Kisah 02
🌻 Kisah Untuk Zibran 🌻
Ditulis oleh: Veisya Aritha
.
.
.
.
Cinta. Satu hal yang sangat jarang kupikirkan. Sebuah kata yang tak ingin kudefinisikan. Sebuah rasa yang menghampiriku dengan cara menyakitkan. Bagaikan sayap burung yang dipatahkan, berat sekali rasanya cinta itu tumbuh dengan perlahan. Kukira semuanya akan tetap berjalan, seiring waktu akan kunikmati ribuan debaran-debaran itu. Alih-alih menjadi keindahan, kamu ada hanya untuk meninggalkan kenangan.
Kisah ini kutulis untukmu, mentariku yang selalu mendatangkan rindu. Untukmu yang ku sebut Zibran, sang Ketua OPTA dengan tinggi 177 cm dan kecerdasan di atas rata-rata. Di waktu yang sama, aku dipasangkan denganmu sebagai wakil OPTA. Kamu berasal dari jurusan MIA dan aku Bahasa. Kamu adalah ketua yang enggan menjalankan tanggungjawabnya. Dan aku selalu berusaha ‘mendapatkan’ secuil perhatianmu.
Jum’at, 2 Maret 2018
7 bulan sejak pelantikan OPTA, organisasi tertinggi di sekolah kita. Pagi itu, aku menghampirimu yang berkutat dengan sejumlah buku Kimia di meja perpustakaan. Dengan pelan, aku duduk di depanmu, menyerahkan sebuah proposal Pensi yang akan diadakan akhir bulan.
“Hal gini aja gak bisa lo pikirin sendiri?!” ujarmu kala itu. Mengingatnya, membuatku tersenyum kecut, Ran.
Jari-jemari panjangmu itu membolak-balik lembaran proposal dengan kasar, sesekali berdecih kesal dan menatapku sangar. Sejak menjadi partner-mu di organisasi, tak sedikitpun kamu berbicara lembut padaku. Seenggaknya, jika mencuri diperbolehkan di dunia, aku ingin mencuri senyummu sedikit saja, Ran.
Kamu tahu, rasanya begitu menyakitkan. Aku selalu mencari perhatianmu dengan menanyakan berbagai hal tentang organisasi dan kau tetap saja mengabaikan. Ifa sepupuku pernah berkata, bahwa tingkahmu ini adalah bentuk penolakanmu sebagai Ketua. Mengingat bahwa kita memang ditunjuk langsung Kepala Sekolah dan bukan hasil vote dari siswa, aku membenarkan opini Ifa itu.
“Gue diminta buat ngebicarain ini berdua sama lo, Ran. Pengurus lain takut karna lo jarang banget ikut meeting, siapa tau lo punya masukan buat acara nanti,” jelasku padamu yang masih menatap malas proposal itu. Kamu tahu, Ran? Berbicara denganmu selalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Ah, kamu tak tahu itu bahkan sampai kisah ini kutuliskan.
"Lo gak capek, Dis? Ngapain sih lo berusaha banget kayak gini? OPTA tetap berjalan meskipun gue gak andil sedikitpun, dari awal kan udah kayak gitu," serumu sambil menggeser kasar proposal itu ke hadapanku. Kata-kata itu, benar-benar menyakitiku, Ran. Asal kamu tahu.
"Gue capek, Zibran. Gue capek ‘bikin’ lo jadi Ketua kita. Gue capek mondar-mandir nanyain soal OPTA ke lo. Gue cuman butuh sedikit perhatian lo buat organisasi ini," jelasku dengan mata mulai berkaca.
Kata Ifa, sesakit apa pun yang aku rasakan, aku tak diperbolehkan menangis di depanmu, Ran.
Kamu tersenyum kecut sambil mengangkat kedua keningmu. "Kalo capek, ya stop do it. Lo terlalu bego kalau ujung-ujungnya gue emang gak ngerasa jadi Ketua," ucapmu dengan nada meremehkan.
Sekali lagi, aku tidak diperbolehkan menangis di depanmu.
"Ini bukan sekedar Ketua atau enggak, Ran. Ini soal tanggung jawab, ini soal pendewasaan diri kita buat nangani sebuah masalah. Lo gak akan pernah dewasa kalau jadi Ketua aja gak bisa. Lo kira gue bisa nanganin OPTA sendiri? Gue butuh lo," ucapku sambil mengambil proposal dan segera berbalik dari hadapanmu. Berlamaan denganmu akan membuatku sulit menahan air mata yang telah mengalir deras ketika aku pergi itu, Ran. Sedikit pun, kamu tidak menghargaiku.
--
Cinta memang tak akan pernah selesai terdefinisikan, begitupun aku yang enggan melakukan itu. Aku pun tak tahu, Ran. Cinta seperti apa yang aku rasakan kepadamu. Mungkin hanya semu belaka, atau hanya sekejap mata, pikirku kala itu.
Senin, 5 Maret 2018
Sore itu, aku bertemu Ifa di taman kota. Kucurhatkan semua tentang kita padanya. Kamu tahu? Ifa menertawakan tingkahku.
"Dari awal, lo yang ngebiasain rasa itu hadir," seru Ifa sambil tersenyum miring padaku. Lagi, aku membenarkan ucapan Ifa. Sejak hari pelantikan OPTA, aku memperhatikanmu sepanjang waktu. Dan benih-benih harap itu mulai tumbuh di hatiku.
"Dis, gak usah ngungkit OPTA ke Zibran. Lo yang sakit ujung-ujungnya, udah cukup lo berusaha tujuh bulan ini. Diamin Zibran! Kita liat responnya gimana." Aku menelan ludah mendengar ucapan Ifa itu, meski hanya satu atau dua kata yang dapat kubicarakan denganmu, itu adalah sudah menjadi bahagiaku. Bagaimana jika aku benar-benar mendiamkanmu, Ran? Mungkin kamu baik-baik saja, tapi tidak dengan debaran rindu yang akan menyapa hatiku.
...
Senin, 19 Maret 2018
Dua pekan sejak aku mendiamkanmu atas saran Ifa. Sekali lagi, kamu benar-benar terlihat baik-baik saja, berbeda denganku yang sesekali mata ini tak tertahankan untuk tak menatapmu dibalik rak buku perpustakaan. Bibirku pun tak berhenti tersenyum ketika melihat tawamu bersama mereka di taman. Jika dibolehkan, aku ingin menjadi mereka yang bisa bersamamu, walau hanya sekedar teman.
Benar, sudah 14 hari. Aku benar-benar berhenti mengaitkan dirimu dengan jabatanmu sebagai Ketua. Tak ada lagi ajakan kecil untuk memintamu menghadiri meeting. Tak lagi kudengar bentakan ketika aku mengajukan berbagai pertanyaan. Tak ada lagi jawaban sinis saat aku mengajakmu berdiskusi. Tak ada lagi tatapan tajam yang mendebarkan. Meski dalam diam, aku terus memperhatikan.
Aku tetap menjadi Zahran Adisthi sang Wakil Ketua OPTA. Segala hal kulakukan tanpa campur tanganmu sebagai Ketua. 3 bulan menjelang penurunan jabatan kita, aku ingin berusaha keras menjaga organisasi agar tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Ran, pagi itu, aku menemukan dirimu yang berbeda. Mungkin benar kata Ifa, dirimu pagi itu adalah respon dari mendiamkanmu yang sudah 14 hari kulakukan. Ah, aku tak ingin besar kepala, Zibran.
Siang itu, aku menemukan tatapan tajammu di pintu kelas ketika aku bangkit dari dudukku. Inilah dirimu yang ku sebut ‘berbeda’. Kamu menatapku, dengan sudut mata yang tak kupahami artinya. Sebuah tatapan tajam, yang tak pernah kutemukan sebelumnya.
“Gak disapa orangnya?” tanya seseorang sambil menyenggol lenganku pelan. Aku terdiam dan kembali duduk, kaki ini lemas saat melihat tatapan itu, Ran.
“Zibran dari tadi bolak-balik lewat kelas kita dan selalu liatin lo. Lo terlalu serius belajarnya, Dis,” lanjutnya lagi yang membuatku merasakan debaran-debaran itu. Degub jantungku semakin cepat. Sedangkan kamu mulai berlalu dari hadapanku. Izinkan aku bertanya, mungkinkah kaurindu kala itu?
...
Selasa, 24 Maret 2018
Dua hari lagi, acara Pensi yang jadwalnya sebulan sekali akan diadakan. Hari itu, aku berkumpul dengan seluruh anggota OPTA untuk menuntaskan susunan acara Pensi. Dan hampir sebulan, aku benar-benar mengacuhkanmu, Ran.
“Lo yakin gak nanyain persetujuan Zibran dulu, Dis?” tanya Afik salah satu anggota OPTA kepadaku..
Aku menggeleng pelan sebagai jawaban pertanyaan Afik. Proposal Pensi pernah kuajukan padamu di perpuskaan, Ran. Dan hanya mendapat jawaban sinis itu darimu. Aku tertawa pelan, terkadang aku merindukan semua tingkah dinginmu padaku.
“Siapa bilang Disthi gak butuh persetujuan gue?’
Deg. Aku tak yakin dengan pendengaranku saat itu. Ah, ralat. Aku juga tak yakin dengan apa yang kulihat, kamu berdiri di depanku dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Kau mengenakan jas OPTA kita.
“Nah gitu dong, sebuah organisasi itu butuh pemimpinnya. Biar gak gampang roboh. Bagaikan ular, kemana pun kepalanya bergerak, badan sama ekornya selalu ngikutin. Karna kalo gak, bukan ular lagi namanya. Jadi Kuyang nanti, putus organ semua,” ucap Afik yang disambut gelak tawa anggota lainnya.
Ran, aku tak dapat berkutat sedikit pun siang itu. Aku menatapmu dalam, meyakinkan diri bahwa kau memang benar-benar Zibran. Rindu yang tertahan itu, akhirnya terlampiaskan. Menatapmu dengan jarak sedekat itu, kembali membuat jantungku berdetak tak karuan.
“Makanya, Zibran. Lo udah kayak Kuyang aja, Kepala tapi kemana-mana sendiri doang. Sekuat dan tegasnya Disthi, dia tetap butuh lo buat nanganin kita yang bandel-bandel ini,” saut seseorang yang kembali menghasilkan tawa seluruh anggota.
Kamu tertawa mendengarnya, Ran. Siang itu, aku melihatmu berdiskusi tentang Pensi kita. Kamu mengajukan berbagai saran yang disetujui yang lainnya. Seketika juga, denganmu di sini, OPTA terlihat penuh kekompakan. Aku hanya terseyum dalam diam, kubiarkan dirimu mengurus segalanya. Mengambil alih semua tugasmu yang sudah kau titipkan padaku 8 bulan terakhir ini. Meskipun aku belum mengerti, kenapa kamu tiba-tiba hadir diantara kami.
....
Senin, 27 Maret 2018
Malam itu biarlah menjadi satu-satunya kepingan bahagiaku denganmu. Sebuah bahagia yang bukan akhir dari kisah ini. Malam ketika ribuan gemintang menemani bulan dilangit sana. Ditengah kesibukan kita untuk malam penutupan Pensi, aku memberanikan diri bertemu denganmu. Dengan gemetar, aku memanggil namamu. Zibran Pratama.
“Ada apa?” tanyamu malam itu, dengan tatapan yang berbeda. Aku menemukan ketenangan di sudut sana.
“Persembahan terakhir nanti, bisa temani gue tampil?” tanyaku sambil memindahkan helaian rambut ke samping kupingku, pertanda bahwa aku benar-benar ragu.
Sambil tersenyum pelan, kepalamu terangkat mengiyakan. Aku tersenyum penuh sambil menikmati debaran-debaran itu, Ran. Kamu tahu, duet kita malam itu, adalah hal terindah dalam hidupku. Hingga kisah ini kutuliskan untukmu.
Sorakan para siswa semakin ramai ketika kita mulai menaiki panggung. Sejak tadi, kamu menggenggam erat tanganku. Sepanjang langkah kita, kau mengucapkan hal itu. Ucapan yang kukenang selamanya.
“Terima kasih. Karna ucapan lo saat itu, gue belajar bagaimana seharusnya jadi Ketua. Dan saat lo mendiamkan gue, gue sadar kalo udah terbiasa dengan kehadiran lo yang selalu menanyakan segala hal tentang OPTA.”
Senyuman terindah, itu yang kau berikan padaku di malam terkahir kita. Sebelum kau memainkan gitarmu dan aku menekan tuts piano, kau mengacak pelan rambutku yang terurai.
“I like your eyes you look away when you pretend not to care
I like the dimples on the corners of the smile that you wear
I like you more, the world may know but don't be scared
Coz I'm falling deeper, baby be prepared”
Aku sengaja memilih lagu itu untuk duet kita, Ran. Agar kamu tahu, seberapa besar aku mencintaimu. Nihilnya, aku tak menyadari. Bahwa mengajakmu duet, adalah kesalahan terbesarku.
“Love you every minute, every second
Love you everywhere and any moment
Always and forever I know I can't quit you
Coz baby you're the one, I don't know how”
Aku sangat mengingatnya, Zibran. Kamu mengambil bagian reef yang seharusnya kunyanyikan. Tatapanmu lekat terhadapku yang juga menatapmu karena kebingungan. Kamu menyanyikan lirik itu dengan senyuman, seakan bahwa bait-bait itu adalah sebuah ungkapan.
Malam yang benar-benar indah, begitu pikirku saat itu. Sebelum sebatang besi dari atap panggung jatuh tepat diatas kepalamu dan darah segar kusaksikan nyata di depan mataku. Sebelum kamu tersenyum kesakitan saat aku memapah kepalamu ke pangkuan. Sebelum sorakan bahagia siswa berganti sautan ketakutan.
....
Selasa, 18 Agustus 2020
Ya, kisah ini kutulis untukmu. Lelaki yang masih membayangi hari-hariku. Andai nanti, kisah ini sampai padamu. Kutitipkan rinduku pada dirimu di malam pentas itu. Dirimu yang seharusnya tak kuajak berduet dan membuatmu lupa akan kenangan kita.
Kamu tahu? Aku tetap menggantikanmu menjadi Ketua hingga akhir penurunan jabatan OPTA. Tanpamu di sampingku. Tanpamu yang hingga kini, belum juga mengingatku. Semenjak duet kita, kau kehilangan ingatanmu, Ran. Setahun perawatan, ayahmu memutuskan membawamu ke Australia, dengan alasan bahwa kamu akan memulai hidup baru di sana. Saat itu, aku mengikutimu ke bandara. Tanpa pengetahuanmu pastinya.
Ayahmu melihatku, Ran. Pria yang wajahnya begitu mirip denganmu itu memanggilku dan berkata, “Tetaplah menunggu, Zibran selalu nyebutin nama kamu sejak dia sadar, Disthi."
Ah, Zibran. Dua tahun sejak kamu tak lagi datang ke sekolah karena ingatan yang hilang, aku masih mencintaimu. Dan menunggumu adalah definisi cintaku.
Note:
Tulisan ini dikirim pada akhir Oktober 2021
Ditulis dan dipublikasikan di Wattpad pada Kamis, 04 November 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro