Bagian 19-Router
Dengan langkah mantap, Ananda melangkah masuk ke dalam ruang dapur yang diliputi oleh embun dari luar, terlihat dari kaca pembatas yang sedikit basah akibat hujan. Ruangan itu menyambutnya dengan sinar matahari sore yang remang melalui jendela, menciptakan semburat keemasan yang melintas setiap sudutnya.
Dalam kepalanya, Ananda memikirkan sepotong buah yang ia bawa, sebuah buah naga yang menakjubkan dengan kulit merah menggoda. Buah itu menerangi Seperti permata yang tersembunyi di dalam gua yang gelap, buah naga itu memancarkan aura eksotis yang menjanjikan rahasia tak terungkap.
Mata bulat itu melirik ke segala arah, guna mencari benda tajam yang akan ia gunakan. Langkahnya tertuju ke arah rak piring kaca yang tertempel di atas wastafel, lalu Ananda membuka rak piring tersebut. Kakinya berjinjit, kepalanya mendongak, melirik dengan rinci agar menemukan pisau. Namun, tubuhnya tak sengaja menyentuh sebuah botol berisikan sabun cair.
Mahasiswi berkacamata itu tersentak kaget, ketika benda tersebut jatuh dan menggelinding. Ananda segera melontarkan tindakan refleksnya untuk menghentikan botol itu, tetapi upayanya terlambat. Botol itu meluncur dengan lincah di lantai yang licin akibat sabun yang tumpah.
Botol tersebut tiba-tiba terhenti di depan sepasang kaki yang terlihat basah karena air. Ananda yang tadinya melihat ke bawah, seketika matanya melihat ke arah kedepan. Matanya membulat dengan sempurna, ketika menyadari siapa yang kini berada di hadapannya. Laut, yang barusan selesai dari kamar mandi di dapur dengan hanya mengenakan handuk yang melingkar dipinggangnnya, ia berdiri melihat Ananda dengan heran.
Ananda refleks menutup matanya dengan tangan kirinya, Laut yang melihat perempuan di hadapannya itu hanya bersikap acuh tak acuh. Ia mengambil botol yang berada di kakinya.
"Lo cari apa?" tanya Laut langsung.
Ananda yang mendengar Laut bertanya, ia merilekskan diri. Berusaha menahan detak jantung yang berdebar sangat kencang. Dengan pelan, ia menurunkan tangan kirinya, lalu melihat Laut dengan kedua matanya secara bersamaan. Ia kini bisa melihat jelas Laut yang tengah sedikit basah karena selepas mandi. Kulitnya yang terlihat putih kecoklatan dengan air yang masih membasahi wajahnya itu membuat Laut terlihat menawan. Ananda benar-benar tidak bisa menahan rasa groginya.
"Gu-a, ca-ari pisau," kata Ananda sedikit terbata.
Laut mengerutkan keningnya,"Pisau?" gumam Laut sambil mengangkat satu alisnya. "Buat apa?"
Ananda menggigit bibirnya, menelan saliva dengan susah payah, ia benar-benar gugup melihat Laut yang hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. Laut memperlihatkan keheranan yang jelas di wajahnya. Ananda dapat merasakan jantungnya semakin berdebar dengan cepat, tetapi dia tidak boleh menunjukkan kegugupan di hadapan Laut. Dengan sikap yang berusaha tenang, dia mencoba menjawab pertanyaan Laut.
"Gua mau motong buah ini." Ananda memperlihatkan buah naga di tangan kanan nya, "Jadi gua butuh pisau buat motongnya," lanjutnya.
Laut menatap buah naga itu lalu ia berucap, "Kalo lo nyari pisau bukan disitu, ada di sana. Di rak putih itu." Laut menuju rak putih yang berdiri di samping jendela. Ananda melihat arah yang Laut tuju.
Laut pun berjalan ke arah Ananda, langkahnya terlihat pelan. Ananda yang melihat Laut berjalan ke arahnya, ia semakin berdebar. Detak jantungnya semakin tidak bisa dikontrol. Dengan penuh konsentrasi, dia berusaha menjaga sikap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. Dia melihat Laut mendekat, langkahnya terlihat lambat dan berwibawa.
Laut melangkah dengan kepastian, menunjukkan kemampuannya dalam menguasai ruang dengan setiap gerakannya. Ananda tidak bisa membantu tetapi terpaku memperhatikan setiap detail dari sosok Laut yang begitu menarik. Dia mencoba untuk tidak terlalu terpana oleh pesonanya, tetapi kegugupan yang membakar dalam dirinya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Dengan cepat, Laut mengambil pisau dari rak putih yang telah ditunjukkannya. Matahari yang menerpa ruangan itu memperlihatkan kilau pisau yang terlihat tajam dan presisi. Laut melangkah kembali mendekati Ananda, menyerahkan pisau tersebut dengan sikap yang tenang.
Aroma sabun yang tertinggal di tubuh Laut menyerang hidung kecil Ananda. Aromanya sangat menenangkan dan maskulin. Wangi kayu cendana. Ananda dapat menebaknya hanya sekali hirup. Ananda dapat melihat jelas tubuh yang ideal itu berada di hadapannya.
"Harap hati-hati," ucap Laut dengan suara rendah. "Ini tajam. Awas kulit lo luka." Laut menyerahkan pisah tersebut. Sepertinya Ananda sudah benar-benar tidak tahan dengan keadaan ini. Sampai pisau yang sudah di hadapannya tidak segera dia ambil.
"Lo butuh ini kan?" tanya lagi Laut yang sangat heran melihat Ananda yang terdiam.
Ananda mengalihkan pandangannya dari Laut ke pisau yang ada di tangan Laut. Matanya terfokus pada bilah yang terlihat tajam dan mempesona. Dia menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri sejenak sebelum meraih pisau itu.
"Ya, Gua butuh itu," ujar Ananda dengan suara yang terdengar serak. Dia memperhatikan jemari Laut yang menggenggam pisau dengan sayu, sedangkan dirinya terasa kaku dan ragu-ragu.
Laut menatap Ananda dengan penuh keheranan, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di benaknya. "Ada sesuatu yang salah?" tanyanya dengan suara pelan.
Ananda menelan ludahnya, mencoba melepaskan kegugupannya dengan memfokuskan pikirannya pada tujuannya. Dia mengangkat tangannya perlahan, siap untuk mengambil pisau dari Laut, tetapi tangannya terhenti di udara.
Laut mengerutkan keningnya, sedikit bingung dengan reaksi Ananda yang terlihat kaku dan tertekan. Setelah beberapa detik yang terasa berat, Ananda akhirnya mengambil langkah maju dan meraih pisau dari tangan Laut.
"Terima kasih," ucapnya dengan suara yang pelan.
Laut tidak membalas, ia lalu berbalik dan melangkah menjauh. Ananda bisa melihat punggung lebar itu menjauh darinya. Paras wajah laut dengan hidung mancung dan kumis tipis itu, membekas di memorinya. Laut benar-benar membuat Ananda hampir gila.
...
Setelah mengetahui fakta bahwa baju himpunan yang dikenakan oleh Bagas saat ditemukan di embung belakang adalah baju dari senior mereka yaitu Kak Reno. Membuat mereka tidak bisa berkata-kata lagi. Sebuah fakta ini sangat mengejutkan, dan sangat tidak masuk akal.
Bagas yang memang jelas tidak pernah berurusan dengan seniornya itu, kenapa malah ditemukan dalam keadaan memakai pakaian baju himpunan miliki senior itu. Langit tidak bisa memikirkan sebuah kenyataan tersebut.
Saka memberitahu mereka bahwa Kak Reno saat ini ditahan oleh pihak Polisi, sehingga itulah sebabnya ia masih berada di sana. Semua orang di gazebo itu terdiam, seolah-olah angin menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan mereka. Bumantara kembali diselimuti awan hitam, mendung datang tanpa diundang. Risa yang menyadari bahwa Langit sudah berawan, seketika ia berucap memecah keheningan.
"Kayaknya hujan mau turun."
Mendengar perkataan Risa, semua orang memandang ke langit yang semakin gelap. Tetesan air mulai jatuh pelan-pelan, menciptakan irama yang menenangkan di tengah keheningan.
Dalam kerumunan yang terdiam, pikiran mereka melayang ke sebuah fakta yang baru saja terjadi. Pikiran-pikiran bertaut satu sama lain, mencoba menyusun teka-teki yang sulit dipecahkan. Apa hubungan antara Bagas dan Kak Reno? Kenapa baju himpunan itu bisa dikenakan Bagas? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiran mereka, menguak kecurigaan dan spekulasi. Atap di atas semakin mendung dan embun menetes di daun-daun pepohonan di sekitar mereka.
Saka memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dengan suara yang rendah namun tegas, ia berkata, "Kita kayaknya lebih baik pulang ke rumah masing-masing dulu."
Deo turun dari gazebo, diikuti Reihan dan Saka. Risa dan Lisa yang terduduk di kursi kayu melingkar hanya bisa memainkan nafas dengan biasa.
"Ananda dimana?" tanya Deo, ketika menyadari bahwa Ananda tidak ada disekitarnya.
"Dia tadi ambil pisau ke dapur, cuman lama bener baliknya," kata Lisa.
"Jangan-jangan dia makan sendiri lagi itu buahnya," timpal Saka.
"Jemput aja itu orang Sa ke dapur," kata Reihan ke Risa.
"Oke deh," balas Risa, seraya berbalik dan melangkah menuju ke dalam rumah. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Ananda yang keluar dengan wajah yang merah.
"Tuh orangnya," ucap Risa.
Ananda yang menyadari bahwa teman-temanya tengah menatap heran dirinya, ia segera merilekskan diri. Menghilangkan rasa yang berkecamuk dalam dirinya, lalu ia berucap, "Ayo makan buah naganya." Ananda pun melangkahkan kakinya menuju gazebo. Setelah atapnya berubah menjadi awan, ujung hidung Ananda tak sengaja terkena sebulir air hujan. Ia mendongak ke atas.
"Loh, mau hujan?" tanyanya.
Lagi-lagi semua orang hanya bisa berkata dalam nafas, seakan menyatakan sudah lelah akan sebuah kenyataan.
"Kita semua mau balik. Lo mau disini aja?" tanya Lisa.
"Gak lah!" kata Ananda langsung.
"Jangan ngamuk atuh Neng. Muka lo kok merah gitu? Kek udang rebus," kata Saka.
Ananda mencoba menenangkan diri, mengendurkan tegangnya. Hal yang terjadi di dapur tadi sungguh membuat dirinya membara. Ia tersenyum kecil dan berusaha melepaskan bebannya, dan berucap, "Panas, makannya merah."
"Orang mendung gini mau hujan. Kok tiba-tiba panas?" kini Reihan yang berucap.
Seolah menyadari bahwa apa yang barusan di ucapkan Ananda membuat dirinya terjebak dalam keadaan yang memusingkan. Segera ia berjalan ke arah gazebo dan menyerahkan pisau ke tangan kirinya ke Langit.
"Ya udah lah, ayo balik. Nanti ujan lagi. Gak ada yang bawa jas ujan kita ini," kata Ananda cepat.
Merasa tidak ingin memanjangkan obrolan, mereka pun melakukan hal apa yang semesta minta. Pulang untuk merehatkan diri, menenangkan pikiran agar bisa kembali berfungsi dengan jernih. Sehingga jika ada kenyataan pahit lagi, mereka semua bisa menerima dengan sebuah solusi.
...
Malam yang dingin dipenuhi oleh hujan deras yang lebat di luar, menciptakan suara keras yang memenuhi suasana di sekitar meja makan. Tetapi suasana tersebut hanya terasa samar bagi mereka yang terduduk di meja tersebut. Langit, dengan pikirannya yang masih terombang-ambing, mengunyah makanannya tanpa perasaan. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Kak Reno, senior mereka, terlibat dalam kasus pembunuhan Bagas.
Laut duduk di seberang meja makan, sambil mengunyah dengan mata terpaku pada buku yang ada di tangan kirinya. Sinta dan Rahadian saling memandang, melihat kedua anak mereka yang memiliki sifat dan karakter yang berbeda.
Laut, dengan rambut panjang yang terurai dan kumis yang cukup lebat, serta kulit yang agak gelap dibandingkan dengan Langit yang memiliki kulit lebih putih dan rambut pendek yang rapi, membuat mereka terlihat seperti bukan saudara kembar.
"Gimana kuliah kalian?" tanya Sinta tiba-tiba.
"Pusing, Bu," ucap Langit dengan ekspresi lelah.
"Aman," jawab Laut singkat.
"Pusing kenapa Kak?"
Langit menoleh dan melihat Ibunya. Sebenarnya, ia sangat ingin menanyakan segala data yang diperoleh dari hasil otopsi tubuh Bagas. Namun, ia tahu bahwa itu bukanlah hal yang patut dilakukan saat ini.
"Pusing dengan segala kegiatan, Bu. Oh ya, Ibu dan Ayah harus membeli tiket konser dari himpunan ku, ya, Bu," ucap Langit, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Sinta tersenyum melihat anaknya yang mencoba melupakan kekhawatiran dan tugas-tugas kuliahnya. "Tentu, Kak. Ayah dan Ibu akan mendukungmu dalam segala hal. Kita bakal membeli tiket konser itu dan memberikan dukungan sepenuhnya."
Rahadian, yang selama ini terdiam, akhirnya bergabung dalam percakapan. "Ayah juga akan mendukungmu, Langit. Kamu memiliki bakat luar biasa, jadi pasti akan sukses dalam konser itu." Rahadian memperlihatkan jempol kanan.
"Oke makasih Ayah, Ibu," balas Langit seraya tersenyum.
Suara decitan kursi tergeser membuat mereka menengok ke arah Laut yang sudah selesai dari makannya.
"Udah selesai kamu dek?" tanya Rahadian.
"Udah," balas Laut beranjak pergi dari meja makan.
"Jangan lupa di cuci piringnya," kata Sinta datar.
Laut tidak membalas, ia segera menuju wastafel dan mencuci piringnya. Setelah selesai, ia pun melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Sebelum itu, terdengar Ibunya memanggilnya dan berucap.
"Dek. Besok tolong potong rambut kamu. Biar keliatan rapi kaya Kakakmu ini."
Laut hanya mengangguk tersenyum, ia pun melangkah menjauh dengan perasaan yang selalu sama. Dingin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro