Langit Senja di Pinggir Pantai
Summary : Adikmu ini, hanya ingin melihat langit senja di pinggir pantai, sebelum tutup usia. Permintaan itu, adalah permintaan terakhir dalam hidupku. Kumohon, penuhilah!
Fairy Tail bukan punya author, tetapi punya Hiro Mashima
A/N : Awalnya bingung nih mw bikin cerita ini pk pairing siapa. Akhirnya, aku mutusin buat pake pairing Jerza, jujur deh ini bener-bener pairing fav aku XD Riview ya, biar aku tau cerita ini bagus atau enggak :)
Adikku bernama Erza, kepanjangan dari namanya adalah Erza Scarlet. Dia setahun lebih muda dariku, hanya saja penderitaannya sebagai adik jauh lebih besar daripada aku kakaknya ini. Kami berdua adalah anak yatim piatu pada awalnya, lalu kami berdua diadopsi oleh orang yang sekarang kami sebut ayah angkat.
Kehidupan sebelum dan sesudah memiliki orangtua, bagiku dan Erza sama saja. Kami berdua harus banting tulang, karena ayah angkat kami ini sangat suka berjudi sehingga memiliki banyak hutang. Memang, hidup ini begitu kejam, aku belum bisa melihat titik terang dalam hidupku yang sekarang. Kenapa kukatakan kalau Erza begitu menderita?
Ya...Ceritanya panjang, tetapi kupersingkat saja ya.
Flashback...
Aku tidak tau ini hari apa, bagiku semua hari sama saja, tidak ada bedanya. Mungkin ini adalah hari Senin. Seperti biasanya aku dan Erza pergi mencari sampah untuk dijual, pekerjaan kami adalah pemulung. Mana ada orang yang mau memperkerjakan anak berumur 11 dan 10 tahun? Saat itu kami sedang memilah sampah berdasarkan jenisnya, hanya ini yang bisa kupelajari. Matematika, IPA, IPS, aku ingin mempelajari itu semua. Ya, aku ingin sekolah lebih tepatnya.
"Lagi-lagi kakak melamun, apa kakak melihat anak-anak sekolah yang baru saja pulang?" Tanyanya padaku
"Ya, begitulah"
"Mereka terlihat keren ya, menggunakan jas dan membawa tas. Apa kita bisa seperti itu?"
"Tentu, asalkan ada uang"
Makanya, aku dan Erza menabung supaya bisa sekolah. Makan saja sulit, bagaimana sekolah? Hahaha...Tawaku dalam hati dengan nada pilu. Wajah Erza saat itu terlihat begitu pucat, apa dia sakit? Apa dia jenuh dengan ini semua? Pikiran itu sudah menghantui ku sejak beberapa hari ini, setiap bertanya jawaban yang ku dapatkan adalah "Aku baik-baik saja" Sebuah kebohongan yang sering sekali ia ucapkan.
Akhirnya kebohongannya itu terungkap, ketika berada di rumah. Saat itu Erza sedang menyeduh teh untuk diminum ayah angkat kami berdua, dia berjalan terhuyung-huyung dan akhirnya menumpahkan segelas teh tepat dibaju ayah yang pastinya mengotri bajunya, lalu kemudian Erza pingsan. Kalian tau bukan apa reaksi ayahku? Dia benar-benar geram, dengan kejamnya Erza ia tendang.
"Anak kurang ajar, cepat bangun!!"
"Apa yang ayah lakukan!!" Teriakku tanpa kusadari
"Kau berani membentak ayahmu?!! Hey, apa kau lupa siapa yang mengadopsimu? Yang memberimu makan? Yang memberimu tempat tinggal? Dasar tidak berguna"
"Siapa yang kau bilang tidak berguna?!! Kami berdua mencari uang untukmu dan kau tidak berterima kasih?!! Memang, yang mengadopsi kami itu adalah kamu, tetapi kalau tau begini lebih baik aku dan Erza tinggal di panti asuhan. Kau sama sekali tidak mengerti perasaan kami!!!!"
"DIAM!!"
Dengan kejamnya ayah angkat ku itu menampar pipi kananku dengan begitu keras. Usaha kerasku berakhir seperti ini? Aku tidak terima!! Tidak ada gunanya hidup dengan pak tua ini, memang omonganku tadi sangatlah tidak sopan, tetapi untuk apa dipikirkan? Semua yang kukatakan adalah fakta dan itu konkret!!!
"Aku dan Erza akan pergi dari rumah ini"
"Pergi saja sana!! Jangan harap kau bisa kembali!!" Ucapnya tegas
Emosiku saat itu sedang meledak-ledak, sehingga aku tidak memikirkan apa yang harus kuucapkan. Akhirnya aku benar-benar pergi dari rumah itu sambil menggendong Erza. Sekarang aku harus membawanya ke dokter, tapi apa uangnya cukup? Sudahlah, yang penting bawa dulu saja ke dokter. Uang adalah urusan belakangan.
Kebetulan ada sebuah puskesmas yang tidak terlalu jauh dari rumah, makanya aku memutuskan untuk memeriksakan kondisi Erza ke puskesmas tersebut. Karena sepi kami tidak perlu menunggu terlalu lama. Seorang dokter yang kira-kira berusia 34 tahun tersebut memeriksa Erza. Entah mengapa ekspresi wajahnya membuat hatiku gelisah.
"Bagaimana keadaannya?" Tanyaku sambil memainkan jari jemariku karena merasa gelisah
"Keadaannya cukup buruk, adikmu terkena penyakit paru-paru. Ini resep obatnya, belilah di apotek terdekat"
"A...Arigato, tetapi aku tidak memiliki uang untuk membayar, apalagi untuk membeli obat. A-aku akan melakukan apapun!"
"Tidak perlu, ambillah"
Dokter yang baru saja kukenal tersebut memberikan beberapa lembar uang 100 ribu-an. Mengapa dia begitu baik pada kami? Apalagi ia berkata jika aku tidak usah membayar.
"Jika terjadi sesuatu pada adikmu, pergilah ke sini. Aku akan memeriksanya kembali"
"Maaf merepotkan"
Mungkin aku sedang beruntung. Setelah menembus obat di apotek, aku berjalan sambil menggendong Erza. Sekarang kami akan pergi kemana? Apa mungkin aku terlalu teburu-buru membuat keputusan meninggalkan rumah? Sekarang aku tidak bisa kembali, hanya ada satu jalan. Terus melangkah dan berusaha bertahan hidup.
End Flashback
Disinilah kami berdua sekarang tinggal, di jalanan sebagai seorang pengemis. Hidup di jalanan tidaklah mudah, terkadang kami harus berurusan dengan polisi, tidak bisa tidur karena udara begitu dingin, dan berbagai macam masalah lainnya. Karena akhir-akhir ini udara begitu dingin. Kesehatan Erza kian memburuk, aku ingat perkataan dokter jika Erza tidak boleh terkena udara dingin, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan selain memeluknya supaya dia tetap hangat.
Sinar matahari memancarkan sinarnya dengan begitu terang. Aku belum mendapatkan sepeser uang sejak tadi pagi. Sesekali perutku berbunyi tanda protes, tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu seseorang memberikan sepeser uang untuk kami. Dari kejauhan aku melihat seorang anak yang berlari menuju kearahku, dia melemparkan sebuah dompet padaku dan beberapa warga datang menghampiriku.
"Rupanya kamu pencurinya"
"Masih kecil sudah mencuri. Sudah besar mau menjadi apa? Perampok?"
"A...Apa maksud kalian? Aku tidak mencuri" Ucapku membela diri
"Jangan bohong!! Jelas-jelas kamu memegang dompet itu dengan kedua tanganmu. Anak sepertimu harus diberi pelajaran!!" Ucap salah satu dari kerumunan warga tersebut
Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba kerumunan warga itu memukulku dan menendang ku. Setelah mendapatkan kembali dompet tersebut mereka pun pergi begitu saja. Apa maksud mereka memukul seorang anak yang tidak tau apa-apa? Apa mereka semua sekejam itu? Aku...Aku membenci mereka!! Sudah jelas kan warga itu main hakim sendiri!!
Tak lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya. Aku sama sekali tidak mencari tempat untuk berteduh, terus terdiam ditempat itu dengan tubuh yang terbaring lemah. Dengan sekuat tenaga aku memukul tempat dimana diriku ini berpijak, aku terus memukul hingga tanganku terluka. Dengan lunglai aku pergi menghampiri Erza.
"Nii-san, ada apa denganmu?" Tanya Erza lemah
"Aku baik-baik saja"
"Bohong..."
"Hey, apa menurutmu dunia ini kejam?"
"Kejam? Kenapa tiba-tiba nii-san mengajukan pertanyaan seperti itu?"
"Tadi ada seorang anak yang berlari dan melemparkan sebuah dompet. Kemudian beberapa warga datang menghampiriku, mereka marah dan memukul ku hingga babak belur. Apa-apaan mereka? Aku..." Ucapku sambil megepalkan tangan
"Aku tidak mencurinya, kamu percaya kan padaku?"
"Tentu, aku tau nii-san tidak akan berbohong. Soal pertanyaan yang tadi nii-san ajukan. Menurutku dunia ini tidak kejam"
"Kenapa kamu berpendapat seperti itu?"
"Asal bersama nii-san, dunia ini tidaklah terasa kejam. Aku benar kan? Asal bersama dengan seseorang yang kamu sayangi, kamu akan merasa jika dunia ini indah"
"Erza...."
Kini aku merangkulnya erat-erat. Aku menangis ditengah derasnya hujan. Bodohnya aku, aku masih memiliki Erza, untuk apa merasa jika dunia ini kejam? Perkataannya benar, sangat benar...Yang sekarang harus kulakukan adalah membahagiakannya.
Keesokan harinya...
Bagiku hari ini agak sedikit terasa beda. Mengapa begitu? Secara mendadak Erza ingin pergi ke pantai. Katanya sih ingin melihat matahari terbenam, sempat aku menolak keinginannya karena kondisinya tidak memungkinkan. Tetapi Erza mengatakan suatu hal yang langsung merubah pikiranku.
"Adikmu ini, hanya ingin melihat langit senja di pinggir pantai, sebelum tutup usia. Permintaan itu, adalah permintaan terakhir dalam hidupku. Kumohon, penuhilah!"
Apa maksudnya mengatakan sebelum tutup usia? Memang sih keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk sembuh, tetapi hati kecilku percaya jika Erza pasti bisa sembuh dan kembali ceria seperti dulu. Pada akhirnya aku memenuhi permintaannya. Pagi-pagi sekali aku berjalan kaki sambil menggendong Erza. Tubuhnya sudah sangat lemah sampai-sampai berjalan saja tidak sanggup.
Untuk bisa mencapai pantai membutuhkan waktu yang cukup lama. Sinar matahari yang terik sama sekali tidak kupedulikan, rasa lelah pun serasa menghilang setelah aku melihat laut dengan kedua mataku ini. Pantai tidak jauh lagi, ucapku dalam hati.
"Lautnya sudah terlihat, apa sebentar lagi kita akan sampai?"
"Ya, sebentar lagi" Jawabku ragu-ragu
Jujur, aku sempat ragu. Apa bisa aku sampai ke pantai tepat waktu sebelum senja tiba? Tanpa kusadari kakiku menginjak pasir. Jadi, aku sudah sampai? Karena lelah aku pun memutuskan untuk duduk di pinggiran pantai, sedangkan Erza berbaring diatas pangkuan ku. Aku hanya bisa diam seribu bahasa, betapa indahnya langit senja...
"Indah ya"
"Ya"
"Aku senang bisa melihat langit sengaja bersama nii-san"
"Aku juga" Air mata mulai menetes dari mataku
"Terima kasih sudah mengabulkan permintaan terakhirku. Aku sadar hidupku tidak lama lagi"
"Kenapa kamu berkata begitu?" Tanyaku sambil menundukkan kepala
"Semalam aku bermimpi, setelah melihat langit senja bersamamu kedua mata ini akan menutup perlahan-lahan dan nafas ini mulai terhenti"
"Kumohon jangan lanjutkan perkataanmu barusan"
"Nii-san, biarkan lah aku melihat wajahmu sekali lagi sebelum dipanggil. Lagi-lagi kamu menangis seperti kemarin, aku saja tersenyum. Masa kamu kalah?" Katanya sambil memegang wajah dengan tangan kecilnya
"....." Hanya terdiam dan memaksakan tersenyum
"Begitu dong hehehe. Aku senang memiliki seorang kakak sepertimu. Bye, bye"
"Bye..."
Erza tidak lagi memegang wajahku, tangannya terjatuh dan matanya tertutup. Kamu hanya lelah kan Erza? Kini senyum itu serasa menghilang dari wajahku, hanya air matalah yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Aku tidak percaya, dia baru saja mengucapkan bye dan langsung pergi begitu saja? Tangannya begitu dingin saat kupegang, dia benar-benar telah meninggalkan dunia ini dengan sebuah senyuman di wajah.
Erza, kini kakak hanya bisa mengenangmu dalam hati. Semoga kamu hidup dengan tenang di alam sana. Kakak tau jika kamu selalu mengawasiku dari atas langit. Terima kasih telah menemaniku hingga akhir hayatmu....
Tamat
A/N : Selesai juga. Gak tega aku bikin Erza meninggal dalam cerita ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro