. Jangan menginginkan sesuatu yang belum sepenuhnya bisa kau lakukan. Kau hanya akan menyakiti diri sendiri."
Daeng Mangalle mengepalkan tangan erat. Pandangannya dialihkan pada seseorang yang terlihat keluar meninggalkan ruang pembicaraan rahasia yang sebelumnya sangat ingin didengar olehnya. Tanpa basa-basi, Daeng Mangalle menghampiri lelaki dengan pasapu di kepalanya itu.
"Tabe, Karaeng Bontomangape. Saya dengar bahwa kerajaan Gowa akan melakukan penyerangan ke kerajaan Buton. Saya ingin sekali ikut dalam peperangan itu. Izinkan saya ikut, Karaeng," cetus Daeng Mangalle tanpa basa-basi.
Karaeng Bontomangape melirik pada Karaeng Galesong yang baru saya tiba di tempat itu. "Maafkan saya, Karaeng Bontomangape," katanya penuh sesal.
"Tidak. Kau tetap di sini, Daeng Mangalle. Saya tidak memberikan izin untukmu pergi meninggalkan kerajaan Gowa." Pria berkulit sawo matang dengan perawakan tegap itu berucap tegas pada Daeng Mangalle.
"Saya mohon, Karaeng Bontomangape. Saya ingin sekali ikut bersama dengan prajurit lainnya." Daeng Mangalle masih bersikeras.
"Sekali saya katakan tidak, ya, tidak. Daeng Mangalle, kau tetap di sini." Karaeng Bontomangape pergi meninggalkan Daeng Mangalle dan Karaeng Galesong. Enre mengikuti kepergian sang raja Gowa itu.
"Dengarkan apa yang dikatakan Tetta, Mangalle. Kau sebaiknya tidak melakukan apa-apa dan mempercayakan hal ini pada prajurit-prajurit berpengalaman. Tidak ada gunanya kau bersikeras. Bagaimana jika kau terluka? Berpikirlah lebih jauh, Mangalle," cetus Karaeng Galesong guna mengurungkan niat hati saudaranya itu.
Penuturan Karaeng Galesong sama sekali tidak didengar oleh Daeng Mangalle. Ia memilih pergi meninggalkan laksamana laut kerajaan Gowa itu tanpa permisi. Hal tersebut membuat Karaeng Galesong yang tertinggal hanya bisa menggeleng.
***
"Kemampuan saya tidak bisa dibandingkan dengan Karaeng Galesong, tetapi apakah saya tidak bisa ikut dalam pertempuran itu? Jika tidak bisa ikut angkat senjata, saya hanya ingin melihat dan mempelajari langsung dari para prajurit yang ikut bertempur." Daeng Mangalle mengomel di sepanjang perjalanannya.
Seorang pria yang sibuk membersihkan tombaknya membelalak kaget akan kedatangan Daeng Mangalle. "Tabe, Daeng Mangalle, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan.
"Tidak, Were. Saya ingin bertanya apakah kau ikut dalam penyerangan ke kerajaan Buton? Kapan itu dilaksanakan?" Tanpa basa-basi, Daeng Mangalle bertanya pada salah satu prajurit Gowa itu.
"Saya ikut, Daeng. Penyerangan itu akan dilakukan esok hari. Para prajurit akan melakukan latihan hari ini," jelas Were singkat.
"Baiklah. Terima kasih atas informasinya," ucap Daeng Mangalle lalu pergi.
"Sama-sama, Daeng."
Langit jingga mulai menampakkan sinarnya, tetapi Daeng Mangalle belum juga membersihkan diri setelah selesai latihan bertarung dengan Karaeng Galesong. Ia bahkan tidak berniat membersihkan diri dan pergi meninggalkan kerajaan Gowa.
"Uleng, kau tidak perlu mengikuti saya," cetus Daeng Mangalle pada pengawal pribadinya itu.
"Saya tidak bisa melakukan itu, Daeng Mangalle. Tugas saya ialah menjaga keselamatan Anda, Daeng," balas Uleng.
"Yah, saya larang pun, kau tetap akan mengikuti."
Daeng Mangalle menggerakkan kakinya meninggalkan kerajaan yang diikuti Uleng di belakangnya. Kali ini, Daeng Mangalle bepergian dengan berjalan kaki. Ia tidak lupa mengenakan alas kaki berbahan kulit kayu.
"Uleng, besok akan ada penyerangan ke kerajaan Buton. Apakah kau tahu mengenai hal itu?" Daeng Mangalle bertanya di sela-sela langkahnya. Sebagai seorang pengawal pribadi, Uleng memiliki kedekatan lebih dengan Daeng Mangalle.
"Saya tidak tahu pasti, Daeng, tetapi dari yang saya dengar seperti itu," jawab Uleng singkat.
"Lagi-lagi saya tidak diperbolehkan ikut dalam pertempuran. Saya tahu umur saya belum cukup, tetapi Karaeng Galesong bisa ikut peperangan pada usia yang belum dewasa."
"Sebelumnya saya ingin mohon maaf, Daeng Mangalle. Antara Daeng Mangalle dan Karaeng Galesong cukup berbeda. Alasan mengapa Karaeng Galesong bisa mengikuti pertempuran di usianya yang belum sepenuhnya dewasa ialah karena kepiawaiannya dalam memimpin dan mengatur strategi. Seperti ada nyala api yang mengiringi Karaeng Galesong dalam setiap pertempurannya."
Penuturan Uleng seketika membuat Daeng Mangalle berbalik. "Saya tahu kemampuan saya tidak sebanding dengan Karaeng Galesong, tetapi apakah semangat saya juga? Semangat saya belum bisa disejajarkan dengan Karaeng Galesong?"
Pertanyaan itu membuat Uleng bergeming di tempatnya. Inginnya memberi jawaban, tetapi ia takut jika salah berucap. Ia bahkan mengutuk dirinya sendiri karena sebelumnya telah berucap demikian pada Daeng Mangalle.
"Saya bertanya, Uleng!" Daeng Mangalle berucap sedikit tegas. Menuntut jawaban dari pengawal pribadinya itu.
"Semangat Daeng Mangalle sudah sangat bagus, tetapi masih belum bisa disamakan dengan Karaeng Galesong, Daeng." Uleng berucap dengan kepala tertunduk.
Jawaban sang pengawal sontak membuat Daeng Mangalle mengembuskan napas panjang. Ia lalu melanjutkan perjalanan dengan Uleng yang setia menemani. Baru berjalan beberapa langkah, Daeng Mangalle menghentikan sejenak pergerakan kakinya.
Lelaki seumuran dirinya berjongkok di bawah sebuah pohon besar. Seorang pria yang bersama dengannya memukul serta menendang anak laki-laki itu tanpa ampun dan merasa bersalah. Anak laki-laki itu bergeming di tempatnya tanpa berniat memberikan perlawanan. Pemandangan itu membuat Daeng Mangalle menggertakkan gigi kesal.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro