9. Olahraga Olahrasa.
Jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi tapi Nanang sudah bersiap di depan rumah Ranti, keduanya punya agenda untuk olahraga bareng, hal yang selalu ingin Ranti lakukan tapi berakhir menjadi wacana. Ranti keluar rumah masih dengan wajah mengantuk sementara Nanang terlihat segar duduk di atas sepeda yang Ida pinjam dari saah satu kenalan.
Nanang menyerahkan botol air putih yang urung diambil oleh Ranti, gadis itu malah memasang wajah bingung.
"Biar nggak dehidrasi, kan kita mau buang keringat. Kalau nggak stok air dulu dalam tubuh nanti bukannya sehat malah jadi penyakit." Nanang membuka tutup botol, meminumnya seteguk lalu menyerahkannya pada Ranti.
Ranti yang nyawanya masih setengah ketinggalan di dalam rumah, menerima botol itu lalu meminumnya. Keduanya lalu mulai mengayuh sepeda masing-masing menuju salah satu taman kompleks perumahan, embusan angin dingin membuat bulu kuduk Ranti meremang. Nanang menyamakan posisi sepedanya dengan Ranti, sesekali ia menoleh memastikan Ranti dalam kondisi aman.
Butuh 15 menit untuk sampai di taman kompleks, Nanang tampak sibuk dengan ponselnya begitu selesai menyandarkan sepeda.
"Pulang jam 1, Bang. Ini ada kegiatan lagi, udah sarapan semalam disisain nasi goreng sama Mas Wisnu masih enak."
Hening sebentar gantian Nanang yang mendengarkan lawan bicaranya.
"Nggak boleh bangunin sama Mas Wisnu, katanya Abang lagi capek banget."
Nanang mengandeng Ranti menuju kursi taman sementara sebelah tangannya yang lain masih memegang ponsel di telinga, hampir lima menit kemudian panggilan akhirnya berakhir dan Nanang terlihat tersenyum sambil menatap ponselnya.
"Bang Naka?" tanya Ranti yang duduk di kursi sambil memeluk lutut menghilangkan dingin. Meski belum pernah bertemu teman indekost Nanang, Ranti tahu beberapa dari unggahan cowok itu di sosial media dan cerita Nanang sendiri.
Nanang mengangguk, "Udah dua hari nggak ketemu, dikira lagi sakit di kamar atau ada urusan jadi nggak pulang. Udah kayak seksi keamanan kos dia." Nanang tertawa kecil membayangkan raut wajah Naka yang panik karena sepagi ini menggedor pintu kamarnya tapi tidak ada balasan.
"Kayaknya seru juga ngekost gitu, ya? Di rumah sendirian tuh sepi kadang-kadang." Ranti memperhatikan Nanang yang mulai melakukan gerakan pemanasan.
"Balik ke temen kos dan beberapa faktor lain, Ran. Aslinya di kosan juga sering gonjang-ganjing, kok. Contohnya kalau Uci mau jemur cucian tapi lantai tiga lagi dikuasai para cowok buat nongkrong, kemarin malah Bang Naka sama Mas Wisnu perang dingin juga, belum kalau pagi kadang rebutan kamar mandi." Nanang sesekali tertawa mengingat kelakuan warga kosan Bu Endang yang memang ajaib.
"Kalau aku nyoba ngekost juga gimana, ya? Kata kamu di sana masih ada yang kosong, kan?" Usul Ranti antusias.
"Kayaknya nggak bakal dikasih kalau tahu kita dekat, takut malah terjadi yang iya-iya." Nanang tersenyum jahil sambil menaik turunkan alisnya.
Ranti yang kesal mencoba menendang Nanang tapi tentu saja bisa dihindari dengan mudah.
"Pengen beli bubur." Ranti menunjuk tukang bubur yang berada tidak jauh dari sana.
Nanang menatap Ranti. "Belum mulai ini olahraganya."
Ranti bangkit lalu merenggangkan badan sementara Nanang memalingkan pandangan.
"Sebelum olahraga kita butuh ngisi bahan bakar," ujar Ranti lalu menyeret Nanang menuju tukang bubur.
Nanang tentu saja hanya bisa pasrah, kalau Ranti sudah bertitah memangnya dia bisa apa? Toh, hal yang diinginkan Ranti juga bukan hal yang berbahaya jadi ia pasrah saja digeret menuju tukang bubur.
"Kenapa tukang bubur jualan?" Tanya Nanang begitu keduanya duduk.
"Karena butuh duit?" Ranti menjawab sekenanya
"Salah, butuh duit mah aku."
"Terus?"
"Soalnya dia lagi nggak naik haji, kalau lagi naik haji kan berarti nggak bisa jualan hehehe," ujar Nanang sambil tertawa garing.
Untung saja bubur mereka segera diantar sehingga fokus Ranti beralih, kalau tidak bisa dipastikan kepala Nanang akan benjol kena getok botol kecap.
Kegiatan olahraga selesai ditandai dengan kenyangnya perut keduanya, jangan lupa dengan seplastik jajanan yang Ranti beli mulai dari beberapa keluarga aci seperti cimol, cireng, cilok sampai keluarga minuman seperti es kacang hijau. Ranti tertawa riang sambil mengayuh sepedanya, justru Nanang yang kebingungan karena ia mendadak sesak napas melihat senyum Ranti yang kelewat manis.
Rumah Ranti dilengkapi dengan taman kecil di bagian belakang, tempatnya cukup asri karena Ranti khusus mempekerjakan tukang kebun yang datang dua hari sekali untuk mengurus salah satu tempat favoritnya untuk menulis dan kini juga menjadi tempat favorit Nanang.
Nanang meratakan bulir cocopeat ke dalam kotak kayu, meski tangannya terus menguleni media tanam tapi pikirannya justru terbayang-bayang dengan senyum Ranti yang tiba-tiba saja muncul. Seolah belum cukup membuat Nanang sesak napas, sosok aslinya kini muncul di samping Nanang dengan posisi yang begitu dekat hingga Nanang bisa merasakan embusan napas Ranti yang mengenai tengkuknya.
"Ternyata beneran bisa jadi banyak, ya? Untung kemarin nggak beli banyak-banyak." Ranti kini ikut bergabung berjongkok di sisi Nanang dan mulai ikut meratakan cocopeat.
Nanang butuh beberapa detik sebelum akhirnya menyerahkan wadah berisi bibit sayuran dan tray semai pada Ranti.
Ranti menerima keduanya dan mulai mengisi tray dengan cocopeat.
"Satu lubang diisi berapa benihnya?" Tanya Ranti sambil membolak-balik wadah benih yang tidak disertai petunjuk lengkap.
"Bayam ya? Dua aja cukup deh kayaknya." Nanang membuka wadah benih bayam dan menyerahkannya pada Ranti dengan senyuman jahil.
"Ini? Kecil-kecil banget? Harus pakai tangan ?" Protes Ranti yang baru tahu bahwa benih bayam ternyata berukuran sangat kecil, Ranti yakin ukurannya hanya sebesar titik.
"Iya, pakai tangan. Emang segitu ukurannya." Nanang mengigit bibir menahan tawa melihat Ranti yang kebingungan cara mendapatkan dua benih saja untuk tiap lubang tray.
Ranti begitu fokus pada tugasnya mengisi tray, sejak dulu ia memang ingin memiliki kebun sayuran sendiri dan baru kali ini bisa ia wujudkan berkat bantuan Nanang.
Nanang menghentikan pekerjaannya dan malah sibuk mengamati Ranti yang begitu fokus, sesekali gadis itu akan menahan napas lalu menghembuskannya penuh kelegaan saat berhasil mengirimkan bibit dari wadah menuju tray semai.
Nanang tanpa sadar melarikan tangannya untuk mengusap kening Ranti yang berkeringat, hal itu membuat Ranti terkejut dan menjatuhkan benih yang berhasil ia dapatkan dengan susah payah.
"Kan jatuh," sungut Ranti sambil mencebikkan bibir.
Nanang yang tidak tega akhirnya mengambil sumpit, ia basahi sedikit ujung sumpit itu lalu menempelkan pada benih bayam, tampak beberapa benih berwarna kehitaman itu menempel, Nanang kemudian membuat lubang di tengah tray semai dengan sumpit lain lalu memasukkan sumpit berisi benih ke dalam lubang, kini benih-benih bayam itu sudah berpindah ke dalam tray semai.
"Itu lebih dari dua? Nggak kebanyakan? Gimana cara pisahinnya?" Ranti menunjuk pada benih bayam dan tray semai bergantian.
"Nggak usah dipisahin, belum tentu itu nanti semuanya tumbuh akar," sahut Nanang santai sambil melakukan pekerjaannya.
"Terus? Aku dari tadi ngapain?" Ranti melotot, sebentar lagi api akan keluar dari lubang hidung gadis itu.
Nanang menatap Ranti sambil tersenyum manis, tangannya meraih kepala gadis itu lalu mengusapnya.
"Aku iseng tadi, maaf ya?" Ujar Nanang seraya memamerkan lesung pipinya.
Ranti masih cemberut tapi kali ini ia tidak lagi kesal karena dikerjai Nanang, ia justru kebingungan karena jantungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang. Dasar anak muda.
Jumlah kata 1113
31 Agustus 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro