Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 15-Switch

Suara deru langkah kaki terdengar menggema di lorong. Nafas yang terdengar terengah-engah itu tampak menjadi pandangan pertama yang dilihat Langit kepada Saka yang kini berjalan mendekatinya.

"Lo gi-la Ka," kata Saka seraya mendudukan dirinya di kursi yang tersender di dinding gedung. Nada kelelahan terdengar dalam suaranya

"Ya lo ngapain lari-lari," balas Langit dengan sedikit keheranan.

Saka menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab,"Lo ngechat Gua suruh buru-buru. Ya Gua lari lah. Kalo gak penting gini, ngapain Gua lari ke lantai tiga gini?"

"Hahahah, lagian lo ngapain langsung balik pas selesai kelas gabungan. Udah tahu mau nemuin kajur." Langit tertawa melihat Saka yang berkeringat.

"Namanya juga lupa. Apa lagi pas lo chat kalo kajur nyariin Gua. Tambah panik dong Gua. Jadi Gua buru-buru lari naikin tangga dari lantai satu itu," gerutu Saka dengan wajah yang kesal, "Biasanya kalo emosi gini, ada Bagas yang bakal bikin panas," lanjutnya.

Langit yang posisinya berdiri seketika ekspresi wajahnya berubah. Terlihat datar.

"Eh, lo ngapa jadi diem cok! Udah lah ayo masuk." Saka lalu berdiri dan mendorong Langit untuk segera mengetok pintu.

"Ketok itu pintunya. Udah lo gak mikirin apa yang barusan Gua bilang. Kita disini ada kepentingan sam Kajur. Ayo biar selesai urusan kita."

Langit tak membalas perkataan Saka. Ia lalu mengetuk pintu di hadapannya. Lalu membukanya. Kedua tubuh itu masuk ke dalam ruangan.

"Permisi Ibu."

Seorang wanita tengah terduduk di meja kerjanya dengan wajah serius mengangkat pandangannya.

"Langsung duduk aja," ucap Ibu Nurmala.

Mereka berdua pun mendudukan dirinya di tempat yang sudah disediakan. Setelah itu, Langit pun berucap, "Mohon maaf Bu, kami disini ingin bertanya kembali terkait dana yang akan himpunan terima dari dekan."

"Bukannya waktu itu sudah saya jelaskan ke pada Saka ya?" jawab Ibu Nurmala tenang.

Langit mengangguk, "Ya, Ibu. Tapi kami ingin memastikan informasinya. Kami memiliki pertanyaan lebih rinci mengenai dana yang akan diberikan oleh dekan dan bagaimana himpunan dapat menggunakannya."

Ibu Nurmala mengambil napas dalam-dalam sejenak sebelum menjawab, "Baiklah, saya akan menjelaskan sekali lagi. Himpunan akan menerima dana dari dekan berdasarkan proposal yang telah diajukan. Akan tetapi dana tidak bisa cair. Karena dari pihak dekan atau fakultas menarik kembali dana tersebut semenjak terjadinya kasus di belakang embung."

Saka menatap Ibu Nurmala dengan bingung, "Bukannya pengajuan dana ini sebelum ada kasus ya Bu? Dan sebelum ada kasus juga Ibu bilang ke saya hanya sekadar tidak bisa diambil karena alasan sesuatu. Jadi alasan sesuatu itu karena kasus itu? Padahal kan kasus terjadi sesudah pengajuan dana Bu."

Ibu Nurmala menghela nafas berat, menyadari kebingungan yang muncul dari penjelasannya sebelumnya. "Maafkan kebingungan saya sebelumnya, Saka. Saya mungkin tidak memberikan penjelasan yang jelas. Benar, pengajuan dana dilakukan sebelum terjadinya kasus di belakang embung. Namun, setelah kasus terjadi, dekan dan fakultas telah memutuskan untuk menunda pencairan dana tersebut hingga investigasi selesai."

Saka dan Langit saling pandang, merasa kecewa dengan keputusan tersebut. Mereka berdua merasa bahwa dana tersebut sangat penting bagi himpunan untuk melaksanakan kegiatan dan program yang telah mereka rencanakan.

"Mohon maaf, Bu Nurmala, tapi apakah ada kemungkinan untuk mempercepat proses investigasi dan pencairan dana?" tanya Langit dengan harapan.

"Kamu tentunya tahu kan kasus ini terlalu rumit? Saya tentunya harus menganalisa dan memutuskan perkara kasus ini supaya tidak merusak nama jurusan dan nama himpunan kamu," balas Ibu Nurmala tegas.

"Kami juga tahu Ibu, terlebih lagi kasus ini melibatkan teman kami, Bagas. Kami benar-benar menginginkan kasus ini segera selesai dan segera ditangkap pelakunya.Namun, kami berharap sekali dana tersebut bisa segera didapatkan Bu," ucap Langit.

"Saya mengerti perasaan kalian, Saka dan Langit. Saya akan melakukan segala yang saya bisa untuk mempercepat proses investigasi dan mencari cara agar dana bisa segera didapatkan."

Saka dan Langit merasa harapan mereka sedikit terangkat mendengar kata-kata Ibu Nurmala. Mereka merasa dihargai dan didukung dalam upaya mereka untuk menyelesaikan kasus dan mendapatkan dana yang mereka butuhkan.

"Mohon maaf Ibu saya lancang bertanya seperti ini. Kalau boleh tahu kasus ini sudah sampai mana ya Bu?" tanya Saka hati-hati dalam ucapannya.

"Investigasi masih berlanjut. Oh ya Ibu baru ingat. Langit kamu besok di jam dua siang ada waktu luang?"

Langit mengerutkan dahi seraya berpikir, lalu ia berucap, "Ada kelas di jam satu sampai jam dua Ibu, kenapa ya Ibu?"

"Pihak polisi ingin bertanya-tanya lebih lanjut terkait Bagas. Karena kamu yang terakhir bersama dia."

Saka menoleh melihat Langit yang entah kenapa berkeringat, padahal di ruangan tersebut ada ac yang tengah menyala.

"Baik Ibu, jika memang itu berkaitan dengan kasus ini. Saya akan membantu dengan kemampuan saya."

"Oke, kalo sudah kalian bisa pergi. Saya akan ada rapat sebentar lagi." Ibu Nurmala terlihat sedikit membereskan perlengkapannya.

Langit dan Saka pun mengangguk setuju, lalu izin pamit dan beranjak keluar dari ruangan tersebut. Mereka berjalan menyusuri tangga. Memijakkan kaki dengan langkah yang penuh tanya.

"Gua masih gak bisa terima soal dana yang gak bisa cair karena kasus itu," ucap Saka.

"Gua juga sebenernya gak bisa nerima alesan tersebut. Gak logis aja," balas Langit.

"Aneh bener, masa dana gak bisa cair karena kasus yang jelas-jelas terjadi sesudah kita ngajuin dana. Gua yakin dana itu di tilep sama ka-."

Sebelum Saka melanjutkan ucapannya. Langit sudah membungkam mulut Saka dengan kedua tangannya.

"Gak usah di lanjutin. Nanti aja pas di parkiran," kata Langit datar.

Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan tanpa obrolan. Saka baru mengingat sesuatu. Tentang hal yang di pasang tak jauh dari mereka. Long Range Acoustic Sensor System batin Laut.

...

"Eh, besok kunjungan satu hari full apa setengah hari?" tanya Langit.

Para pimpinan himpunan tengah berkumpul melingkar di meja bundar belakang jurusan. Mereka tengah saling diam, berkutat dengan laptop masing-masing. Mengejar tugas yang sudah tenggat waktunya.

"Sampe siang doang Lang, ngapain juga disana lama-lama sampe sore," balas Ananda.

Langit merasa lega akan jawab dari Ananda. Beruntung jadwal dirinya bertemu polisi besok tidak bertabrakan dengan jadwal kunjungan industri.

"Kenapa emang Lang?" tanya Ananda, matanya masih menatap layar laptopnya.

"Takut jadwalnya bentrok. Soalnya dia besok jam satu mau ke kantor polisi buat ya di introgasi," balas Saka, menjawab pertanyaan Ananda.

Langit hanya mengangguk lalu, "Kalian kalo ngomong-ngomong atau gibah di depan ruang kajur. Jangan di sana ya."

Mereka yang tengah asik memainkan laptopnya, seketika memandang Laut dengan penuh tanda tanya.

"Loh kenapa Ngit?" tanya Risa cepat.

"Emang ada apa di sana? Penyadap suara?" kini Reihan yang berucap.

Langit mengeluarkan jempolnya mantap, "Betul! Kemarin sore Gua gak sengaja liat barang itu di pasang. Ada kajur juga di sana. Gua gak tahu si alesannya apa. Cuman yang Gua denger, kajur ngomong buat ngantisipasi. Cuman gua gak tahu ngantisipasi apa," kata Langit.

"LOh-LOH! Harus dicari informasinya ini! Sekelas kajur masang penyadap suara," kata Ananda cukup keras.

"Sekalian aja lo ngomong make toa," timpal Deo.

"Iyanya lo ini. Suara lo gak usah di gede-gedin," sambung Lisa.

Ananda hanya tertawa pelan sebagai balasan, "Maaf atuh, semangat Gua kalo udah bahas kek gini. Kita kek integrator."

"Integrator-integrator, internsip yang bener," sambung Saka.

"Internsip apa lagi njir. Interplan yang bener," tambah Deo.

"Gak pinter bener kalian ini," kata Reiha, wajahnya terlihat kesal, "Interkoneksi yang bener," lanjutnya.

"Ha? Interkoneksi? Lo ini keknya keseringan main ama dosen komputer deh," timpal Risa.

"Investigator loh yang bener," kini Lisa yang berucap.

"Nah itu maksud Gua, Investigator. Ayo lah kita kepoin alesan kajur masang penyadap," kata Ananda.

Langit hanya bisa tersenyum melihat obrolan mereka, ia merasa ada yang sedikit kurang. Seseorang yang akan lebih heboh dalam obrolan ini. Tapi orang tersebut sudah tidak ada dalam dunia mereka. Obrolan mereka masih berlanjut. Namun, mereka sepertinya tidak menyadari. Dari belakang gedung jurusan di sipang itu, ada seseorang yang tengah mendengar perbincangan mereka.

...

Sepulang dari kampus dan sudah mengenakan pakaian santai. Ia segera menuju kamar adiknya. Sudah lama dirinya tidak melakukan obrolan dengan adiknya. Setelah sampai di depan pintu kamar adiknya, Langit mengetuknya dan memanggil nama adiknya. Akan tetapi hening sebagai balasan.

Langit pun menyusuri rumahnya, mencari keberadaan adiknya. Setibanya ia di dapur, tidak sengaja ia menangkap keberadaan seseorang di balik kaca pembatas antara ruang dapur dengan taman belakang.

Segera Langit melangkahkan kakinya ke tujuan, ia membuka pintu, lalu ke luar dari dapur dan melangkah menuju taman belakang rumahnya. Ia menangkap adiknya yang tengah berjongkok di depan pohon mangga. Langit pun menghampirinya.

"Lo ngapain dek?" tanya Langit.

Laut yang mendengar suara dari belakangnya, ia segera berbalik seraya memegang whiskas di tangan kanannya.

"Lo lagi ngasih makan kucing? Dapet dari mana?" tanya Langit ketika mendapati adiknya tengah memberi makan kucing yang lumayan masih kecil. Langit pun ikut berjongkok.

"Tadi nemu di jalan. Jadi Gua bawa aja," balas Laut. Ia pun lalu melanjutkan memberi makan kucing tersebut.

Langit mengelus tubuh kucing berwarna hitam putih tersebut, tubuhnya terlihat kurus.

"Kasian bener, ini lo tahu gak ada Induknya?"

"Gua udah nunggu sejam di lokasi. Dan gak ada sama sekali induknya."

"Wduh, kasian banget kurus-kuru gini gak ada induknya. Pasti hidupnya menderita."

"Gimana progja hima? Udah aman?" tanya Laut merubah topik pembicaraan.

Langit yang mendengar pertanyaan tersebut, ia berdiri lalu berjalan mendekati kursi lipat yang berada di bawah pohon mangga.

"Aman aja, cuman ya itu. Gua lagi mikirin gimana caranya dapet dan buat balikin uang lo," jawab Langit.

"Gua usah di pikirin. Tuntasin dulu tanggung jawab lo. Selesain dulu. Sampai hima dikatakan sempurna di mata senior dan alumni."

Langit menganggukkan kepala, menghargai kata-kata adiknya. Dia duduk kembali di kursi lipat sambil memandangi pohon mangga yang berada di depannya.

"Kucing itu mau lo bawa kemana? Kalo ketawan bunda bisa di marahin lo dek."

Laut terlihat terdiam, mungkin dia tengah berpikir, "Iya, nanti kucing ini bakal Gua titipin ke orang lain," balas Laut.

"Ke siapa?"

"Ada lah."

Langit tidak membalas kembali, ia menatap datar rumah yang ada di hadapannya. Sudah dua puluh tahun ia berada di rumah ini. Namun, belum ada sama sekali cerita keluarga mereka yang bisa dikatakan cemara.

"Lo selama ini ada masalah?" tanya Langit spontan.

"Gak ada," jawab Laut.

"Gua besok mau ke kantor polisi buat di introgasi," kata Langit.

Laut menatap Langit dengan tatapan heran. Dia mencoba memahami alasan di balik keputusan tersebut.

"Kenapa harus lo?" tanya Laut.

Langit menjawab dengan serius, "Karena Gua kan yang terakhir kali bareng dia. Jadi wajar kalo polisi nyuruh Gua kesana."

"Apa polisinya namanya Ali?"

Langit tampak kebingungan akan pertanyaan dari adiknya, "Polisi Ali? Lo kenal?"

"Pas awal kejadian Gua bantu dia nyari kamar mandi."

Langit sepertinya berusaha mengingat sesuatu, kejadian dirinya dan Ibu Nurmala serta polisi di ruang kajur.

"Ooo Polisi itu, Pantes pas di ruangan kajur kemarin dia kager liat Gua," kata Langit setelah mengingat memori di kepalanya.

"Kaget kenapa?"

"Ya kaget lah, berasa liat lo versi bersih. Janji lo mau cukur kok gak cukur dek?"

Laut melihat kakaknya dengan tatapan yang sangat datar, "Gua terlalu nyaman sama rambut ini kak sebenarnya."

Langit mengangguk mengerti atas penjelasan Laut. Dia kemudian tersenyum kemudian berucap , "Ya terserah juga. Gua juga gak ada hak atas rambut lo. Cuman Gua ngasih saran aja."

Kucing yang sudah selesai menghabiskan whiskas yang diberi Laut itu mengguling di atas tanah. Seperti menikmati makanan seraya mendengarkan obrolan panjang tak berujung.

"Anterin aja dulu kucing itu, bentar lagi Ibu dateng," kata Langit.

"Iya Ka."

Laut pun membawa kucing tersebut ke dalam rumah, lalu bergegas mengambil helm dan membawa kucing tersebut pergi dari rumahnya. Langit yang melihat adiknya pergi, ada sedikit pertanyaan di benaknya. Orang lain siapa yang bakal jadi tempat titipan kucing itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro