Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 12-Transformator

"Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, kami berkumpul di hadapan Allah untuk mengenang dan memberikan penghormatan terakhir kepada Bagas Wijaya. Kami menghadapi saat-saat berduka ini dengan harapan yang kuat akan kehidupan kekal dalam Kristus Yesus."

"Kami mengenang Bagas Wijaya sebagai seorang Kristen Katolik yang setia, yang hidup dengan penuh kasih, kebaikan, dan pengabdian kepada Tuhan. Semoga semua perbuatan baiknya mendampinginya di hadapan Allah dan menjadi saksi akan kesetiaan-Nya."

"Kepada teman-teman dan orang-orang yang dikasihi Bagas Wijaya, mari kita mengenang kenangan indah bersama. Semoga perjalanan hidup Bagas Wijaya menjadi contoh bagi kita semua untuk hidup dalam kasih, kesetiaan, dan pengabdiannya kepada Allah dan sesama."

"Di tengah kesedihan yang kita rasakan, marilah kita bersyukur kepada Allah atas kehidupan Bagas Wijaya. Semoga Allah, dengan kasih dan belas kasihan-Nya yang melimpah, mengangkat rohnya ke dalam kebahagiaan kekal di hadapan-Nya."

Semua orang menatap Iba ke atas gundukan tanah yang ditaburi bunga. Langit melihat dengan tatapan getir. Ananda terisak di pelukan Risa. Saka dan Deo saling merangkul, melihat kepergian temannya yang begitu cepat. Lisa dan Reihan mereka terdiam tanpa suara.

Semua mahasiswa jurusan Teknik Listrik yang datang untuk menemani pemakaman Bagas hanya bisa melihat dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Hanya ada beberapa orang saja yang tahu bahwa Bagas tewas dalam keadaan tanpa organ. Mereka beranggapan bahwa Bagas ditemukan meninggal di embung dikarenakan tergelincir dan masuk ke embung tanpa ada yang tahu. Itu adalah berita yang tersebar saat ini.

Cuaca yang tampak berawan, seakan menemani kepergian Bagas. Langit tak bisa berkata-kata apa-apa lagi. Hatinya berkecamuk, marah, gelisah, dan ada rasa ingin balas dendam atas kematian temannya ini.

Bagas adalah orang yang baik, teman yang baik. Dia yang tidak sempurna akan hidupnya, kenapa harus berakhir seperti ini. Tinggal sebatang kara di tanah rantau, di tempat tinggal pun dia tidak memiliki siapa-siapa. Dan kini dalam akhir hayatnya pun Bagas tersiksa.

Sebuah tangan melingkar di leher Langit, ia menoleh dan mendapati adiknya di sampingnya. Laut tersenyum kepada kakaknya. Matanya Laut terlihat mengatakan semua akan baik-baik saja. Langit pun membalas rangkulan adiknya. Ia kini mulai menyadari sesuatu, kepergian Bagas adalah sebuah pertanda besar dari banyaknya masalah yang akan datang, Langit benar-benar mulai menyadari hal itu

...

Setelah proses pemakaman Bagas sudah selesai. Banyak orang yang sudah pergi dari tempat itu. Namun, dari kejauhan masih ada satu orang yang terduduk di depan gundukan tanah bersalib putih dengan ukiran nama Bagas di atasnya. Orang itu menatap dengan tatapan yang sulit dimengerti.

Akan tetapi, cuaca yang tadinya berawan kita berganti dengan hujan yang mulai turun. Orang tersebut segera berdiri dan membuka payung warna hitam yang dia bawa. Hujan pun semakin lebat.

Seperti sudah selesai dengan hal yang dilakukan, seorang yang memakai pakaian serba hitam itu mulai melangkah menjauh. Namun, sebelum berbalik, mulutnya itu berucap.

"Maaf."

...

"Ibu yang ngotopsi Bagas kan?" tanya Langit ke pada Ibunya.

Sinta yang baru saja mendudukan dirinya setelah pulang dari rumah sakit untuk mengambil brang-barangnya. Dia melihat putranya dengan tatapan yang hangat.

"Iya Kak."

Langit menatap ibunya dengan rasa penasaran dan kebingungan. "Apa yang Ibu temukan, Ma?"

Sinta mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Setelah autopsi dilakukan, Ibu menemukan hal yang menurut Ibu sedikit mengejutkan Ibu."

Langit segera mendudukan dirinya di samping Ibunya. Topiknya semakin membuat dirinya bergejolak.

"Apa Bu yang buat Ibu terkejut."

"Bagas sebenarnya sudah meninggal sebelum tubuhnya dibedah untuk diambil organ dalamnya. Dan cara pembedahan yang dilakukan pelaku sangat halus sekali. Seperti seorang ahli, walau ada beberapa titik yang sedikit berantakan."

Langit mengerutkan dahi, wajahnya terlihat berusaha memahami perkataan Ibunya.

"Jadi kesimpulannya gini, pelaku pasti orang yang lumayan paham soal organ dalam. Dan pelaku juga ahli buat gak ninggalin bukti apa-pun di tubuh Bagas. Tapi itu masih dugaan. Karena kalo secara apa yang Ibu lihat dan menganalisa tubuh Bagas. Sepertinya dia meninggal dalam keadaan tidak merasakan apapun. Sepertinya pelaku tidak mau membuat korban tersiksa."

Langit menelan ludahnya, mencoba menghadapi informasi ini dengan kepala yang jernih. Pikirannya memutar-mutar kemungkinan-kemungkinan yang ada.

Sementara itu, dari kejauhan terdengar suara langkah yang mendekat. Langit melihat ayahnya, yang tampak lelah dengan kemeja yang berantakan. "Ah, cape banget ngadepin klien dengan permasalahan yang rumit," ujar ayah Langit sambil menghampiri mereka.

Sinta melihat suaminya itu lalu menggerakkan dirinya agar ada space untuk suaminya duduk.

"Tunggu aku jadi teknisi ya Yah, biar Ayah bisa pensiun jadi pengacaranya," ujar Langit.

Rahadian yang sudah mendudukan dirinya, ia melihat anaknya itu. Dengan senyum ia membalas pernyataan anaknya. "Ayah masih kuat kok. Ini saja kliennya yang sangat rumit. Mereka ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat tapi sulit diajak kerjasama. Oh iya, bagaimana perkembangan kasus temanmu yang meninggal, Kak? Sudah ketemu pelakunya?"

Rahadian tentu tahu permasalahan yang ditimpa oleh anaknya, karena istrinya yang bercerita. Menurutnya, permasalahan ini akan semakin rumit, terlebih lagi lokasi ditemukannya mayat Bagas adalah di sebuah kampus.

"Untuk saat ini masih belum kak. Semoga saja pihak polisi bisa cepet nyelesain kasus ini. Tapi takutnya kasus ini tiba-tiba sirna gitu aja," ujar Langit.

"Percaya aja sama polisi. Gak mungkin kasus ini bakal sirna. Toh, ada dalang dibalik dalang. Ada udang dibalik batu," balas Sinta.

"Tapi Bu, bisa lanjutin topik tadi gak Bu? Langit masih penasaran."

"Bentar deh, adek mu kemana?" kini Ayah langit bertanya, matanya menengok kesana kemari untuk mencari keberadaan Laut.

"Tadi Laut bilangnya dia mau ke gramedia. Mau cari buku bacaan lagi," balas Langit.

Sinta terlihat kesal mendengar itu. "Anak itu sebenarnya mau jadi apa sih? Hobinya hanya membaca buku terus," keluh Sinta.

Rahadian tersenyum, menatap istrinya dengan penuh pengertian. "Ya setidaknya hobinya Laut tidak menyimpang, Bu," ujarnya sambil memberikan senyum penuh kehangatan kepada Sinta.

Langit yang ingin kembali bertanya mengenai hasil apa saja yang didapatkan setelah mengotopsi Bagas, ia mengurungkan niatnya melihat Ibu dan Ayahnya itu asyik mengobrol berdua. Tiba-tiba ponsel di kantong celana Langit bergetar. Dengan cepat Langit berdiri dan menjauh dari Ayah Ibunya lalu menjawab panggilan tersebut.

"Halo, ada apa Ka?"

"Lo dimana?"

"Di rumah, kenapa emang?"

"Coba lo cek grup panitia konser is the best itu, banyak problem di situ. Lo liat dulu."

"Maaf yo, bentar Gua liat."

Langit pun membuka aplikasi whatsapp miliknya, lalu menekan grup yang dinamakan Panitia konser is the best.

Panitia Konser Is The Best

Ini gimana ya? Pihak gedung udah minta uang pelunasan?

Dari pihak sananya, udah minta dp buat acara konser. Buat ngundang Tulus.

Dari Gua, pihak sana juga minta biaya transportasi sama penginapan.

Iya, kemarin siapa yang jadi pj nyari penginapan sama harganya berapa?

Mohon maaf Kak, kemarin saya. Dan saya udah nemu yang deket. Yaitu di hottel Merca Sakti. Permalamnya 1 juta 300 kak. Dan kalo dihitung buat 3 hari itu sekitar 3 juta 900.

"Lo udah baca belum? Gimana nih solusinya? Dana kita gak cukup. Kemarin dananya gw alokasiin buat dp gedung, nyetak tiket, dp peralatan, meja, kursi, dan yang lainnya. Solusi dari lo gimana?"

Langit terdiam, ia tengah berpikir.

"Woy jan diem aja cok! Gua buntu ini! Apa batalin aja sekarang konsernya?"

" Jangan lah. Besok uangnya Gua tranfer ke norek lo aja ya Ka, biar langsung lo bagiin ke mereka. Buat bayarin apa yang perlu di bayar."

"Loh, emang uangnya ada? Darimana cok? Dana sponsor kita aja masih ngadat gini."

"Udah tenang aja, ada Gua mah aman."

...

Malam ini Jogja tampak berkabut, suara gemericik hujan masih terdengar samar-samar.. Lampu-lampu jalan yang berderetan menjadi lingkaran cahaya yang redup, menyebarkan kehangatan dalam kegelapan yang menyelimuti. Aura magis Jogja terpancar dalam suasana ini, dihiasi oleh nuansa keabadian yang terasa dalam hembusan angin yang perlahan.

Di tengah jalan yang terhampar, Langit mengendarai motornya dengan kecepatan yang stabil. Hanya ada beberapa kendaraan-kendaraan yang melaju dengan hati-hati, seolah bergerak melalui portal menuju dunia lain. Jalanan yang biasanya penuh dengan kehidupan dan kebisingan kini menjadi sunyi, mungkin karena selepas hujan.

Dalam kesunyian yang dihiasi oleh cahaya remang-remang, Langit berkutat dengan pikirannya. Tujuannya sekarang adalah Bank. Ia ingin menyetorkan uang tunai dan memasukkannya ke dalam tabungannya. Punggungnya yang menompa tas hitam yang tak lain berisikan setumpuk uang, adalah beban yang kini mengusik pikirannya.

Beberapa menit pun berlalu, Langit memarkirkan kendaraanya. Ia terhenti di sebuah Bank yang buka dua puluh empat jam. Sehingga ia bisa menuntaskan tujuannya disini. Langit menurunkan dirinya, sebelum langkahnya melaju untuk menuju tempat tujuan, ia meraih tas di punggungnya.

Dengan perlahan, Langit membuka sebagian tas tersebut. Untuk memastikan barang yang ia bawa aman di dalam.

"Untuk sekarang gak ada pilihan lain selain ini. Adek Gua gak mungkin bohong soal uang ini. Walau sebenarnya Gua ragu," monolog Langit.

Langit kembali menutup tasnya, lalu ia bergegas masuk ke dalam Bank tersebut. Di dalam ada beberapa orang yang tengah terduduk menunggu antrian. Langit yang sudah berdiri di depan pintu, pintu itu pun kemudian dibukakan oleh satpam penjaga. Langit masuk ke dalamnya.

"Ada yang bisa dibantu Pak?" tanya satpam tersebut.

"Saya ingin setor tunai," balas Langit.

"Baik, Pak sebentar."

Satpam tersebut terlihat menekan sebuah monitor di sampingnya dan beberapa detik kemudian tercetak sebuah kertas antrian.

"Nomor urut 13A ya Pak, sekarang masih 11A," ucap Satpam tersebut seraya memberikan kertas antriannya.

"Baik, terima kasih Pak."

Langit bergegas mendudukan dirinya di kursi tunggu, ia hanya terduduk menatap asal. Ia tidak berminat memainkan ponselnya.

"Nomor Urut 12A, bagian Loket 2."

Suara dari petugas yang tengah bertugas itu terucap. Beberapa detik berlalu, tidak ada satupun seseorang yang berdiri.

"Nomor Urut 12A, bagian Loket 2."

Ucapan itu kembali terucap dan hasilnya sama saja. Tidak ada yang berdiri untuk melakukan transaksi.

"Nomor Urut 13A, bagian Loket 2."

Langit merasa lega ketika nomor urutnya terpanggil, memberinya kesempatan untuk menyelesaikan urusannya. Dengan langkah mantap, ia berdiri dan mendekati petugas yang sedang bertugas di loket tersebut.

"Ingin melakukan apa, Pak?" tanya petugas dengan ramah.

Langit menjawab dengan tegas, "Saya ingin melakukan setor tunai, Bu. Apakah bisa?"

Petugas itu mengangguk sambil tersenyum. "Tentu, Pak. Silahkan serahkan uangnya di atas sini beserta KTP dan buku tabungan Anda."

Langit melepaskan tas punggungnya lalu membukanya dan meletakkannya dengan hati-hati di atas meja loket. Kemudian, dia menyerahkan KTP-nya dan buku tabungan yang sudah disiapkan sebelumnya.

Petugas itu dengan cermat memeriksa uang yang diserahkan, membandingkannya dengan jumlah yang dicatat di formulir setoran. Setelah yakin semuanya sesuai, dia menyerahkan kembali KTP dan buku tabungan kepada Langit.

"Jadi total uangnya empat ratus lima puluh juta ya Pak. Sesuai dengan formulir yang telah Bapak isikan. Dan terima kasih setoran Bapak sudah selesai diproses. Apakah ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya petugas dengan ramah.

Langit mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan mengambil kembali buku tabungan dan KTPnya "Terima kasih, Bu. Tidak ada yang perlu saya bantu lagi. "

Setelah keluar dari bank, Langit melangkah menuju parkiran dan menghampiri kendaraannya. Sebelum kembali pulang ke rumah, dia membuka ponselnya dan membuka aplikasi m-banking untuk melakukan transfer uang yang baru saja masuk ke rekening miliknya untuk di transfer ke no rekening Saka. Setelah selesai, Langit pun menghubungi Saka melalui telepon. Tidak butuh waktu lama, Saka menjawab panggilan tersebut.

"Apa cok!"

"Uang udah Gua transfer. Buktinya udah Gua kirim di chat wa."

"Loh, katanya besok. Bentar Gua cek dulu."

"Anjing! Gila cok! Ini uang sebanyak ini dapet dari mana lo?"

Langit sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga, karena suara keras Saka.

"Udah lo gak usah banyak tanya. Gunain dulu uang itu buat nutupin semua dana. Biar cepet selesai urusan uang in."

"Bukan masalah itunya njir. Uang sebanyak ini gak mungkin lo tiba-tiba dapet dengan cepet. Lo pesugihan ya? Atau ngepet? Tapi gak mungkin si. Harus butuh patner juga itu."

"Udah lo gak usah banyak tanya. Kalo ditanya orang lain. Bilang aja dari sponsor yang cair banyak ya."

"Terserah deh, Gua gak mau pusing mikirin ini. Gua percaya sama lo."

"Oke mantap, dah ya Gua mau balik."

Langit pun mematikan ponselnya, lalu menaiki kendaraanya dan melaju untuk kembali ke rumahnya. Untuk saat ini bagi Langit, solusi paling terdekat adalah jalan pintas yang harus diambil. Tapi Langit tidak tahu, bahwasannya setiap jalan pintas yang dilewati harus ada sesuatu yang berkorban.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro