Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

O5. Night in Paradise (02)

::: 05 :::

"Tidak masuk?"

Jungkook memandangi Namjoon dan Jimin bergiliran, mengangguk ketika mendapat gelengan dari keduanya dan menutup pintu kayu itu perlahan. Beranjak menuju kasurnya bersama Kim Taehyung yang sudah terlelap bersama seulas senyum.

"Apa segala sesuatunya akan berjalan baik?"

Nada penuh rasa khawatir itu membuat Namjoon menelan saliva, mengeraskan rahang. Kembali menyalakan pemantik dan menyelipkan satu rokok di bibir.

"Tidak akan ada yang dapat mengejar kita di sini."

Jimin menghela napas. Mengacak rambut penuh rasa frustasi, segala topeng yang dikenakannya semenjak kemarin hancur dalam satu malam. Tidak ada lagi tarikan bibir yang membentuk kurva dan menenggelamkan kedua mata.

"Mereka pasti akan menemukan kita."

"Tidak!"

Namjoon mengeraskan rahang, mengepalkan tangan membentuk tinju. Perkataan itu lebih menyerupai peringatan pada dirinya sendiri. Menghambat seluruh pasokan oksigen yang dibutuhkannya untuk bernapas.

"Bagaimana mungkin? Mereka dapat melacak kemanapun kita pergi," kekeh Jimin.

"Sial, tidak bisakah kau menutup mulut?"

Jimin mendengus, wajahnya berdenyut penuh emosi. Segala ketakutan sekaligus amarah memuncak menjadi satu, siap meledak kapan pun diinginkannya. Seolah menyiapkan diri untuk saat seperti ini. "Apa?" Jimin tidak dapat menahan diri untuk tidak melepas tawa sinis. "Bukankah
kau yang selama ini memperkeruh suasana sementara aku berusaha sebaik mungkin tampak ceria."

Namjoon membuka mulutnya sebelum menutupnya lagi, memalingkan wajah dengan terpukau. "Wah, kau memang sudah gila." Dia terkekeh. "Memangnya siapa yang memerintahkan untuk mencuri uang mereka? Seandainya kau tidak bertindak serakah, aku tidak perlu membunuh keparat itu."

Tidak ada jawaban untuk beberapa waktu. Hanya suara deru angin yang menimbulkan gemerisik pada pohon-pohon.

"Sudahlah, sebaiknya kau membantuku mengubur pria itu." Namjoon menarik napas lalu mengembuskannya, bergerak masuk dan muncul kembali setelah beberapa menit dengan satu tas hitam besar serta sekop. "Kau sudah memeriksa tanah di dekat sakura itu?"

Jimin mendengkus, mengacak rambutnya lalu mengangguk. Menerima sekop yang disodorkan padanya lalu bergerak lebih dahulu menuju pohon sakura, mulai menggali selagi menunggu Namjoon.

"Sial," umpat Jimin, peluh mulai membanjiri kening, turun mengikuti lekuk wajah. "Mengapa ini begitu melelahkan."

Namjoon hanya berdecak, tidak membalas lantaran mencoba tidak memikirkan tindakan kriminal yang tengah mereka lakukan saat ini.

"Joon," panggil Jimin yang berbalas satu gumaman. "Seandainya kita dapat bebas dari neraka ini, ayo pergi ke pulau lain. Pulau yang lebih bersahabat sekaligus menyenangkan."

Terdengar kekehan kecil. "Aku akan mempertimbangkannya. Lagipula, pulau ini sepertinya menyenangkan."

Jimin menelan saliva. Menggeleng. "Sebaiknya kita segera pergi."

"Tidak lagi menyukai misteri?"

Jika biasanya Jimin akan membalas dengan cemoohan akan lelucon itu, kini pemuda berambut pirang itu bergetar penuh rasa takut. "Kau tahu, pulau ini tidak aman." Sebelum Namjoon sempat memaki, Jimin sudah kembali bersuara dengan jauh lebih pelan. "Walau, itulah yang paling penting saat ini. Mereka tidak akan menyangka kita memasuki tempat seperti ini."

"Sial, kau baru memberitahuku sekarang?"

"Bukankah kau sudah tahu saat membawa kita ke tempat ini?" Jimin membalas cepat, sedikit tidak terima.

"Tidak. Aku hanya menemukan tempat ini dari catatan ayahmu. Lalu ketika mencoba mencari sesuatu di toko tadi, hasilnya nihil."

Jimin menggigit bibir. Dirinya sendiri tidak akan tahu seandainya tidak berbincang lebih lama dengan gadis itu, ketika Taehyung dan Jungkook meninggalkannya, gadis itu akhirnya memberikan informasi yang dibutuhkannya. "Meski untuk itu aku menggunakan sedikit uang yang kita dapatkan."

Pada saat ini, Namjoon sudah kehilangan kata-kata. Tidak tahu harus membalas dengan makian, umpatan, pujian, atau apa pun itu. Dia menyerah, berharap dapat segera tertidur, meninggalkan realita menuju dunia mimpi seperti Jungkook dan Taehyung yang sudah terlelap sejak satu jam lalu.

"Apa...."

Tubuh Namjoon yang membelakangi rumah seketika membeku, beriringan dengan Jimin. Pemuda berwajah bulat itu nyaris terjatuh, memasuki kuburan yang dibuatnya sendiri seandainya sekop dalam genggaman tidak tertancap pada tanah. Seluruh syaraf dalam otak seolah mati, keduanya terpaku. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini adalah mimpi buruk, yang terburuk dari segala yang terburuk.

Taehyung berjalan mendekat, menelan saliva, seperti tanaman menjalar, dia dapat merasakan ketakutan berselimut kekhawatiran itu perlahan merayapi tubuhnya. Kedua mata membola ketika menyaksikan apa yang berada di hadapannya. Pipinya berkedut. "Apa kalian," ucapnya, tidak dapat menyelesaikan kalimat tanya itu.

Namjoon merupakan insan yang pertama kali bergerak, menghela napas. Mengumpat dalam diam. Merutuki semesta yang berlaku begitu kejam. "Ya," jawabnya.

Taehyung membasahi bibir, tidak banyak berbicara lagi. Hanya menggeleng lantas menyugar rambut hitamnya yang kini menutupi kening. "Apa aku dibutuhkan?"

Kali ini, Jimin yang menjawab. Pemuda itu mengangkat wajah untuk menatap Taehyung. "Kalau kau tidak keberatan."

Tubuh Taehyung bergetar sekalipun pemuda itu berusaha menutupinya. Terlampau terkejut, tidak tahu harus bersikap seperti apa. "Inikah alasanmu mengajak kami?" Dia berusaha mengalihkan pikiran, menganggap apa yang tengah dilakukannya hanyalah sekadar permainan kecil yang kerap mereka lakukan dahulu.

"Tidak," jawab Namjoon cepat. "Kami hanya ingin membawa kalian menikmati liburan teutama Jungkook. Dia sangat menginginkan pergi dari daerah itu. Aku juga sudah lama tidak bertemu. Pertemuan ini dapat menjadi yang terakhir seandainya aku tertangkap saat kembali."

Taehyung menghela napas. Ini tampak menggelikan. Bukankah Namjoon adalah sosok yang paling logis di tempat ini?

"Lalu, kau berpikir kami akan senang, bersorak ketika kau mengajak kami terlibat dalam hal ini?" Dia ingin sekali meninju wajah Namjoon dan Jimin. "Wah, apakah otak kalian rusak? Kuliah membuatmu gila Kim Namjoon?"

Namjoon menelan saliva, tidak membalas.

"Namjoon hanya ingin membantu," bela Jimin, membuat perhatian kini teralihkan padanya. "Ayahku, dia adalah ketua kelompok mafia di daerah kita. Beberapa waktu lalu, ayahku dibunuh oleh kelompok lawannya." Jimin mengangkat bahu, hendak melanjutkan perkataannya seandainya Namjoon tidak menyela.

"Jimin hendak membawa uangnya untuk diberikan padaku, membayar-"

"-menuduk!" Jimin menerjang ke depan, mendorong tubuh Namjoon ke atas tanah yang dipenuhi oleh bunga sakura. Membuat kelopak bunga itu sedikit terhempas, kedua tangannya bergetar dan matanya membola. Dia terengah-engah, mengangkat wajah untuk mencari pelaku yang menembakkan peluru, nyaris menembus kepala Namjoon.

"Sial," umpat Namjoon, merogoh saku celananya. "Kau membawa senjata itu?"

Jimin langsung berguling ke samping, menikmati sesaat bunga sakura yang menjadi alas, memberikan rasa nyaman sekaligus pengingat akan musim semi yang kemungkinan tidak dapat dilihatnya lagi. "Selalu," ucapnya. Jimin melirik Taehyung di belakang yang sudah tengkurap.

Jimin mengeraskan rahang, menendang satu lagi pistol yang diraih Taehyung dengan sedikit gemetar, peluh menetes deras dari wajahnya yang pucat. Ketika Jimin mengembalikan pandang pada Namjoon, pemuda itu sudah bangkit berdiri. Berlari dengan cepat sambil menembakkan peluru, kemampuan Namjoon tidak terlalu buruk lantaran pemuda itu sempat berlatih beberapa kali dan percobaan pertamanya ialah ketika menyelematkan Jimin dari kebodohannya sendiri. Saat itu, hanya tubuhnya yang terluka. Tidak terlihat akibat tertutup oleh kain yang membalut tubuh, berbanding terbalik dengan Jimin yang terluka di bagian tangan akibat kecerobohannya sendiri.


Dan, Namjoon menyumpahi Jimin yang tidak pernah belajar. Pemuda itu menembakkan peluru jauh lebih baik, jauh lebih cepat, dan jauh lebih terlatih, tetapi kecerobahan itu tidak pernah hilang. Beberapa langkah di belakang, seorang pria dalam balutan kemeja menembakkan peluru yang hampir menembus kepala Jimin, seandainya Namjoon tidak dengan cepat menembak. Mengumpat ketika menyadari pelurunya menyasar pada perut bagian bawah alih-alih kaki yang merupakan tujuannya.

Sekali lagi dia mencoba, menembus kulit paha, memancing pria itu berteriak kencang. Memaki, memanggil beberapa temannya yang berada di belakang. Dua belas, Namjoon menghitung cepat. Mereka kalah jumlah. Penuh amatir sementara lawan mereka setidaknya sudah melakukan ini puluhan kali- sekalipun hanya preman rendahan.

Namjoon kemudian mengambil langkah mundur, bergeser secara menyamping dan membiarkan Jimin yang tengah menodongkan pistol menembakkan peluru, membunuh secepat yang dapat dilakukannya dalam hitungan empat. Satu tumbang. Darah mulai membasahi tanah, melukiskan warna baru pada sakura pucat itu.

Jimin mengumpat, mulai terengah dengan tidak beraturan sambil sesekali memperhatikan Taehyung yang tengah bergelut menggunakan kemampuan taekwondo karatannya. Berharap dalam hati bahwa pemuda itu dapat selamat. Dia berdecak, mengarahkan tinju bergantian antara kiri dan kanan sambil sesekali menghindar, menyilangkan tangan sebagai perisai.

"Namjoon!"

Terlambat. Satu peluru menembus kaki, peluru lain menyasar pada tubuh, Jimin hendak berlari, hendak melayangkan pistolnya tetapi seorang pria yang berlumuran darah menghadangnya. Menggunakan kayu untuk memukul yang dengan cepat dihindarinya, meski akibat dari perbuatan itu Jimin tidak lagi dapat bereaksi ketika seorang pria yang baru saja masuk melayangkan tiga peluru secara bersamaan. Menembus kulitnya, membuat dia meringis, hendak meraung sebelum tersadar, segera mengangkat pistol. Dia mengeraskan rahang, setidaknya dia harus dapat menghapus sebagian dari mereka.

Satu, dua, empat, delapan.

Jimin terkekeh.

Sudah selesai. Dan, satu peluru diarahkan pada kepala. Membuat tubuhnya ambruk, menghantam tanah, menghepaskan bunga sakura yang kini berlumuran darah segar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro