Bagian 16-Neural
Di tengah senja yang pudar, Laut berkelana dengan mengendarai motornya yang bergemuruh di tengah jalan yang sepi. Angin meniup lembut, menyapu rambutnya yang tergerai bebas. Di dalam tas yang terbungkus rapat, ia membawa kucing kecil yang penasaran akan dunia luar.
Cuaca pun memutuskan untuk memberikan pertunjukan yang dramatis. Hujan turun dengan perlahan, menjalin tarian tetes-tetes kristal yang menghiasi langit. Setiap jentikan hujan memercikkan air, terlempar ke sembarang arah.
Kucing dalam tasnya, sepertinya merasa gelisah. Ia merasakan getaran mesin dan suara hujan yang berdentum di telinganya. Tatapan tajamnya melintas dari satu sudut ke sudut lain, menjelajahi dunia luar yang penuh akan bising hujan.
Melintasi jalan raya yang basah, Laut mempertahankan kendalinya dengan gemilang. Setiap tikungan dan lurusan jalan diikuti dengan penuh percaya diri. Setiap putaran roda motornya menghasilkan semburan air yang bergemuruh di aspal. Peluit angin berpadu dengan irama rintik hujan yang mengisi ruang kosong di sekitarnya.
Tujuannya saat ini adalah ke tempat seseorang yang Laut yakini bisa menerima kedatangan tamu yang ia bawa. Hujan yang mulai turun semakin banyak, membuat Laut kesulitan dalam pandangannya. Air yang jatuh mengusik matanya, memberikan sentuhan kasar yang membuatnya sesekali menghapus air di wajahnya.
Entah sudah berapa lama Laut berpacu dengan hujan, perlahan ia sedikit memelankan laju kendaraanya. Ia berbelok ke halaman sebuah rumah. Cat putih terlihat terlukis di dinding sebagian rumah tersebut. Di depannya terdapat beberapa bunga yang basah dan pohon kecil yang tertunduk karena beratnya menerima hujan.
Laut dengan cepat turun dari kendaraan, lalu berlari serta memeluk tasnya menuju teras rumah. Hawa dingin mengusik kulit dalam pakaian, Laut sedikit menggigil dalam kesendirian. Ia pun berjalan menghadap pintu depan, lalu mengetuk dengan perlahan.
"Permisi."
Mungkin karena suara hujan, kata yang baru terlontar sedikit teredam. Laut kembali berucap dengan nada yang sedikit ditinggikan.
"PERMISI!"
Sejenak, ruang menjadi sunyi. Detik-detik berlalu, terasa berat dalam keheningan yang spontan. Dan kemudian, pintu perlahan terbuka, memunculkan seseorang yang tengah menatap dengan keterkejutan.
"Lo ngapain gila kesini? Hujan gini," tanya Ananda dengan nada yang campur aduk antara kejutan dan kekhawatiran. Tatapan matanya terfokus pada sosok Laut yang basah kuyup, mewakili perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam dirinya.
Laut tidak ada pilihan lain selain ke rumah Ananda yang entah hal apa yang membuatnya memutuskan Ananda sebagai pilihan. Namun, pernah suatu hari Laut tidak sengaja melihat Ananda yang bermain dan menyapa kucing jalan. Mungkin, itu adalah alasannya untuk ke sini.
"Maaf ganggu, Gua mau nitip ini." Laut membuka tasnya, lalu mengeluarkan kucing kecil yang terlihat sedikit basah di bagian kepalanya.
Ananda menatap kucing kecil itu dengan heran. Tatapannya berpindah dari Laut ke makhluk berbulu yang penuh yang memeluk tubuh untuk kehangatan.
"Tolong jaga dia ya. Gua bingung mau nitip ke siapa," ucap Laut seraya memberikan kucing tersebut kepada Ananda.
Tanpa pikir panjang, Ananda dengan sigap mengambil kucing tersebut lalu menggendongnya dalam pelukannya.
"Lo nemu kucing ini di jalan? Ujan-ujan gini?" tanya Ananda dengan suara penuh keheranan dan simpati. Ia mencoba membayangkan bagaimana Laut berusaha melindungi dan merawat kucing tersebut dalam kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Ah, sulit dibayangkan.
Laut mengangguk perlahan, "Iya, Gua nemuin tadi siang. Udah Gua bawa ke rumah. Cuman karena orang rumah ada yang gak suka kucing. Jadi daripada dibuang lagi. Mending Gua bawa pergi ke tempat yang lebih aman."
Sepertinya Ananda sudah tidak fokus lagi, terlihat dari wajahnya yang memerah. Entah hal apa yang ia pikirkan. Akhirnya, dia ngomong lebih dari satu kalimat.
"Oooo, eh lo basah gini. Mau Gua bawain anduk dari dalem?" tanya Ananda dengan ekspresi sedikit terburu-buru. Pikirannya teralih pada keadaan Laut yang basah kuyup dan mungkin merasa bahwa Laut butuh sesuatu untuk menghangatkan diri.
"Gak usah, Gua mau langsung balik," tolak Laut.
"Masih hujan ini. Nanti lo sakit," balas Ananda ragu.
"Gak papa, tanggung soalnya. Ya udah Gua balik ya. Tolong jaga Pusi."
Laut berbalik dari posisinya, langkahnya kembali menerima hujan dengan sengaja. Ananda yang melihatnya, hanya tersenyum tipis. Walau hatinya terasa panas dan bergebu-gebu. Mata Ananda jelas tergambar rasa suka yang teramat, pandangannya tidak lepas dari punggung yang mulai menjauh. Wajah basah dengan rambut yang terkulai lemas itu membuat Laut terlihat lebih tampan.
Dalam dadanya, ada perasaan campur aduk yang tak terungkapkan. Setelah Laut yang sudah tertelan jauh oleh jarak. Ia melihat kucing kecil yang terlingkup dalam pelukannya.
"Nama kamu Pusi ya. Gimana rasanya didekap dan di sayang sama dia?"
...
Di ruangan yang tidak lebih sebesar ruang kelas, Langit terduduk di kursi dengan meja di depannya. Ruangan itu masih hanya ada dia, belum ada seorangpun bersamanya.
"Kok, Gua jadinya kek napi lagi mau di introgasi ya," monolognya.
Selang dari ucapannya, pintu yang tak jauh darinya terbuka. Memperlihatkan polisi dengan setelan kemeja hitam serta kalung yang tergantung tanda pengenal. Langit mengingat polisi tersebut.
Polisi Ali berjalan menuju kursi yang kosong. Lalu mendudukan dirinya. Dia menatap Langit dengan tatapan yang tajam dan datar. Langit seperti melihat orang lain pada polisi tersebut.
"Langsung mulai aja ya biar cepet," kata Polisi Ali.
Langit mengangguk dengan cepat, lalu ia memposisikan tubuhnya dengan tegak.
"Selain kerja malam, kegiatan apa yang sering dilakukan saudara Bagas?" pertanyaan pertama terlontarkan.
"Yang saya tahu, Bagas tidak melakukan aktivitas apa pun selain bekerja waktu malam. Setelah selesai pun dia harus segera pulang untuk mengerjakan tugas kuliah."
"Apa ada teman atau orang lain yang menunjukkan rasa ketidak sukaannya pada dirinya?"
"Selama saya berkuliah bareng dengan dia. Dia tidak berselisih dengan siapa pun Pak."
Polisi Ali terlihat menganalisis setiap kata yang diucapkan oleh Langit, mencoba menangkap isyarat atau ketidakseimbangan dalam jawabannya. Tatapannya yang tajam membuat Langit merasa seperti dalam tekanan yang semakin meningkat.
"Apakah ada teman sepengurusanmu yang mencurigakan? Senior atau alumnimu?"
Untuk pertanyaan ini, Langit tak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak untuk berpikir. Langit mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Pikirannya melayang ke masa-masa ketika ia aktif di himpunan mahasiswa, berinteraksi dengan berbagai individu.
Setelah pertimbangan yang matang, Langit akhirnya menjawab dengan hati-hati, "Setelah saya berpikir sejenak, sejujurnya saya tidak menemukan ada teman sepengurusan atau senior bahkan alumni yang mencurigakan."
"Oke, selanjutnya pakaian apa yang dikenakan oleh Bagas terakhir kali kamu bertemu dengannya?"
"Bagas terakhir kali menggunakan kemeja berwarna biru Pak."
"Lalu kenapa dia ditemukan menggunakan pakaian himpunan? Jika pakaian yang kamu bilang adalah kemeja berwarna biru?"
Langit merasakan detak jantungnya semakin cepat ketika pertanyaan Polisi Ali meluncur. Tatapannya yang tajam dan pertanyaan yang mengejutkan membuatnya terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan pikiran dan mencari jawaban yang tepat.
"Dalam pertemuan terakhir kami, Bagas memang mengenakan kemeja berwarna biru. Namun, saya tidak tahu mengapa dia ditemukan menggunakan pakaian himpunan. Saya tidak memiliki informasi lebih lanjut mengenai hal itu."
"Sebagai ketua himpunan harusnya kamu bisa tahu. Setahu saya, dalam pemakaian baju himpunan itu ada aturannya kan?"
Langit merasa semakin tertekan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Polisi Ali. Tatapannya yang tajam dan kata-katanya yang tegas membuatnya merasa seperti dalam persidangan. Ia berusaha menjawab dengan hati-hati, mencari cara terbaik untuk mengungkapkan situasi yang sebenarnya.
"Sebagai ketua himpunan, saya memang mengetahui aturan mengenai pemakaian baju himpunan. Namun, dalam kasus ini, saya tidak memiliki informasi yang dapat menjelaskan mengapa Bagas ditemukan mengenakan pakaian himpunan. Mungkin ada alasan atau kejadian yang tidak saya ketahui."
Langit mencoba menjelaskan bahwa meskipun dia mengetahui aturan tersebut, ada kemungkinan bahwa terjadi situasi atau kejadian yang mempengaruhi pemakaian pakaian himpunan oleh Bagas. Ia ingin memastikan bahwa Polisi Ali memahami bahwa tidak semua hal dapat diketahui atau dijelaskan dengan pasti.
Polisi Ali mengangguk, namun masih terlihat skeptis. Ia mencatat setiap kata dan ekspresi Langit.
"Sepertinya kamu sudah terlatih ya dalam mengucapkan informasi. Saya perhatikan, kamu tidak pernah menggunakan kalimat atau kata-kata yang merugikan diri kamu."
Langit menatap Polisi Ali dengan kejutan, memperhatikan kalimat terakhir yang dia ucapkan. Tatapannya mencerminkan kebingungan dan keheranan atas pernyataan tersebut. Dia berusaha memahami maksud dari ucapan Polisi Ali.
"Maaf, Pak, saya mungkin kurang memahami maksud dari pernyataan terakhir Anda. Apakah bisa Anda jelaskan lebih lanjut tentang kalimat atau kata-kata yang tidak merugikan diri saya?"
Polisi Ali memperhatikan reaksi Langit dan menyadari bahwa ada ketidaktahuan dalam pemahamannya. Dia pun menjelaskan dengan lebih detail.
"Maksud saya, Kamu tampak sangat hati-hati dalam menyampaikan informasi. Kamu memilih kata-kata dengan cermat dan menjaga diri dari kemungkinan merugikan diri sendiri dalam penyelidikan ini. Saya mengamati cara Kamu berbicara dan menemukan bahwa Kamu sangat berhati-hati dalam memberikan informasi kepada kami."
Langit merasa lega mendengar penjelasan tersebut. Dia menyadari bahwa Polisi Ali sebenarnya menghargai kehati-hatian dan kewaspadaannya dalam menyampaikan informasi. Dia telah berusaha menjaga kejelasan dan keakuratan, tetapi juga memperhatikan bahwa ada hal-hal yang mungkin belum ia ketahui sepenuhnya.
"Terima kasih atas penjelasannya, Pak. Saya memang berusaha untuk memberikan informasi yang akurat dan relevan, sambil tetap menjaga diri saya dari kemungkinan merugikan diri dalam proses penyelidikan ini."
"Oke pertanyaan selanjutnya, apakah Bagas dalam pertemanan dia memiliki teman dari luar jurusan? Contohnya jurusan kedokteran atau keperawatan?"
"Mohon maaf pak, untuk hal tersebut saya tidak terlalu tahu jangkauan dalam pertemanan Bagas. Jadi saya tidak punya informasi lebih lanjut terkait hal tersebut."
Polisi Ali hanya mengangguk, lalu dia melanjutkan pertanyaanya.
"Apakah temanmu ada yang kidal?"
Langit kemudian berpikir untuk menjawab pertanyaan tersebut, lalu ia pun membalas.
"Kalo yang saya tahu, ada Pak. Ada 3 orang yang saya tahu. Dua teman saya dan satu senior Pak."
"Bisa tolong tuliskan nama tersebut ke buku ini." Polisi Ali menyerahkan satu buah buku dan satu buah pena kepada Langit. Langit pun lalu menuliskan ketiga nama seseorang di atasnya.
Reihan Angkasa
Saka Dwi Aji
Reno Galih Darma
Ketiga nama tersebut adalah seseorang yang kidal. Langit mengetahuinya karena ia sering bertemu dengan orang tersebut.
"Oke terakhir, ada informasi yang lain? Yang menurut kamu sedikit aneh di kampus?"
Tatapan Laut menerawang sejenak, mencoba mengingat informasi lain.
"Sejauh yang saya tahu, ada satu hal yang sedikit aneh di kampus bagi Saya Pak."
"Apa itu?"
"Sebelumnya mohon maaf Pak, apakah informasi yang tadi telah saya sampaikan akan diobrolkan kembali kepada pimpinan di kampus?"
Polisi Ali menangkap rasa kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Langit.
"Tentu, Tetapi jika informasi yang kamu sampaikan berkaitan dengan pimpinan di kampus. Kami tidak akan menyebarkan informasi tersebut."
Langit terlihat lega, lalu ia berucap,"Beberapa hari kebelakang, saya tidak sengaja melihat kepala jurusan memasang penyadap suara di atas lampu depan ruangannya. Saya tidak tahu tujuannya apa."
Polisi Ali menatap Langit dengan serius, mencermati setiap kata yang diucapkan. Ia menyadari bahwa informasi yang baru saja disampaikan oleh Langit bisa memiliki implikasi yang lebih dalam.
"Baik, mungkin cukup untuk pertanyaanya. Saya ucapkan terima kasih. Jika kami membutuhkan bantuan Kamu. Kami akan segera menghubungi."
Langit mengucapkan terima kasih kepada Polisi Ali, merasa lega bahwa informasinya disambut dengan serius. Dalam keheningan, mereka saling menganggukkan kepala sebagai tanda keterlibatan bersama dalam mengungkap kebenaran yang terpendam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro