Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 3-Lenz

Langit tengah terduduk di atas sofa ruang tamu, didepannya terdapat meja kaca yang mana di atasnya tertumpuk tumpukan laporan yang perlu ia periksa. Jam besar yang menggantung di dinding bercat coklat muda itu berputar dengan cepat seakan menyatakan bahwa waktu adalah musuh yang siap menikam Langit kapan saja.

Remaja akhir itu yang merasa bahwa ada orang lain yang sedang berada di ruangan, sedikit menoleh ke samping. Indra penglihatannya mendapati adiknya yang tengah berjalan melewatinya dengan tas hitam tergantung di pundak kanannya.

"Oi! Dek!"

Laut menghentikan langkahnya, ia berbalik dan melihat Kakaknya yang masih berurusan dengan kertas putih.

Beban berupa kertas. Laut pun berjalan menghampiri Kakaknya.

"Apa?"

"Lo mau kemana?" Langit menyelonjorkan kedua kakinya yang sudah lama terlipat.

"Ke kampus."

"Bukannya gak ada kelas ya hari ini?"

Laut menghela nafas panjang, membiarkan nafasnya mengalir dengan tenang. Memandangi ruangan yang yang dipenuhi oleh tropi dan medali serta bingkai foto yang tercetak jelas wajah kakaknya.

"Mau ke perpus."

"Boleh nitip bawain laporan ini dan kasih ke Bagas? Gua jam satuan barusan bisa ke kampusnya. Soalnya nanti jam sembilan gua ada kumpulan bahas pkm terus sama mau lomba essay di gedung FMIPA." Langit tampak sangat berharap, berharap bahwa adiknya akan mengatakan iya akan keinginannya barusan. Menjadi mahasiswa yang aktif banyak hal, acap kali membuat Langit kesulitan dalam mengatur waktu. Namun, itu bukanlah permasalahan yang membuat Langit untuk mundur dari keinginannya. Menyempurnakan diri dengan meningkatkan kualitas dengan aktif dilihat banyak orang adalah hal sempurna yang saat ini ia inginkan. Terlebih lagi, diakui dengan wibawa dan kepandaian dalam berbicara.

Laut terdiam sebentar. Ia tengah berpikir. Ketemu anak himpunan? ribet. Walau memang kenyataannya Luat adalah salah satu dari anggota himpunan, tapi ia tidak terlalu peduli. Ikut himpunan hanyalah unsur dasar untuk dirinya bisa diterima dilingkungan sekitar jurusannya. Karena ikut himpunan adalah hal wajib.

"Dimana emang Bagas?"

"Dia di ruangan sekret lagian. Lo kesana aja." Langit berdiri, ia kemudian mengambil beberapa laporan dari tumpukan di atas meja itu.

"Nih." Langit menyodorkan laporan tersebut,"Bilangin ke Bagas, suruh dia ubah judul di laporan yang pertama sama rab nya di ubah di bagian perlengkapan."

Laut dengan malas mengambil laporan tersebut, lalu meletakkannya di dalam tasnya.

"Ya udah." Laut pun beranjak pergi, sebelum langkahnya keluar dari pintu utama, tiba-tiba namanya disebut lagi dengan suara yang tegas.

"Laut!"

Laut kembali menoleh, dan mendapati Ibunya tengah berdiri tak jauh dari Kakaknya. Wanita itu tampak mengenakan jas putih yang terlihat profesional dan berkilau, sambil melipat lengan jasnya yang panjang, Sinta mendudukan dirinya di tas sofa empuk itu.

"Sini kamu, Langit hadap ke Ibu." Sinta terlihat rapi dengan pakaiannya. Terlihat nametag di dada yang menampilkan gelar dan namanya Dr. med.Sinta Amanda, Sp.B.O.

Laut kembali melangkah mendekati mereka dengan rasa malas yang mengalir dalam darahnya. Dengan cepat Laut pun ikut terduduk di atas sofa di depan Ibunya.

Sinta melihat kedua putranya itu dengan tatapan datar. "Seminggu kedepan Ibu gak akan di rumah." Reaksi yang paling terkejut adalah Langit, wajahnya tampak rasa kekhawatiran."Tenang Langit, Ibu hanya ada tugas di rumah sakit diluar kota." Raut wajah Langit perlahan menjadi tenang.

"Jadi Ibu harap kalian bisa jaga diri ya untuk seminggu kedepan walau memang setiap hari Ibu gak ada di rumah. Tapi Ibu selalu mengecek keadaan kalian setiap malam." Kedua putranya itu hanya mengangguk tanda mengiyakan.

"Terutama kamu Laut, coba lah sesekali kamu bawa hal yang bisa dikenal banyak orang. Biar banyak orang tahu kalau kamu anak Ibu. Coba sesekali kamu lihat kakakmu. Dia bisa apa yang kamu gak bisa, dan kamu gak pernah bisa apa yang dia bisa," ucap Sinta. Suaranya terdengar tenang tapi menyayat. Seakan tidak peduli akan apa yang barusan diucapkan.

Langit jelas merasa bersalah akan apa yang barusan diucapkan oleh Ibunya. Ia menoleh ke arah adiknya. Wajahnya tampak biasa saja, seakan sudah terbiasa dibeda-bedakan oleh Kakaknya.

Jika diperhatikan, ruangan itu tampak ramai. Ramai akan hal yang dibawa oleh Langit ke dalam rumah tersebut. Bukan hanya sekedar tropi atau medali. Tapi ada beberapa bingkai yang di dalamnya terpampang berbagai sertifikat atas nama Langit Elard Emilio, bukan Laut Elard Emilio. Bahkan tidak ada sama sekali nama Laut.

Sejak kecil memang Langit suka ikut kegiatan kompetensi baik akademik maupun non akademik. Hobi paling utama bagi Langit adalah teknologi oleh sebab itu ia masuk ke jurusan Teknik Listrik. Sedangkan Laut? Ia hanya melakukan apa yang ia suka. Terutama membantu kesempurnaan yang sering dicari oleh Kakaknya. Menjadi bayangan

"Iya Bu, Laut bakal buat nama Ibu dikenal banyak orang karena Laut. Laut janji," ucapan itu lolos begitu saja dari mulut Luat. Langit tampak sedikit terkejut, jarang sekali adiknya itu membalas ucapan Ibunya dengan perkataan seperti itu.

Sinta yang mendengarnya hanya tersenyum tipis, lalu kedua bibir yang teroles lipstik merah muda itu terbuka, dan berucap"Buktikan." Sinta berdiri, wanita yang hampir berkepala lima itu melangkah pergi, sebelum itu Santi terlebih dahulu mengelus ujung kepala dari kedua putranya yang tengah terduduk bersebelahan lalu ia pun menjauh dan diakhiri suara mobil yang keluar menjauh dari rumah.

...

"Kau bayangin lah gimana perasaan gua dipalak dan ditanyain dana sama Kak Reno, apa gak pusing Gua jawabnya."

"Ya lo tolol berarti. Dibilang harus ngehindar dari Kak Reno si Hima banget itu."

"Harusnya lo lempar duit segepok ajak ke mukanya biar diem."

"Dia udah Demis kok suka kali make kemeja himpunan, mau hima dua peridoe apa dia?"

Tok-tok-tok

Suara ketukan pintu membuat obrolan itu menjadi hening. Seakan masing-masing tengah menahan nafas agar tak bersuara.

"Permisi," ucap Laut. Ia tengah berdiri di depan pintu sekret yang sedikit terbuka. Oleh karena itu, Laut sedikit mendengar obrolan yang dilakukan di dalamnya.

"Masuk aja."

Laut dengan perlahan membuka pintu usang itu, "Ada Bagas di dalam?" tanya Laut. Matanya memandang tiga manusia yang sama-sama tengah melihat dirinya balik dan Laut bisa melihat nama orang yang sedang ia cari.

Merasa namanya dipanggil, Bagas berdiri, "Apa Laut? Nyari Langit? Dia gak ada, belum datang," kata Bagas, mimiknya menggambarkan ragu untuk mengatakan lebih.

"Oh, enggak. Ini Gua nyari lo. Bentar." Laut segera melepaskan tasnya dari punggungnya. Bagas menatap bingung.

"Iyanya lo ini, suudzon aja udahan," ucap Saka diakhiri dengan kekehan.

"Lagi parno dicariin dia Laut hahaha," ucap Deo

"Diem lagi kalian ini!" balas Bagas.

"Biasa aja Medan!" ucap Saka dan Deo bersamaan.

Laut hanya tertawa kecil, ia pun menyerahkan laporan yang tadi diberikan oleh Kakaknya dan diminta untuk diberikan ke Bagas.

"Ini laporan yang sudah di cek sama Langit, dan katanya diminta suruh ganti judul dan rab pada perlengkapannya diubah juga ."

Bagas tampak tidak suka akan laporan yang tengah diberikan ke arahnya, dengan berat hati dia menerimanya. "Berat kali lah hidup awak ini. Sudah berkali-kali ganti judul buat progja seminar ini." Keluh Bagas, dia pun membuka laporan tersebut dan melihat hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki selain apa yang dibilang oleh Laut.

"Makasih kali Laut. Emang Kakak Kau kemana?"

Setelah menopang kembali tasnya di atas punggungnya. Laut melihat ke arah Bagas.

"Dia di rumah, nanti jam sembilan dia ada kumpulan pkm sama lomba essay di FMIPA, makannya laporannya dititipin ke Gua."

"Kasih saran lah Laut buat judul, kasian itu liat Bagas tampak depresi akan tanggung tugasnya. Kan lo juga anggota hima," ucap Saka seraya sedikit menyindir.

"Iya Laut, Bagas sudah terlalu berat menanggung semuanya sendiri." Kini Deo berucap sedikit mendramatiskan.

Laut menghela nafas dan memandang Bagas dengan penuh empati. Dia mengerti betapa besar tekanan yang sedang dirasakan akan tanggung jawab yang sedang dia terima. Karena Laut tahu, Bagas adalah anak rantau yang hidupnya sendiri.

"Unlocking the Potential of Renewable Energy: Innovations and Breakthroughs," ucap Laut.

Mereka bertiga terdiam, seakan berusaha menerima apa yang barusan diucapkan oleh Laut.

"Unlocking the Potential of Renewable Energy: Innovations and Breakthroughs."

Laut kembali berucap. Sebenarnya ia sudah membaca judul yang di dibuat oleh Bagas, dan memang tema yang dibuat untuk kegiatan seminar itu terlalu monoton terkait kata yang digunakan. Terlebih tema yang diangkat adalah energi terbarukan, hal yang masih baru bagi kebanyakan orang.

"Catat bodoh! Udah gak pinter bahasa inggris, belaga betul mau listening." Saka memukul kepala Bagas.

"Sakit bangsat. Gini-gini nilai toefl Gua lebih tinggi dari Kau!" balas Bagas. Dia pun segera mengambil tasnya dan mengeluarkan kertas serta pena.

"Beda lima pulu aja songong!"

"Yang penting lebih gede. Apa tadi Laut Unlocking the Potential of, of apa?" tanya Bagas. Tangannya seraya menuliskan kalimat yang barusan dia ucapkan dan,"Renewable Energy: Innovations and Breakthroughs," kata Laut meneruskan.

Bagas menulis dengan lengkap terkait judul yang diajukan oleh Laut. Bagas pun tersenyum puas. "Kan gini lebih keren, terima kasih Luat." Bagas menundukkan kepalanya seakan menyatakan rasa syukur akan apa yang diberikan oleh Laut.

"Lebay ya Bund ...." suara perempuan tampak terdengar dari belakang Laut, ia pun menoleh.

"Eh Gua kira Langit, ternyata Laut. Btw lagi apa kalian pada berdiri semua?" Tanya Risa. Sekretaris Himpunan itu menatap dengan tatapan menyelidik.

"Lagi mau mengungsi," ucap Deo.

"Mengungsi kenapa?" Risa tampak bingung.

"Dah lah, bodoh kali kau." Bagas pun memasukkan laporan di tangannya ke dalam tasnya, "Mending Kau masuk dan printin itu surat-surat." Bagas seraya menunjukkan printan yang terletak dipojokkan.

"Loh kok Gua?"

"Emang siapa lagi kalau bukan lo? Gua, Deo, ama Bagas mau ada kelas Metopen," ucap Saka.

"Siapa itu yang mau kelas metopen hah?! Gak jadi kelas! Bapaknya lagi di Luar!"

Kini Ananda datang bersama dengan Lisa di belakangnya.

"Waduh tumben Laut ada disini, ada apa gerangan Laut sedang kesini?" tanya Ananda.

Laut tampak jelas raut wajah yang sudah tidak nyaman berada di ruangan tersebut.

"Nganter Laporan ke Bagas. Ya udah ya Gua pergi." Laut pun dengan cepat beranjak menjauh dari mereka. Namun, ia berbalik dan mulutnya berucap, "Kalo ngobrol, pintunya jangan lupa ditutup." Laut pun akhirnya menghilang dibelokkan ujung.

•••
•••
•••

See u du Bagian-4!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro