23. Kemampuan Daeng Mangalle
Atmosfer di ruangan itu seketika menjadi dingin dan menusuk hingga membuat bulu kuduk Daeng Mangalle berdiri. Seseorang berkulit sawo matang dan berperawakan tinggi berhasil mengubah suasana yang sebelumnya hangat menjadi dingin dan canggung hanya dalam kurun waktu sekejap.
Pria itu mengulas senyum tipis setelah ketiga orang yang ada di hadapannya memberikan salam sebagai bentuk penghormatan. "Ayo duduk," ucapnya ramah.
Namun, ada sedikit kekhawatiran yang mengganjal di hati Daeng Mangalle. Ia melirik dari ujung matanya pada pria yang duduk di ujung sana. Tidak lain adalah Karaeng Bontomangape sendiri yang berhasil membuatnya terkejut setengah mati. Akhir-akhir ini, Karaeng Bontomangape benar-benar menguji ketahanan jantungnya.
"Saya mengucapkan terima kasih karena Malomo dan Marauleng bersedia memenuhi undangan makan dari saya," ucap Karaeng Bontomangape memulai pembicaraan.
"Bagaimana mungkin saya tidak memenuhi undangan makan dari Anda, Karaeng. Saya dan Marauleng merasa sangat tersanjung dan berterima kasih atas undangan Anda," balas Malomo sopan.
"Tidak usah sungkan, Malomo. Tujuan saya mengundang Anda dan Marauleng ialah tidak lain sebagai ucapan terima kasih. Saya berterima kasih karena Anda dan Marauleng membantu Daeng Mangalle belajar. Kemampuannya sudah berkembang jauh. Tidak hanya fisik, tetapi jiwa kepemimpinannya pun ikut terasah. Daeng Mangalle sudah bisa membuat keputusan dengan teliti dan hati-hati," jelas Karaeng Bontomangape.
Malomo mengulas senyum. "Saya dan Marauleng hanya membantu sedikit, Karaeng. Daeng Mangalle lah yang dapat belajar dengan cepat sehingga kemampuannya semakin baik dari hari ke hari," balas Malomo seadanya.
Karaeng Bontomangape mengangguk pelan. "Silakan nikmati makanannya. Tidak usah sungkan," katanya mempersilakan.
Makanan yang terhidang di atas meja sejak tadi sudah menarik perhatian Malomo dan Marauleng, tetapi mereka menahan hasrat di depan pria hebat yang mendapat julukan "Ayam Jantan dari Timur" itu. Merupakan suatu kehormatan dapat duduk di satu meja dan menyantap makanan yang sama dengan Karaeng Bontomangape.
Daeng Mangalle mendesah pelan. "Apakah yang mengikuti saya tempo hari di hutan adalah prajurit Karaeng?" tanyanya dalam benak. Lelaki itu dapat mengingat jelas mengenai kekhawatirannya akan seseorang yang mengawasi setiap pergerakanmya di hutan.
Suasana di ruangan itu hening. Tidak hanya kharisma sang Karaeng Bontomangape saja yang menjadi alasannya, tetapi karena tidak diizinkannya siapa pun bersuara saat sedang menyantap makanan. Itu sebabnya Karaeng Bontomangape memberitahukan maksudnya sesaat sebelum makan.
Hingga detik ini, Daeng Mangalle tidak pernah menyangka jika Karaeng Bontomangape mengundang Malomo dan Marauleng untuk makan siang bersama di kerajaan. Awalnya ia merasakan khawatir dan takut jika Karaeng Bontomangape akan meluapkan emosi pada kedua orang itu, tetapi kekhawatirannya seketika hilang setelah mendengar langsung maksud tujuan sang empu.
"Jelas sekali jika Karaeng Bontomangape mengawasi setiap pergerakan saya. Bodohnya, saya tidak menyadari hal itu," ungkap Daeng Mangalle lagi dalam benaknya. Ia hanya bisa berharap jika Karaeng Bontomangape memberikan kemurahan hatinya, sebab, segala tindak tanduknya tidak dapat dikatakan baik.
***
Tatapan nyalang diberikan Daeng Mangalle pada seseorang yang berada di depannya. Ekspresinya begitu ketat dan serius, sedangkan yang lainnya menampilkan ekspresi tenang. Keduanya terlihat bertolak belakang, tetapi hal itu tidak akan membuat Daeng Mangalle mengurungkan niat yang tertanam di hatinya.
"Apa yang kau inginkan, Mangalle?" tanya Karaeng Galesong setelah lelah mengamati ekspresi serius sang adik yang belum juga membaik.
"Saya ingin mengajak Karaeng Galesong bertarung," katanya mengutarakan maksud.
Kerutan tipis tercetak di kening Karaeng Galesong. "Tiba-tiba sekali. Apakah kau merasa sangat percaya diri, Mangalle?"
"Tentu saja. Kali ini, saya merasa sangat percaya diri. Bertarunglah dengan saya, Karaeng."
"Masih begitu cepat untuk menunjukkan kemampuanmu sekarang, Mangalle. Sekarang bukanlah waktu yang tepat."
"Sudahlah, Karaeng. Jangan membuat alasan yang tidak masuk akal. Saya ingin bertarung dengan Karaeng Galesong. Seorang yang hebat seperti Karaeng tidak akan takut pada saya, bukan?"
Karaeng Galesong tertawa. "Tentu tidak, Daeng Mangalle. Jika kau begitu menginginkan bertarung dengan saya, maka ayo lakukan," ucapnya serius. Ia tidak akan berbelas kasih pada sang adik.
Senyum Daeng Mangalle merekah lebar. Ini bukan kali pertama ia berlatih bersama Karaeng Galesong, tetapi dapat dipastikan jika pertarungan kali ini akan dimenangkan olehnya. Karaeng Galesong akan merasakan kekalahan pertama dari sang adik.
Setidaknya itulah yang diharapakan Daeng Mangalle dalam benaknya. Namun, hasil akhir telah ditentukan. Tangannya terkepal erat sembari menatap nanar tombak kayu yang tergeletak di atas rerumputan. Ia belum juga berhasil membawa kemenangan untuknya sendiri.
"Kau boleh datang kapan saja pada saya, Mangalle. Jangan berkecil hati, karena kemampuanmu sudah cukup berkembang," kata Karaeng Galesong guna membesarkan hati adiknya. Ia bisa saja memberi kesempatan untuk menang pada Daeng Mangalle, tetapi urung dilakukan. Kebohongan tidak akan membuat Daeng Mangalle menjadi orang hebat di masa depan.
"Apa yang kau katakan?" Karaeng Galesong bertanya setelah samar-samar mendengar Daeng Mangalle mengucapkan sesuatu.
"Ayo tanding ulang, Karaeng. Tidak dengan tombak kayu, melainkan dengan tombak sebenarnya," kata Dateng Mangalle menatap serius lawan bicaranya.
"Tidak. Saya tidak akan melakukannya," jawab Karaeng Galesong cepat.
"Saya ingin tanding ulang, Karaeng. Tidak dengan tombak kayu, melakukan dengan tombak sebenarnya." Daeng Mangalle kembali mengulang kalimatnya.
"Sekali saya katanya tidak, ya, tidak, Daeng Mangalle. Jangan keras kepala," balas Karaeng Galesong disertai embusan napas panjang.
"Akan sangat berbahaya berlatih menggunakan tombak asli, Daeng Mangalle. Saya tidak ingin Anda atau pun Karaeng Galesong terluka," ucap Uleng akhirnya buka suara setelah sejak tadi memperhatikan kedua kakak beradik itu.
"Kau diam saja, Uleng. Ini bukan urusanmu. Kau tidak diizinkan buka suara. Hanya Karaeng Galesong yang boleh melakukannya," balas Daeng Mangalle ketus.
Ucapan Daeng Mangalle membuat Uleng tersentak. Ini kali pertama Daeng Mangalle berucap begitu ketus padanya. "Baik, Daeng," balas Uleng seadanya.
"Kau tidak boleh bicara seperti itu pada Uleng, Mangalle," kata Karaeng Galesong memperingatkan.
"Kenapa? Saya bebas bicara sesuka hati saya, termasuk pada Karaeng," ucapnya lalu beranjak pergi meninggalkan sang kakak dalam kebingungan. Beberapa menit setelahnya, Daeng Mangalle kembali dengan sebuah tombak di tangannya. Ia lalu melemparkan tombak itu dan jatuh tepat di bawah kaki Karaeng Galesong.
"Kau, ambil tombak itu dan lawan saya."
Gigi Karaeng Galesong bergemeretak setelah mendengar ucapan Daeng Mangalle. Adiknya itu telah melewati batas dan tidak seharusnya dibiarkan begitu saja. "Di mana letak sopan santunmu, hah? Apakah kau diajarkan untuk berbicara kurang ajar pada yang lebih tua dari gurumu?"
"Setidaknya saya tidak diajarkan menjadi seorang pengecut yang untuk memegang tombak saja dia tidak mampu."
Karaeng Galesong menatap datar Daeng Mangalle lalu mengambil tombak yang ada di dekat kakinya. Ia sama sekali tidak marah dengan ucapan Daeng Mangalle, tetapi anak itu harus diajarkan rasa sakit yang sebenarnya. "Serang saya kapan pun kau siap," katanya serius.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro