Bagian 28-Dampening
"Lo kenapa gak ajak kami si kesini?" suara lembut itu keluar dari mulut Risa.
"Emang kami ini bukan temen Bagas ya Ngit?" tanya Deo.
"Bukan cuman lo doang kok yang kangen Bagas. Semuanya pada kangen," ujar Ananda.
"Walaupun Gua sama Bagas sering adu bacot, tapi hal itu yang kadang buat Gua kangen sama dia," kata Saka.
"Bagas juga pastinya bakal sedih liat lo dateng kesini tanpa kita orang," ucap Reihan.
"Kami semua disini temen Bagas Ngit, lo harusnya tahu hal itu," ucap Lisa.
Namun, langit terdiam mendengar kata-kata teman-temannya. Ia merasakan getaran kepedihan yang menghantam hatinya. Bagas, teman baik mereka, kini hanya bisa melihat mereka dari tempat yang sangat jauh.
Perlahan, langit mengangkat wajahnya. Tatapan matanya penuh penyesalan dan rasa bersalah. "Maaf, Gua terlalu naif untuk tidak mengatakan bahwa Gua sangat kangen dengan Bagas. Dan Gua terlalu egois untuk tidak peduli tentang kalian," balas langit dengan suara pelan.
Mereka semua pun akhirnya mengheningkan cipta, berdiri di depan makam Bagas, sahabat mereka. Satu per satu, mereka meletakkan bunga dan mengucapkan selamat jalan yang penuh rasa cinta dan kehilangan. Air mata tak tertahan lagi mengalir di pipi mereka, mencerminkan rasa sedih yang mendalam.
Atap yang mulanya biru, kini perlahan berubah menjadi abu-abu. Angin yang mulanya pelan, kini berhembus cukup kencang.
"Gas, Gua sama temen-temen berharap banget lo di sana bener-bener dalam keadaan baik. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik buat lo. Gua Langit, Saka, Deo, Reihan, Lisa, Ananda, dan Risa bener-bener bakal selalu ngejenguk lo. Karena lo adalah sebagian tinta yang masih membekas di masing-masing buku cerita kami. Gak ada hal yang bisa ngehapus lo dalam cerita kami. Dan dari Gua, Gua bener-bener bakal nemuin pelaku yang bunuh lo Gas," kata Langit dibarengi rintik hujan yang mulai turun.
...
Ruang tamu terlihat ada Sinta dan Rahadian, mereka tengah menonton TV seraya memakan beberapa cemilan. Langit dan Laut yang keluar dari kamar mereka masing-masing saling melempar pandang. Mereka seperti tengah ingin melakukan sesuatu. Dengan nafas yang sedikit berat mereka melangkah bersama.
"Ayah, Ibu," kata Langit.
Suami Istri itu menoleh bersama, dan melihat ke arah kedua anaknya.
"Iya? Tumben kalian bareng-bareng gitu? Sini-sini, duduklah," kata Rahadian, mengundang mereka untuk bergabung.
Langit dan Laut saling berpandangan sejenak, mencari dukungan dalam tatapan satu sama lain. Mereka tahu, saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan keinginan mereka.
Suasana di luar hujan lebat, suaranya terdengar cukup bising. Langit dan Laut mendudukan dirinya di hadapan kedua orangtuanya.
"Ada apa kalian?" tanya Sinta langsung.
"Bu, ada yang ingin kami tanyakan," kata Langit.
"Langsung aja, tahu kan Ibu gak suka namanya basa-basi," balas Sinta.
Untuk saat ini, baru kali ini Langit melihat ekspresi Sinta yang terlihat datar. Apa karena ada Laut di sebelahnya? Hal ini lah yang membuat dirinya penasaran sejak dulu.
"Maaf kalo Langit lancang nanya kaya gini Bu. Ibu dulu di pernikahan pertama ada masalah apa ya Bu?"
Untuk pertama kalinya selama dua puluh tahun Langit hidup, ia menanyakan hal ini. Karena hal ini, tidak pernah sama sekali Ibunya ceritakan.
Raut wajah Sinta tiba-tiba berubah menekuk, pandangannya tertuju kepada Laut.
"Laut, apakah penjelasan Ibu di rumah sakit belum cukup jelas?" tanya Sinta dengan nada tajam.
Rahadian terlihat melihat ke arah Istrinya, sedangkan Langit melihat ke arah adiknya. Hal apa yang mereka perbincangkan? Begitulah kira-kira yang berada di pikiran Rahadian dan Langit.
Laut yang mendengar pertanyaan Ibunya, ia hanya mengangguk sebagai balas, namun bibir yang tadinya rapat perlahan terbuka.
"Jika saya adalah alasan kalian bercerai? Kenapa hanya saya? Kan masih ada Kakak Bu," kata Laut pelan.
"Ibu lagi nggak mood untuk membahas ini," balas Sinta dengan nada yang menekan, seolah menutup pintu pembicaraan.
"Maaf, Laut. Tidak perlu diperbincangkan lebih lanjut mengenai hal ini," kata Rahadian dengan suara lembut. "Ibu selalu berpegang pada prinsip bahwa masa lalu adalah masa lalu, dan yang penting sekarang adalah memperbaiki masa depan."
Namun, Laut tidak bisa membiarkan pertanyaannya terlupakan begitu saja. Ia ingin penjelasan, ia ingin memahami mengapa hal ini terjadi.
"Tapi, jika masa lalu adalah sebuah pondasi dari masa depan, dan jika masa lalu itu buruk, berarti dapat merusak masa depan, karen masa lalu adalah pondasi dari masa depan, bagaimana, Yah?" ucap Laut dengan penuh keraguan. "Saya hanya ingin penjelasan, tidak lebih."
Laut memandang Sinta dengan rasa penasaran dan keingintahuan yang tidak dapat dibendung. Ia ingin memahami kenapa dan apa dibalik pernyataan bahwa dirinya adalah alasan kenapa Ibunya dan Suami pertamanya bercerai.
"Betul, Bu. Aku juga penasaran akan hal tersebut. Selama ini, aku tidak pernah menanyakan mengenai perbedaan perlakuan di antara kami berdua. Aku juga merasa ragu untuk membicarakan hal ini," tambah Langit dengan jujur.
"Sudah Ibu bilang, Ibu tidak berminat untuk membahas hal ini. Masa lalu Ibu terlalu hina untuk diceritakan kembali," jelas Sinta.
"Kalo masa lalu Ibu terlalu hina untuk diceritakan, berarti Saya adalah hal hina tersebut. Karena saya menjadi alasan dibaliknya masa lalu hina itu Bu?" kata Laut penuh akan pertanyaan dibenaknya.
Seperti terjadi letupan emosi yang meluap, Sinta melemparkan makanan yang ada di pangkuannya dengan kekuatan yang cukup besar. Suaranya meninggi, mencerminkan kekesalan dan frustasi yang terpendam. "Sudah kukatakan! Ibu tidak tertarik untuk membahas hal ini! Apakah kamu mengerti, Laut! Atau perlu Ibu melemparkan kata-kata kasar agar kamu mengerti!" seru Sinta dengan nada yang terdengar membara.
Langit, yang mendengar suara Ibunya yang tinggi, terkejut. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Ibunya marah sebegitu itu. Sementara itu, bagi Laut, tampaknya ia sudah terbiasa dengan reaksi Ibunya yang eksplosif. Tatapannya berubah menjadi datar, tetapi keinginannya untuk mendapatkan penjelasan tetap kuat.
"Bu, sederhana saja. Cukup jelaskan apa yang saya tanyakan," ucap Laut dengan penuh ketenangan.
"Sederhana saja, apakah kamu pernah melakukan apa yang saya minta untuk mencukur rambutmu? Bagaimana bisa Saya melakukan apa yang kamu minta jika kamu tidak mau melakukan hal sederhana seperti itu?" balas Sinta dengan nada tajam, mencoba membalikkan situasi.
Langit melihat interaksi antara ibu dan adiknya dengan hati yang berkecamuk. Ia merasa terjebak di antara keduanya. Rahadian hanya bisa melihat, sepertinya ia sudah faham akan watak istrinya. Jika saja ia ikut campur, mungkin ledakan lebih besar akan terjadi. Sementara Laut, tidak goyah dalam keingintahuannya. Sementara Laut, tidak goyah dalam keingintahuannya.
"Masa lalu Ibu gak sesederhana potong rambut Bu," bantah Laut.
Laut terkejut saat Sinta tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dan mendekatinya dengan langkah tegas. Dalam sekejap, satu tamparan keras meluncur dari tangan Sinta dan menghantam pipi Laut.
PLAK!
Suasana menjadi tegang dan terhenti sejenak. Langit menahan napas, terguncang oleh adegan yang tak terduga ini. Tatapannya memandang Ibunya dengan kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam. Rahadian, yang hanya bisa melihat kejadian itu, merasa tak berdaya di tengah ketegangan yang semakin meningkat.
"HARUSNYA KAMU GAK LAHIR!" pekik Sinta dengan keras, suaranya memecah keheningan ruangan.
Ledakan kata-kata tersebut mengejutkan semua orang di dalam ruangan. Langit terguncang oleh kekejaman ucapan Ibunya, dan Laut merasakan dadanya terhimpit oleh perasaan sedih dan kehilangan yang mendalam. Rahadian, terdiam dan terpaku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Langit, dengan kekuatan yang tersisa dalam hatinya, mencoba untuk menenangkan suasana yang semakin tegang.
"Ibu, kata-kata itu terlalu kejam. Langit, untuk saat ini seperti gak kenal Ibu. Gak seharusnya Ibu ngomong hal itu. Langit dan Laut itu saudara kembar Bu. Jika Ibu nggak mengharapkan adik lahir, berarti Ibu juga gak ngarepin Langit lahir," jelas Langit suaranya terdengar berat.
Rahadian yang masih terduduk ia berdiri lalu memeluk Ibunya, dengan pelan tubuh perempuan itu berada di dekapannya. Air hangat terlihat membasahi dada Rahadian. Sinta menangis.
Perihal apa yang diucapkan oleh Ibunya, membuat Laut terdiam. Keberanian untuk mengetahui perihal alasan, seketika runtuh mendengar pernyataan Ibunya. Ia kemudian berbalik, dan melangkah menjauh dari mereka. Langit yang melihat adiknya pergi, ia hanya bisa terduduk dalam kebingungan. Bukan hal ini yang ia harapkan terjadi.
"Bu, apa yang Ibu ucapkan tadi benar-benar membuat Langit terkejut. Ibu seharusnya menjelaskan dengan tenang, perihal apa yang ditanyakan Laut Bu," ucap Langit.
Rahadian masih mengelus punggung istrinya, tangisan istrinya masih terasa dalam dekapannya. Rahadian sebenarnya tidak terlalu tahu perihal masa lalu istrinya, bagianya masa lalu istrinya bukan hal yang perlu dibicarakan. Karena untuk saat ini memperbaiki masa depan adalah pilihan terbaik.
...
Air hujan yang jatuh dengan kuat menghantam tubuh Laut yang terlindung oleh jaket dan helm. Setelah mendengar pernyataan Ibunya, Laut memutuskan pergi dari rumah tersebut untuk menenangkan diri. Walaupun kakaknya sudah menahan adiknya untuk tak pergi. Laut memaksa dan akhirnya Laut diperbolehkan pergi walau sebelumnya Kakaknya ingin ikut bersamanya. Namun mengetahui bahwa luka yang diterima Langit belum sepenuhnya sembuh, hal tersebutlah yang menjadi alasan untuk Laut tidak membiarkan Kakaknya ikut.
Dalam kegelapan malam, sorot lampu depan motor menjadi penuntunnya. Batin Laut berputar seperti roda motor. Pikirannya hanya tertuju pada satu tempat, Padepokan Panti.
Setelah menempuh derasnya hujan, Laut sampai di depan padepokan. Dengan cepat ia turun dari motor, dan menaiki anak tangga dari kayu.
Tok-Tok-Tok
Laut mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati. Terdengar suara langkah kaki dari dalam yang mulai mendekat dan berakhir pintu terbuka.
"Ibu," kata Laut pelan, wajahnya basah dengan rambut yang terurai ke bawah.
Ibu Sutar tampak terkejut mendapati Laut datang ke tempatnya dengan cuaca hujan yang cukup lebat di malam hari.
"Laut, kenapa kamu kesini ujan kaya gini juga?" tanya Ibu Sutar dengan nada prihatin.
Laut menghela nafas, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum menjawab, "Maaf Bu, boleh Laut masuk dulu? Di luar dingin soalnya."
Ibu Sutar merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Dia membawa Laut menuju ruang tengah yang nyaman, ditemani oleh cahaya lembut dari lampu gantung yang memancar kehangatan. Ibu Sutar pergi ke ruangan di samping dan kembali membawa handuk tebal.
"Ini ambil, hangatin tubuh kamu dulu. Nanti Ibu cariin baju kamu yang tertinggal disini," kata Ibu Sutar, "Kamu ada masalah lagi di rumah?" tambahnya.
Laut menerima handuk dengan penuh terima kasih, menggosok-gosok tubuhnya yang basah.
"Di rumah ada masalah Bu, itu juga masalahnya karena Laut. Sepertinya lebih baik Laut selalu diam kalo di rumah, biar Laut gak sakit hati," kata Laut terdengar rapuh.
"Kamu sakit hati? Karena apa Laut? Cerita sama Ibu, sapa tahu Ibu ada solusi," kata Ibu Sutar berusaha menenangkan.
Laut terdiam sejenak, ia tengah berpikir, apakah harus ia menceritakan hal ini kepada Ibu Sutar? Atau ia alihkan topik permasalahan ini ke hal yang lain?
"Kalo kamu belum siap nyeritain masalah itu, bisa kamu ceritain kapan-kapan aja Laut, gak harus sekarang, bahkan nggak kamu ceritain juga gak papa," kata Ibu Sutar.
Laut menatap Ibu Sutar dengan tatapan ragu, berusaha mencari keberanian untuk berbagi beban yang ia pikul. Meskipun Ibu Sutar menawarkan opsi untuk tidak menceritakannya, Laut merasa terbebani jika tidak menceritakan masalah ini. Dengan pelan akhirnya Laut menceritakannya.
"Ibu di rumah, bilang kalo Laut gak seharusnya lahir, karena Laut kisah antara Ibu dan Ayah pertama kandas," ungkap Laut dengan suara yang perlahan tapi jujur.
Ibu Sutar terlihat terkejut, tapi dengan cepat ekspresi wajahnya diubah menjadi rasa khawatir.
"Laut, sepertinya apa yang Ibu tangkap terkait apa yang kamu jelaskan tadi awal. Mungkin ada sesuatu yang sepatutnya tidak kamu ketahui. Mungkin hal-hal yang nantinya akan Laut tahu, bisa bikin Laut sakit hati, seperti saat ini bukan? Dan sepertinya penjelasan dari Ibumu belum sepenuhnya selesai," kata Ibu Sutar dengan lembut.
Laut kembali terdiam setelah mendengar penjelasan dari Ibu Sutar. Ia menatap ke lantai kayu, pikirannya kembali berputar. Ibu Surat yang melihat gelagat Laut, ia melangkah kembali ke ruangan yang tadi, kemudian kembali lagi dan memberikan pakaian yang tadi ia bicarakan.
"Udah, lebih baik kamu mandi dulu. Nanti kamu sakit, soal masalahmu, biarkan hujan di luar yang melarutkannya," kata Ibu Sutar seraya menyerahkan pakaian Laut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro