Bagian 9-Medan Magnet
Setelah selesai dengan segala urusan di kampus, Langit memutuskan untuk bergegas ke kantor polisi guna membuat laporan orang hilang. Bersama dengan Deo dan Saka, mereka bertiga melajukan kendaraannya masing-masing untuk ke kantor polisi terdekat. Sesampainya mereka di tempat tujuan, Langit segera membuka pintu masuk tersebut.
"Permisi."
Terlihat di dalam, terdapat beberapa petugas polisi yang sedang bertugas. Sebagian yang tengah terduduk di pojok ruangan menoleh ke arah mereka. Langit dengan langkah tergesa-gesa mendekati meja penerimaan laporan di kantor polisi. Dia bisa merasakan rasa yang amat khawatir akan ketidaktahuannya tentang keadaan Bagas saat ini. Terlebih lagi, Bagas tidak memiliki siapa-siapa disini.
"Selamat malam, ada yang bisa kami bantu?" suara tanya itu terucap dari polisi yang kini tengah berdiri di hadapan mereka. Saka dan Deo berdiri di belakang Langit. Entah hal apa yang mereka takutkan.
"Mohon maaf Pak, saya ingin membuat laporan orang hilang. Apa bisa?"
"Tentu bisa, segera duduk di kursi di depan meja."
Polisi tersebut melangkah mendekati meja bagian seberang, lalu mengambil sebuah buku yang sepertinya sebagai media mencatat hal-hal yang penting. Langit pun mendudukan dirinya, sedangkan Saka dan Deo berdiri di belakangnya.
"Silakan ceritakan apa yang terjadi dan berikan detailnya."
"Baik Pak terima kasih. Teman saya bernama Bagas sudah hilang kabar dari tadi pagi. Seharusnya dia pergi ke kampus tapi dia tidak datang ke kampus. Di telpon pun tidak bisa. Oleh karena itu, kami tadi berinisiatif pergi untuk mendatangi kosannya. Namun, dari pemilik kosannya. Bagas tidak pulang ke kosannya semalam."
"Karena kami merasa ada hal yang aneh, kami segera mendatangi tempat dia bekerja jika malam. Karena memang dia kuliah sambil kerja, hal tersebut dikarenakan dia tinggal sendiri dan tidak memiliki siapapun."
Polisi tersebut menyimak dengan serius, wajahnya yang coklat dan sangar tidak bisa menyembunyikan rasa empatinya.
"Setelah mendatangi tempat dia bekerja. Kata orang yang kerja disitu, Bagas sudah pulang pukul sebelas malam. Setelah kerjaan selesai. Akan tetapi ternyata dia tidak pulang kekosannya."
"Malam itu saya sebenarnya, dia pergi ke tempat kerjanya dengan saya. Saya yang mengantarnya dan dia bercerita sesuatu." Langit tediam sejenak, apakah ia harus menceritakan hal apa yang diceritakan Bagas? Ah, sudah lah demi kebaikan Bagas harus diceritakan.
"Bagas bercerita, bahwasannya selama seminggu kebelakang dia ngerasa diikuti sama seseorang. Saya takut Pak Bagas kenapa-kenapa. Karena sampai sekarang dia gak bisa di hubungi," ujar Langit panjang.
"Bisakah Anda memberikan informasi lebih lanjut mengenai Bagas?"
"Bagas berusia 21 tahun, memiliki tinggi sekitar 167 cm, berambut hitam, dan berkulit putih kekuningan. Alis kanan nya sedikit terpotong di bagian ujung, karena ada bekas luka disitu. Dia memakai baju kemeja biru saat terakhir kali saya melihatnya. Bagas biasanya pulang tepat waktu, dia tidak pernah main kemana-mana sesudah dia bekerja. Karena waktu istirahat sangat penting baginya."
Saka menoel Deo, kepalanya itu sedikit mendekatkan ke arah kuping Deo. Dengan pelan, Saka berbisik.
"Sumpah, bahasa yang digunain Langit kaya lagi di forum. Formal banget," kata Saka pelan.
Deo tampak terkekeh sebentar, lalu dia pun membalas,"Itu namanya adab tolol." Tangan Deo pun menggeplak kepala Saka dengan pelan. Agar tidak membuat kebisingan, sehingga bisa merusak suasana.
"Oke kalo gitu. Kalian bisa kembali besok pagi. Kami harus menunggu satu kali dua puluh empat jam. Siapa tahu teman kalian bisa kembali besok atau malam ini. Bahkan mungkin teman kalian sedang ingin sendiri," ucap Polisi tersebut seraya menutup buku yang dia pegang.
"Loh Pak? Jadi harus nunggu satu kali dua puluh empat jam agar laporan ini bisa diproses?" tanya Saka dengan raut wajah bingung.
"Nanti kalo temen saya kenapa-kenapa gimana Pak?" kini Deo yang bertanya.
Langit yang seharusnya marah akan hal apa yang barusan disampaikan oleh Polisi di depannya. Langit menunduk menatap lantai dasar. Ia seharusnya sudah tahu akan hal ini.
"Ya itu sudah bukan tanggung jawab saya. Saya bisa memproses laporan orang hilang setelah satu kali dua puluh empat jam. Kalian bisa langsung pergi sekarang."
Polisi tersebut pun lalu berdiri menjauh dari mereka dan menghampiri rekannya yang terduduk minum kopi di pojok ruangan. Langit berdiri dari duduknya. Batin dan pikirannya sangat tidak berkesinambungan. Pikirannya mengatakan untuk berteriak ke arah polisi tersebut dan melontarkan kalimat-kalimat kotor yang sudah berlalu lalang di otaknya. Sedangkan batinnya mengatakan untuk mengikuti kemauan polisi tersebut.
"Balik aja kita. Kita tunggu sampe besok," kata Langit.
Mereka bertiga akhirnya pergi dari kantor polisi tersebut dengan rasa kecewa. Langit mengumpat dalam hatinya. Saka tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Langit sekarang. Begitupun dengan Deo, seharusnya tadi mereka bertiga marah akan hal yang diucapkan oleh Polisi tersebut. Namun, untuk saat ini bagi Langit. Mendinginkan pikirannya adalah hal yang paling penting saat ini. Ia merasa sekarang permasalahan seperti magnet yang saling tarik menarik. Baik permasalahan himpunan yang sudah lama merusak pikirannya dan kini masalah temannya.
...
Setibanya Langit di rumahnya, ia segeram memasukkan kendarannya ke garasi. Matanya menangkap satu objek yang menjadi alasan senyum tipis tersungging disudut bibirnya. Dengan cepat Langit masuk ke rumahnya. Aroma ariental menyapa indra penciuman Langit. Langkanya tertuju ke arah aroma tersebut.
"Waduh anak Ibu udah dateng."
Suara yang terdengar halus masuk ketelinga Langit. Buru-buru ia berlari menghampiri Ibunya dan memeluknya.
"Anak gede Ibu baru pulang. Dari mana kamu?" tanya Sinta.
Raut wajah Langit berubah murung. Ia kembali mengingat hal apa saja yang terjadi di hari ini.
"Loh kok cemberut gini. Bujang Ibu gak boleh sedih gini. Ayo cerita sama Ibu ada masalah apa?" Sinta memeluk anaknya dengan erat dan dengan perlahan melepasnya.
"Temen aku ada yang ilang Bu. Tadi aku udah ke kantor polisi buat laporin kasus orang hilang hilang. Cuman kata polisinya harus nunggu satu kali dua puluh empa jam." Langit meposisikan duduknya menghadap Ibunya.
"Lah emang kaya gitu kan polisi disini. Kamu kan harusnya sudah tahu. Emang sia kawanmu yang ilang?"
"Itu Bu, si Bagas. Tahu sendiri dia gak punya siapa-siapa disini. Dari tadi pagi dia gak bisa duhubungi. Ke kampus pun enggak."
"Si Bagas anak Medan itu? Duh anak Ibu, udah kamu jangan khawatir. Kita harus berpikir positif. Mungkin Bagas lagi gak pengen diganggu sama siapa-saiapa. Atau dia lagi pergi ke tempat yang bisa ngerileksin pikirannya. Kamu juga kalo lagi pusing. Suka banget pergi ke Vila belakang bukit kan."
Langit tersenyum mendengar apa yang barusan diucapkan Ibunya. Ada rasa tenang yang ia terima. Pikirannya sedikit membaik.
"Ibu pulang jam berapa?"
"Tadi sekitar jam lima sore Ibu udah di rumah."
"Ayah kemana Bu? Ibu gak bawa oleh-oleh ya? Masa bawa oleh-lehnya bau rumah sakit, hahahaha." Langit tertawa melihat wajah Ibunya yang terlihat masam.
"Enak aja kamu ngomong Ibu bau rumah sakit. Ya wajar lah Ibu baru rumah sakit. Orang kerjanya di rumah sakit." Sinta menyubit anaknya dengan pelan, lalu melanjutkan ucapannya, "Ayahmu lagi ada urusan kerjaan di kantornya. Mungkin ngelembur. Lagian kenapa si kamu gak mau jadi dokter aja."
"Aish Ibu gak usah ngebahas hal itu lah. Aku gak suka jadi dokter. Ngeliat Ibu yang dokter aja aku capek. Apa lagi aku jadi dokter. Beh mending jadi teknisi. Good dimana pun dan kapanpun."
"Dokter juga good dimana pun dan kapanpun tuh. Eh Adek kamu kemana Kak? kok gak ada?" Sinta bertanya dikarenakan sedari tadi ia tiba di rumah. Dirinya sama sekali tidak melihat keberaaan Laut.
Langit sedikit sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jika ia menjawab tidak tahu, bisa saja adiknya itu nanti kena marah oleh Ibunya. Karena dari dulu Sinta selalu mengajarkan kepada Laut untuk meberitahu kemanapun ia pergi kepada kakaknya. Tiba-tiba Langit menangkap siluet seseorang di pojok ruangan yang tengah berjalan menjauh dari mereka. Langit bisa menangkap bahwa siluet dari orang tersebut adalah adiknya.
"Bisanya dia di kamar jam segini Bu kalo gak percaya cek aja ke kamarnya," balas Langit. Hal apa yang dibicarakan oleh Ibu dan anak itu sebenarnya sedikit melukai hati orang lain yang tidak sengaja mendengarnya. Entah apa itu, untuk saat ini menahan dan bersikap selayaknya seperti biasa adalah hal yang harus dipertahankan saat ini.
...
Langit melangkahkan kakinya menuju kamarnya, setibanya didepan pintu ia mendapati pintu kamarnya terbuku. Dengan cepat Langit masuk ke kamar tersebut. Matanya pun mendapati adiknya yang tengah duduk di kursi belajarnya.
"Loh tumben lo ke kamar gw dek. Ada apa? ada masalah?"
Langit berjalan mendekati adiknya. Laut menoleh ke arah kakanya.
"Itu buat lo," kata Laut. Tangan kananya menujuk tas yang tergeletak di atas kasur.
"Loh, lo ngasih gua tas?"
Langit terduduk dipinggir ranjang, dan mengambil tas yang tergeletak disampingnya.
"Berat amat. Ini isinya apa dek?" tanya Langit yang tengah memegang tas tersebut.
"Buka aja kak."
Langit pun membuka tas tersebut namun dengan ceppatnya tas tersebut jatuh ke lantai. Langit sangat terkejut dengan apa yang berusan ia lihat.
"Lo dapet ini dari mana dek?" Langit memandang adiknya dengan tak percaya.
"Lo gak usah nanya deh. Lo butuh uang kan? Gua dah bilang kan bakal bantuin lo," ucap Laut. Mata hitamnya itu tampak sayu.
Hati Langit lag-lagi membatin, pikirannya tidak bisa menerima apa yang barusan diucapkan adiknya.
"Lo dapet uang banyak ini dari mana dek?"
Langit memperlihatkan tumpukkan uang dalam uang tersebut yang berwarna merah dan biru.
"Gua selama ini nyambi freelance kak. Wajar aja kalo gua dapet uang segitu. Lo kalo gak mau. Balikin uangnya sini. Gua masukin lagi ke tabungan."
Raut wajah yang terlihat kesal karena tidak puas jawaban dari adiknya. Langit pun berdiri dan menghampiri adiknya. Tanpa ragu, dia meraih kerah adiknya, mendorongnya dengan kasar ke pojok kamarnya.
"Gua tanya satu kali lagi. LO DAPET UANG SEBANYAK INI DARI MANA!?" Langit menatap adiknya tersebut dengan mata yang penuh kemarahan. Tatapan tajamnya menyiratkan amukan emosi yang menyala-nyala, seolah-olah api kemarahan itu siap membakar segala yang ada di hadapannya. Beruntungnya kamar Langit kedap suara. Sehingga hal bising dari dalam tidak dapat terdengar dari luar.
Seperti tidak takut akan hal yang didepannya. Laut hanya tersenyum. "Gua bilang kalo gua freelence. Gua mrogram kak, nulis jadi contenwriter, copywriter, nulis artikel dan gua juga ngedesain. Lo gak tahu kan kalo gua bisa itu semua?" ucap Laut dingin.
Amarah yang entah dari mana menguasai Langit, perlahan amarah tersebut mulai memudar. Sepertinya Langit terlalu terbawa emosi akan semua hal yang terjadi. Langit melepaskan cengkramannya.
"Ya, masa lo bisa dapet duit sebanyak ini," kata Langit seraya terduduk di kursi belajarnya. Matanya menyiratkan rasa bersalah.
"Ya gua freelance udah dari SMP kak. Itu tabungan gua selama ini."
Langit mendongakkan kepalanya dan melihat ke arah adiknya. Ia merasa bersalah akan hal apa pun yang tidak ketahui tentang adiknya.
"Lo kalo mau pake dulu aja uangnya buat nutupin dana himpunan yang kurang. Uang itu cukup. Gua ikhlas. Demi kesempunraan yang lo cari. Gua bakal ngelakuin apa pun," ujar Laut. Ia pun beranjak pergi dari kamar kakaknya dan meninggalkan kakaknya itu dengan keadaan yang entah lah. Sulit sekali dimengerti.
Keapala yang tertunduk kebawah dengan kedua lutur sebagai penopang, Langit menoleh ke arah tas di atas kasurnya. Ia pun berdiri dan mengambil tas tersebut lalu kembali membukanya. Dengan tatapan yang masih bingung Langit hanya bisa berpikir. Keputusan apa yang harus ia lakukan untuk solusi yang diberikan oleh adiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro