Bagian 24-Impulsif
Ruang persidangan dipenuhi dengan atmosfer tegang saat cahaya redup dari luar menyelinap melalui jendela besar di belakang meja pengacara. Di kursi terdakwa, Reno, Senior Langit dengan wajah tegang dan tatapan yang tak menentu. Di sampingnya duduk seorang Kakek yang sudah renta, wajahnya dipenuhi kekhawatiran dan kesedihan yang dalam. Ruangan penuh dengan suasana pilu, seakan waktu berhenti sejenak untuk menyaksikan tragedi yang terjadi.
Hakim yang duduk di podium memandang serius ke arah kedua belah pihak. Penuntut umum dengan tegas mengambil posisinya, siap untuk menyampaikan kasus yang tak terbantahkan.
"Yang Mulia, terdakwa Reno telah melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan korban masuk ke rumah sakit. Pada pagi hari di jam setengah sembilan lewat di tanggal 12 September 2024. Reno melakukan serangan brutal dan pukulan keras di bagian belakang kepalanya. Bukti luka fisik sudah saya serahkan. Dan semua hal yang berkaitan dengan korban sudah saya serahkan juga."
Penjelasan tersebut terlontar dengan jelas dari mulut Rahadian ayah Langit yang sekaligus merupakan pengacara. Sinta tidak terlihat, dikarenakan ia harus bergegas pergi tadi malam ke kota lain, untuk menghadiri kegiatan di rumah sakit pusat.
Hakim mengangguk serius sebagai tanda bahwa ia memahami bukti-bukti yang disampaikan oleh penuntut umum. Suasana ruang persidangan semakin tegang, seakan-akan semua orang merasakan kepedihan dan ketegangan yang melanda.
Teman-teman Langit terduduk di kursi tamu dengan ekspresi yang penuh kekhawatiran. Mereka merasa terhimpit antara harapan akan keadilan dan kepedihan yang melanda. Dari kejauhan, dekat dengan pintu keluar, Laut berdiri tegak, matanya terfokus ke depan dengan tatapan datar.
"Bukti yang disampaikan oleh penuntut umum sangat jelas dan tak terbantahkan. Terdakwa Reno, tindakan kekerasan yang Anda lakukan terhadap Langit telah mengakibatkan luka dan membuat korban masuk ke rumah sakit. Saat ini, kami akan melanjutkan persidangan ini dengan mendengarkan saksi-saksi yang akan memberikan pandangan lebih lanjut tentang kasus ini," ungkap Hakim di podium.
Suasana di ruang persidangan semakin mencekam, seakan-akan udara menjadi semakin berat. Semua mata tertuju pada saksi-saksi yang akan memberikan kesaksian mereka, sementara Langit yang berada di rumah sakit, berjuang untuk pulih dari luka-luka yang dialaminya.
Laut berjalan dari arah pintu keluar, Ananda, Deo, Saka, dan Risa berdiri dari tempat duduk.
Mata Hakim dan pengacara terdakwa tertuju pada kelompok saksi yang berdiri dengan tegar. Ruang persidangan kembali terdiam, seakan waktu berhenti sejenak untuk menyaksikan momen penting ini.
"Saudara Laut, Ananda, Deo, Saka, dan Risa, mohon sampaikan kesaksian Anda mengenai kejadian yang terjadi pada Langit. Berikan pandangan dan fakta yang Anda ketahui agar kami dapat memahami dengan lebih jelas kronologi dan motif di balik tindakan kekerasan ini," ujar Hakim seraya melihat kertas di tangannya.
Ananda, dengan raut wajah serius, mulai memberikan kesaksiannya dengan hati yang penuh kejujuran. Dia menjelaskan apa yang dia saksikan pada saat kejadian, memaparkan detail-detail yang kuat dan memberikan sudut pandang yang berharga.
Deo menyusul dengan pengisahan yang menggugah emosi, menggambarkan dampak yang dirasakan oleh Langit dan keluarganya setelah serangan tersebut terjadi.
Saka, dengan penuh keteguhan, memberikan perspektifnya sebagai saksi yang berada di dekat Langit ketika kejadian tersebut terjadi. Ia menyoroti tindakan Reno dan bagaimana itu mempengaruhi kesehatan Langit.
Risa, dengan sikap yang penuh ketegasan, mengungkapkan pengetahuannya tentang hubungan antara Reno dan Langit sebelum tragedi ini terjadi. Ia memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang situasi dan potensi motif di balik tindakan kekerasan tersebut.
Selanjutnya adalah Laut, yang kini menjelaskan hanya dengan tiga kalimat saja. Suaranya terdengar berat dan cukup datar.
"Reno yang merupakan senior kami adalah seorang yang memiliki emosional yang tinggi. Karena kebodohan dan kegegerannya merasa tertuduh sebagai pelaku pembunuhan, ia tanpa pikir panjang menyerang Kakak saya. Beruntung, sebelum kejadian berlebih saya datang dengan cepat," ujar Laut tatapannya tajam.
...
Setelah melalui serangkaian persidangan yang panjang, akhirnya putusan dijatuhkan. Ruang persidangan dipenuhi dengan hening yang terasa menggantung, seolah-olah waktu berhenti sejenak untuk menanti keputusan yang akan mengubah nasib Reno.
Hakim, dengan suara tegas dan penuh keputusan, mengumumkan hasil pembacaan putusan.
"Hadirin yang terhormat, setelah mempertimbangkan dengan seksama bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan ini, pengadilan memutuskan bahwa terdakwa Reno dinyatakan bersalah atas tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka pada korban Langit. Berdasarkan pasal 351 KUHP, terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama tujuh tahun."
Suasana ruang persidangan langsung berubah. Tersangka Reno, dengan wajah penuh keputusasaan, menunduk dan merasakan beban hukuman yang ditimpakan kepadanya. Teman-teman Langit terlihat gembira akan keputusan yang diberikan oleh Hakim.
Polisi yang berada di ruangan tersebut segera membawa Reno keluar dari persidangan menuju jeruji besi. Reno terlihat pasrah akan keadaannya. Biarkan penjara menjadi tempat penyesalan untuk dirinya.
Terlihat Polisi Ali berjalan menghampiri Rahadian dan menyalaminya.
"Terima kasih untuk bantuannya Pak," kata Rahadian.
Polisi Ali menunjukkan sikap rendah hati, "Itu sudah kewajiban Saya. Beruntung juga kamu punya anak yang berani seperti Laut."
Rahadian terkejut dengan kata-kata Polisi Ali, "Loh, Bapak kenal anak saya?"
Polisi Ali tersenyum, "Tentu, dia orang pertama yang membantu saya saat menangani kasus di kampusnya."
"Syukur anak saya bisa membantu."
"Terus, gimana keadaan Langit? Apa dia baik-baik saja?" tanya Polisi Ali.
"Untuk saat ini sudah mulai membaik, Langit sedang dalam tahap pemulihan," jelas Rahadian.
"Bagaimana rasanya memiliki anak kembar Pak? Kelihatannya mereka berdua saling melengkapi."
Rahadian terlihat terdiam sebentar, lalu dengan cepat ia menjawab, "Cukup susah sebenarnya, hanya saja ini sudah menjadi tanggung jawab. Jadi harus dijalankan."
Polisi Ali tampak terkekeh pelan, "Cukup menarik jawabanmu Pak."
"Ngomong-ngomong anak Bapak ada berapa?" tanya Rahadian.
Polisi Ali menatap jauh ke kejauhan sejenak seolah merenung, "Saya sempat memiliki seorang anak, akan tetapi itu dulu."
Rahadian terlihat terkejut, "Dulu? Maksudnya gimana Pak?"
Polisi Ali merasa terdiam sejenak, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Namun, sebelum dia bisa menjawab, suara seorang bawahannya memecah keheningan mereka.
"Permisi Pak Inspektur," ucap seorang anggota polisi dari belakang Polisi Ali.
Polisi Ali berbalik menghadap bawahannya, "Ada apa, Surya?"
Surya menyerahkan secarik kertas kecil kepada Polisi Ali. "Ini adalah berita terkini tentang kasus lain yang harus kita tangani, Pak. Mereka membutuhkan kehadiran Anda segera."
Polisi Ali mengangguk serius, menyadari bahwa tugasnya sebagai seorang polisi tidak akan pernah berakhir. "Terima kasih, Surya. Berikan kabar kepada mereka bahwa saya akan segera bergabung."
Rahadian melihat interaksi antara Polisi Ali dan bawahannya dengan perasaan campur aduk. Ia menyadari bahwa Polisi Ali memiliki tanggung jawab yang besar dan harus siap menangani kasus-kasus lain yang membutuhkan perhatian dan kehadirannya.
"Terima kasih atas segalanya, Pak Ali," kata Rahadian dengan tulus. "Semoga Anda sukses dalam tugas Anda dan tetap menjaga keadilan."
Polisi Ali melihat Rahadian dengan penuh apresiasi. "Terima kasih, Pak Rahadian. Saya akan terus berusaha memberikan yang terbaik dalam menjalankan tugas ini. Semoga Anda dan keluarga mendapatkan kebahagiaan dan pemulihan yang mereka butuhkan."
Dengan senyuman hangat, Polisi Ali berpisah dengan Rahadian. Dia mengikuti bawahannya menuju pintu keluar persidangan.
...
"Akhirnya senior beban itu hilang dari kehidupan kita!" seru Saka tampak senang.
Deo menggelengkan kepala sambil menyelipkan komentar, "Masih ada senior-senior yang lain bego."
"Yang penting kan, yang ngeselin udah gak ada," balas Saka.
"Bacot lo, mana buah-buahan yang tadi di beli?" tanya Ananda.
"Sialan! Di mobil Risa masihan," balas Saka dengan nada kesal.
Mereka saat ini tengah berjalan menuju ke ruangan Langit di Rumah Sakit. Risa yang mendengar ucapan Saka, ia mendelik tajam.
"Ada aja masalah yang lo lakuin," cibir Risa, "Nih kunci nya, ambil sana," lanjutnya melemparkan kunci mobil ke Saka. Saka pun menerimanya dan langsung lari menuju parkiran dan yang lain melanjutkan langkahnya menuju tempat Langit.
Setibanya mereka di depan ruangan dimana Langit di rawat, mereka pun masuk dan melihat Suster yang menjaga di ruangan tersebut sedang melihat-lihat keadaan Langit. Menyadari ada tamu yang akan datang, Suster tersebut yang merasa sudah selesai akan tugasnya lalu beranjak keluar ruangan.
"Aduh, Kahim masih terlihat lemas," kata Deo dengan nada prihatin sambil menempati salah satu kursi di ruangan.
Langit yang menyadari kehadiran temannya, segera ia memposisikan diri agar terlihat nyaman untuk menjawab obrolan yang akan datang.
"Kepala lo udah sehat? Kok perbannya udah di lepas?" tanya Ananda.
"Udah, tadi pagi dilepasnya. Gua yang minta. Soalnya Gua udah risih," jelas Langit.
"Kita disini, sebenarnya juga mau ngebahas hal yang pengen lo bahas Lang," ungkap Risa.
"Tapi, lo udah baikan belum si?" tanya Risa dengan kekhawatiran yang tergambar jelas di wajahnya.
"Udah, Gua tinggal masa pemulihan," balas Langit.
"Ya udah deh, ada dua hal yang pengen kami bahas disini," ujar Risa
"Yang pertama, kita orang pengen tahu hal apa yang pengen lo bahas tentang konser sebelum kejadian sama Kak Reno itu terjadi," sambung Deo.
"Dan yang kedua, pelaku pembunuhan Bagas ini siapa? Kelanjutannya gimana? Anyem gini masaan," timpal Ananda.
Langit menatap mereka satu per satu, menghela napas sejenak sebelum memberikan jawabannya.
"Tulus kan bakal dateng kurang lebih seminggu lagi. Gua mau tanya sama kalian, urusan semua tentang konser ini udah berjalan lancar selama Gua di rumah sakit?"
"Aman Bos! Karena duit pasti semua masalah bisa selesai," ujar Saka yang sudah masuk ke dalam ruangan, lalu ia meletakkan buah-buhan di atas meja. "Ngobrolnya sambil makan buah, biar makin seger," tambahnya sambil menggigit satu buah apel.
"Eh, bego! Itu buat Langit," seru Deo sambil mencolek sisi tubuh Saka, menunjukkan bahwa buah-buahan itu seharusnya untuk Langit yang sedang dalam masa pemulihan.
"Emang bego si Saka ini, sebelas duabelas sama Bagas," seru Ananda.
"Huss... Dah, masuk ke topik pembicaraan. Semua hal udah aman Lang. Terus apa masalahnya soal konser ini?" tanya Risa.
"Jadi pas itu, Tulus udah nyiapin empat lagu yang bakal di nyanyiin. Dan salah satunya kita bisa request," jelas Langit.
"Request?" tanya Saka memastikan. "Kalo iya, itu aja lagunya dia yang judulnya, Hati-Hati Langit," lanjut Saka.
"Emang kudu digeplak kepalanya," Deo memukul kepala Saka si empu meringis kesakitan.
"Sakit dancok!" seru Saka.
"Ya lo, main-main terus," balas Deo.
"Loh, emang omongan Gua bener," tukas Saka.
"Hati-Hati di Jalan yang bener," ujar Deo.
"Yaelah, Maaf, cuman salah di kata terakhir," jelas Saka.
"Udah! Lo dua mending diem!" cecar Risa yang sudah panas.
Mereka berdua pun akhirnya terdiam, mendengar suara tinggi dari Risa.
"Sebenrnya gak ada masalah si, Gua cuamn pengen ngobrol lebih lanjut aja sam kalian. Reihan sama Lisa kemana?" tanya Langit yang tidak mendapati Reihan dan Lisa disekitarnya.
"Biasalah mereka, ada projek sama Dosen Komputer," jawab Ananda.
"Yaudah, kita lanjutkan obrolannya. Ada hal apa yang ingin kalian bicarakan?" tanya Langit.
"Soal kasus Bagas ini jadi anyep kek bubur dingin," ujar Risa.
"Iya njir, jangan-jangan pelakunya dari luar kampus lagi," ujar Deo.
"Gini deh." Saka terlihat berusaha dominan, "Kita simpulin dulu informasi yang kita tahu, soal ciri-ciri pelaku," lanjutnya.
"Pelakunya kidal," ujar Risa.
"Jago di bidang kesehatan," sambung Deo.
"Punya luka di badannya," sambung Langit.
"Ha?" Ananda terlihat cengo mendengar pernyataan Langit, "Luka? Luka di badan?" tanyanya.
"Si bego satu ini juga masa gak tahu si? Bukannya semua udah pada tahu ya?" ujar Saka.
"Waktu itu kan si Ananda makan Buah naga sendirian di dapur, makannya dia gak tahu obrolan kita," kata Deo.
"Pantes, bego," kata Saka.
"Dih, najis banget," balas Ananda.
"Udah lanjut, Polisi yang introgasi lo gimana Ka? Datengin atau nemuin lo disini?" tanya Risa.
"Enggak pernah ada polisi yang dateng kesini. Mungkin Ayah Gua yang jadi perantara," jelas Langit.
"Bisa jadi si," kata Risa.
"Eh, Gua pergi duluan ya. Ada urusan," kata Ananda tiba-tiba.
"Urusan apa lo?" tanya Saka.
"Urusan masa depan," jawa Ananda ketus.
"Kek punya masa depan aja kali," timpal Deo.
"Mulut lo si, gampang banget ngomong," balas Ananda.
"Ya udah deh pegi lo," kata Saka.
"Emang laki yang disni gak ada yang bener, kecuali Langit," seru Ananda dan beranjak keluar dari ruangan.
Setelah keluar dari ruangan Ananda tersentak kaget mendapati seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Tubuh yang lumayan tinggi itu, menatap datar ke arah Ananda yang tingginya hanya sebatas pundak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro