Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 23-Fluktuasi

Saat matahari mulai merangkak naik, langkahnya terlihat pelan ketika menginjak rerumputan hijau yang terbentang di lapangan luas. Suara air mengalir terdengar pelan dari kejauhan. Dengan perasaan ingin ditenangkan, Laut berjalan dengan tatapan datar.

Dari kejauhan, seorang anak perempuan berlari cukup kencang, Laut yang melihatnya seketika langsung merubah ekspresinya. Senyum ia paksa melingkar di wajahnya.

"KAK Laut! Lama bangett ih perginya..." seru Ayu dengan suara ceria, sambil terengah-engah mencapai Laut. Dia berhenti di depannya.

Ayu, salah satu anak dari panti asuhan yang selalu menjadi tempat penenang bagi Laut, berlari dan memeluknya.

Laut tersenyum lembut, hatinya terasa ringan. "Maaf ya Ayu, Kakak tadi ada urusan mendadak. Gimana bakar-bakarnya, udah sampe mana?" tanyanya.

"Belom sampe mana-mana," ungkap Ayu.

"Loh, kok belum sampe mana-mana?" tanya Laut.

Mereka pun berjalan beriringan, dengan tangan Laut memegang tangan Ayu.

"Iya, soalnya Aku gak mau, kalo Kak Laut gak ada. Jadi belum di mulai deh."

Laut hanya bisa tersenyum menimpali, ia bisa menangkap beberapa anak yang terdudk dengan buku yang berserakan di atas karpet yang tergerai di bawah pohon.

Hari ini, mereka tengah mengadakan kemah kecil-kecilan di belakang panti, yang mana tempatnya cukup luas untuk melakukan kegiatan tersebut. Sebenarnya, Laut sudah tiba sejak pagi, namun hatinya gelisah dan merasa bahwa ada sesuatu yang akan terjadi pada Kakaknya. Oleh karena itu, ia buru-buru pergi ke kampus, dan beruntung waktu masih memihak padanya sehingga ia masih bisa membantu Kakaknya.

Ibu Sutar, pemilik panti yang melihat Laut mendekat, segera menghampiri. Dengan raut wajah khawatir, Ibu Sutar bertanya, "Gimana tadi? Kamu gak papa? Wajahmu kok lesu gitu, ada masalah?"

"Gak papa, Ibu. Aman kok," ujar Laut sambil mendudukkan dirinya di atas batu besar. "Ayo, kita lanjutin bakar-bakarnya. Lagian, kenapa kok nunggu Kakak gitu?"

Ibu Sutar menjelaskan, "Itu si Ayu, udah dikasih tau kalau kamu bakal nyusul. Tapi dia gak mau, jadinya mereka semua pada nunggu kamu."

Laut menatap Ayu lalu berkata, "Ayu, kasian teman-temanmu udah laper nih."

Ayu menjawab dengan muka sedikit cemberut, "Isss, kok aku yang disalahin. Kasian juga, Ibu Sutar kalo ngipas-ngipas sendiri. Lebih baik kita nunggu Kak Laut aja. Kak Laut kan badannya udah gede."

Sementara mereka berbincang, Ibu Sutar memperhatikan seseorang yang mendekat dari belakang Laut. Dengan wajah penuh keheranan, Ibu Sutar bertanya, "Laut, itu di belakangmu temanmu?"

Laut berbalik dan melihat sosok yang mendekat. Ia cukup terkejut, menyadari siapa teman yang dimaksud Ibu Sutar.

"Permisi, Ibu," suara pelan itu terucap dari mulut Ananda, saat ia menyalami punggung Ibu Sutar dengan penuh sopan.

"Wah! Ada Kak Ananda, ih kak Laut kok gak bilangg sii kalo ada Kakak Cantik," seru Ayu berdiri dan menghampiri Ananda.

Laut menatap Ananda dengan keheranan. "Kenapa lo kesini?"

"Emang gak boleh ya Kak Laut, pacar sendiri kesini?" timpal Ayu menanggapi.

Ananda tersenyum mendengar komentar Ayu. Dia menjawab dengan nada pelan, "Ayu, kita hanya teman baik. Aku datang ke sini karena penasaran."

"Penasaran kenapa Kak?" tanya Ayu bingung.

"Ada deh," kata Ananda seraya mencubit hidung Ayu, "Eh Ibu, maaf lupa ngenalin diri. Sebelumnya Saya Ananda, teman Laut di kampus." Ananda tersenyum ramah kepada Ibu Sutar.

"Waduh, Ibu baru kali ini liat ada temen Laut yang dateng kesini," ujar Ibu Sutar.

Ananda hanya tersenyum, lalu ia melirik ke arah Laut yang melihatnya cukup tajam. Tanpa pikir panjang Ananda mengikuti alur kegiatan tempat yang sedang ia singgahi.

Berbeda dengan Laut yang masih terkejut dengan kehadiran Ananda. Namun, dengan sikap datarnya ia berusaha bersikap biasa-biasa saja. Walau nyatanya, ia sedikit risih akan kehadiran perempuan satu ini.

...

Mata yang terpejam perlahan terbuka, dan Langit dengan lelah melihat sekeliling ruangan. Dia merasakan nyeri di seluruh tubuhnya, seperti ada beban yang menghimpit. Langit mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, dan lambat laun ingatannya kembali.

Bayangan serangan brutal yang dilemparkan oleh seniornya itu muncul dalam benaknya. Dia mengingat bagaimana kerasnya pukulan yang menghantam kepala belakangnya. Sekarang, dia merasakan efek dari kejadian tragis tersebut. Nyeri, kembali menyerang kepalanya yang terperban.

"Kak, kamu udah bangun?" suara lirih itu terdengar tampak rapuh. Langit melirik ke arah samping dan mendapati Ibunya yang tengah terduduk di atas kursi di samping.

Pandangan Langit terasa sayu saat melihat ibunya yang tampak lelah dan khawatir. Dia bisa melihat bekas air mata di wajah ibunya.

"Bu," bisik Langit dengan suara serak. "Adek dimana?"

Sinta diam sebentar, lalu menjawab, "Adikmu ada di rumah," ungkapnya.

Langit merasakan kelegaan mendengar bahwa adiknya berada di tempat yang aman. Namun, rasa cemas tetap menghantuinya. "Apa dia baik-baik saja, Bu? Apa yang terjadi padanya?"

Sinta menggenggam tangan putranya. "Dia baik-baik saja Kak, udah kamu gak usah pikrin adik kamu. Pikirin dulu kamu yang sekarang."

Langit hanya mengangguk, ia pun berusaha menyandarkan dirinya ke sanggahan tempat tidur. Sinta yang melihatnya merespon dengan cepat.

"Bilang Ibu, kalo mau nyender, kan bisa Ibu bantu."

Sinta pun membantu anaknya untuk menyandarkan diri, dengan hati-hati Langit mendapatkan posisi yang diinginkan.

"Makasih, Bu," ucap Langit dengan suara lemah. "Sekarang jam berapa?"

Sinta melihat ke arah jam di dinding. "Jam dua siang," ujarnya.

Langit terkejut, merasa bahwa waktu berlalu begitu cepat. "Kok cepat banget Bu, bukannya tadi masih pagi ya?"

Sinta menjelaskan dengan penuh perhatian, "Kamu pingsan tadi saat di jalan. Dan barusan kamu baru saja sadar."

Langit memandang ibunya dengan rasa kebingungan. "Kok aku bisa pingsan, Bu?"

Sinta menarik napas panjang sebelum menjawab. "Benturan di belakang kepalamu menyebabkan kamu kelelahan. Beruntung tidak ada luka serius. Jika ada pun, Ibu bakal marah dan menghajar siapa pun yang bertanggung jawab atas keadaan anak ibu jadi seperti ini." Sinta terlihat marah dan meluapkan kekhawatirannya.

"Beruntung adek dateng. Kalo gak dateng makin parah Langit Bu," ungkap Langit.

Sinta tampak tak menanggapi, ia seakan tak ingin membahas topik tersebut.

"Ibu, besok harus ke pengadilan," kata Sinta tiba-tiba, mengubah arah pembicaraan.

Langit mendengarnya dengan hati yang berdebar. Ia merasa campur aduk dengan situasi yang ada. Bagaimana permasalahan seperti ini bisa tiba-tiba datang menimpa dirinya? Apakah ini akibat dari obsesi dan pengejaran kesempurnaan yang selalu menguasainya? Meskipun begitu, Langit menyadari bahwa apa yang ia lakukan saat ini adalah tanggung jawab yang harus ia jalani, walaupun pada akhirnya melibatkan banyak orang.

"Ibu harap seniormu itu dihukum seberat-beratnya," kata Sinta tegas, "Tidak ada alasan untuk bertindak dengan kekerasan dan melukai orang lain. Seniormu harus bertanggung jawab atas tindakan mereka."

...

"Ananda kemana, Ka?" tanya Deo menghampiri Saka yang terduduk di warung seberang Rumah Sakit dengan segelas es teh di depannya.

Saka menghela nafas, pandangannya terfokus ke seberang jalan. Ia merenung sejenak sebelum menjawab, "Gak tahu, tadi dia pergi. Cuman gak tahu pergi kemana."

Deo mengangguk mengerti, ia duduk di kursi depan Saka. Rasa penasaran pun terpancar dari wajahnya. "Terus, dia belum balik?"

Saka menggelengkan kepala dengan lesu. "Belum," ujarnya singkat, matanya terus terpaku pada pemandangan seberang jalan.

Deo memperhatikan ekspresi Saka. Ia penasaran dengan apa yang dilihat oleh temannya tersebut. "Lo ngeliatin apa, Ka?"

Saka tersenyum tipis, tetapi matanya masih tetap terfokus. "Ngeliatin burung hantu."

Deo memutar kepala dan melihat ke arah yang sama. Ia mencoba mencari jejak apa yang disebutkan oleh Saka, tetapi tidak ada tanda-tanda burung hantu ataupun kehadiran makhluk lainnya. Kekecewaan terpancar dari wajahnya. "Gak ada njir," serunya.

Saka hanya tersenyum dan menjawab dengan santai, "Namanya juga hantu."

Deo mengerutkan dahi dengan jawaban sederhana Saka. Ia mencoba mengerti maksud di balik kata-kata tersebut. "Bangsat!" ujar Deo setelah mengerti maksud Saka.

"Hahahaha." Saka terkekeh pelan, "Dari mana emang lo?" lanjutnya.

"Kantor polisi lah," balas Deo.

"Loh, Risa dimana?"

"Masih di ruangannya Langit."

"Udah tenang ya disana?"

"Tenang? Maksud lo?"

Saka terdiam, ia menyadari bahwa kejadian pertengkaran antara Laut dan Ibunya hanya diketahui oleh dirinya dan Ananda. Mungkin untuk hal ini tidak patutnya ia ceritakan.

"Udah tenang kan disana? Soalnya tadi Ibunya Langit nangis. Makannya Gua kebawah."

"Ooo ... Udah tadi mah. Kita dua dateng tak kira kalian di usir. Soalnya cuman ada Ibunya ama Ayahnya."

Saka sedikit terkejut mendengar penjelasan Deo, "Ayahnya ada di sana? Bukannya gak ada ya?"

"Makannya gak usah ninggalin temen pas lagi susah. Jadinya lo gak tahu kan. Intinya pas kami dateng Ayahnya ada disitu. Cuman beberapa menit kemudian Ayahnya pergi mau ke kantor polisi. Tahu sendiri kan Ayahnya Langit pengacara," jelas Deo panjang.

"Tapi kalian gak tahu, kalo bapaknya Langit itu bapak tiri,"batin Saka.

Sebenarnya dari mereka tidak ada yang tahu perihal kenyataan bahwa Ayahnya Langit adalah ayah tiri, bukan ayah kandung. Jadi untuk saat ini, hanya Saka dan Ananda yang tahu.

"Gua yakin si, si Reno itu bakal di penjara," kata Saka.

"Sebenarnya juga semua ini gara-gara lo Ka," ujar Deo. "Kalo lo pengen tahu, si Risa tuh ngumpatin lo selama kita dua di kampus buat ngurus tuh senior bangsat," lanjutnya.

Saka mengernyitkan dahinya, lalu terdiam. Perasaan kembali campur aduk, seperti fluktuasi yang terjadi pada tegangan yang meningkat. Ia juga semakin merasa bersalah akan hal yang menimpa Langit, beruntung ada Laut yang tiba dengan cepat. Namun, jika dipikir-pikir bagaimana Laut bisa tahu dan datang ke tempat pertemuan antara Langit dan Kak Reno?

...

"Lo suka ya, jadi tamu yang datang tanpa undangan," ujar Laut seraya melihat anak-anak panti yang bermain air di sungai kecil.

Ananda menoleh ke arah Laut, ia tersenyum lalu membalas, "Emang gak boleh ya?"

"Enggak," balas Laut ketus.

"Hidup lo itu menarik," ujar Ananda.

Laut mengangkat alisnya, "Omongan lo selalu sulit dimengerti."

"Emang kita sering ngomong? Kok ada selalunya?"

"Entah."

"Gua boleh nanya sesuatu?" Ananda terlihat serius.

"Iya."

" Maaf ya sebelumnya. Lo sama Ibu lo emang gak akrab ya?" tanya Ananda berusaha hati-hati dengan pertanyaanya.

Laut terlihat diam beberapa saat membuat Ananda merasa pertanyaanya tidak patut ia tanyakan.

"Maaf kalo pertanyaan Gua buat lo gak nyaman," kata Ananda pelan.

Laut menatap Ananda dengan penuh pemikiran, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menjawab dengan suara yang lembut, "Gak apa-apa. Mungkin lo kaget liat kejadian tadi."

"Sejujurnya, hubungan antara Gua dan Ibu memang agak rumit," ujar Laut perlahan. "Tapi ternyata rumit bener," lanjut Laut.

Ananda mendengarkan dengan seksama, memberi Laut ruang untuk berbagi.

"Jadi secara gak langsung Ayah lo yang sekarang bukan ayah kandung?" tanya lagi Ananda.

"Iya."

"Jadi tempat ini adalah tempat pelampiasan lo?"

"Iya."

Ananda merenung sejenak, mencoba memahami perasaan yang Laut rasakan. Kemudian, ia menambahkan, "Gua kira, kesempurnaan yang dimiliki oleh Kakak lo Langit, juga bakal ngalir ke adiknya. Ternyata Gua salah. Kalian gak seimbang," ungkap Ananda menilai. "Bayangan," tambahnya.

Laut tidak merespon akan pernyataan Ananda, ia juga sebenarnya tidak terlalu peduli dengan obrolan ini. Baginya, untuk saat ini menenangkan diri adalah pilihan terbaik. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan tangis dari anak panti yang tengah bermain air. Laut yang mendengarnya segera berdiri dan berlari menghampiri.

Tanpa ragu, Laut dengan sigap membopong anak laki-laki bernama Joko ke daratan. Ia meletakkannya dengan lembut dan menaruh kakinya di atas sebatang pohon kering untuk memberikan posisi yang nyaman. Laut melihat luka yang muncul, bagian telapak kaki Joko mengeluarkan darah yang cukup banyak.

"Nda, tolong ambilin kotak P3K Gua di tas yang Gua senderin di bawah pohon itu," ujar Laut sambil meminta bantuan kepada Ananda.

Ananda segera bergerak cepat dan mengambil kotak P3K yang diminta Laut. Ia membawanya ke Laut dengan hati-hati.

Laut membuka kotak P3K dengan terampil dan mengambil perban serta peralatan lain yang diperlukan. Dengan teliti, ia membersihkan luka pada telapak kaki Joko dan menghentikan pendarahan dengan membalutnya dengan perban yang steril.

Sementara itu, Ananda yang melihat kejadian tersebut, terkagum-kagum akan keterampilan dan keahlian Laut dalam memberikan pertolongan. Ia menyadari bahwa Laut seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, menunjukkan bahwa ia telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup dalam hal pertolongan pertama.

Ketika Laut selesai merawat luka Joko, mereka berdua mengangkatnya dengan hati-hati dan memberikan dukungan pada Joko saat mereka berjalan menuju panti. Setibanya si Padepokan Panti, Ibu Sutar terlihat terkejut mendapati salah satu anak asuhnya terluka.

"Ya Allah Gusti Nu Agung, kok bisa si Joko," ujar Ibu Sutar panik.

Laut dengan tenang menjawab, "Udah, Ibu. Ini juga sudah aman."

Ibu Sutar melihat keadaan Joko, memastikan bahwa luka tersebut sudah ditangani dengan baik oleh Laut. Ia merasa lega melihat bahwa anak-anak panti yang lain aman.

"Ibu kadang suka heran sama Kamu, punya keahlian di bidang kesehatan tapi kok masuknya jurusan teknik," ungkap Ibu Sutar seraya melihat luka di kaki Joko.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro