18. Tertangkap Basah, Kuyup Pula.
Ranti dengan cepat memarkirkan mobilnya ke samping jalanan setelah melihat motor Nanang ada di parkiran, ia segera turun dan menuju ruang tamu karena pintu terbuka lebar. Beruntung orang yang ia cari tampak tengah duduk di ruang tamu jadi Ranti tidak perlu membuat kehebohan yang tidak perlu.
"Nang? Kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya."
Nanang langsung membuka matanya begitu mendengar suara Ranti, ia ingin kabur tapi rasanya sudah tidak ada tenaga lagi.
"Apa lagi yang mau kamu jelasin, Ran? Fakta kalau kamu orang suruhan Angraeni?" Nanang mencoba menekan emosinya. Dalam seminggu ini, sudah berkali-kali ia lepas kontrol dan membuat warga kosan yang lain khawatir.
Kayla bahkan sudah diungsikan ke rumah Bu Endang karena warga lainnya khawatir tentang bocah itu, untungnya Bu Endang menerimanya dengan baik bahkan merasa senang karena memiliki teman di rumah saat Ayu sedang sekolah.
"Aku emang kenal sama ibumu tap-"
"Jangan sebut wanita yang nggak mengakui aku itu sebagai ibuku, Ran. Kamu harusnya tahu fakta itu kalau hubunganmu sampai sedekat itu dengan keluarga Dinata." Nanang mengintrupsi pernyataan Ranti.
"Oke-oke. Beliau salah satu investor di penerbitku, kami ketemu juga di acara keluarga dan diperkenalkan sebagai calon menantu dan ibu mertua, rencana perjodohan itu emang bener tapi aku awalnya menolak." Ranti duduk di kursi sementara Nanang masih bersandar di tembok dengan sebelah tangannya yang menutupi wajah.
Tidak ada sahutan tapi Ranti tahu Nanang mendengarkan jadi ia melanjutkan penjelasannya.
"Kamu tahu kehidupan ningrat ini begitu banyak aturan dan aku nggak mau terus berada di lingkaran ini atau pun meneruskan lingkaran setan ini ke anak-anakku nanti, aku sama muak nya dengan nama baik keluarga yang diagungkan itu."
"Awalnya aku mikir gitu sampai aku lihat kamu di acara wisuda temenmu, si Wisnu ya? Terus dari info beberapa kenalan di kampus, mereka bahkan nggak tahu latar belakang keluargamu. Aku pikir kamu beda dan aku juga butuh bantuan waktu itu."
"Bantuan buat jadi pacar sewaan?" Nanang mendecih, ia lekas bangkit dan menuju kamarnya tapi Ranti tidak mau mengalah dan justru mengikutinya.
"Mirip. Kamu bukan satu-satunya yang dijodohkan ke aku, keluargaku terlalu nggak sabar dan secepatnya pengen aku nikah. Aku nggak ada yang cocok sama calon lainnya, cuma kamu yang menurutku satu pemikiran sama aku." Ranti sengaja memelankan suaranya di beberapa kalimat terakhir, rasanya canggung karena ia sendiri juga heran dengan ide bodohnya saat itu.
Satu hal yang tidak Ranti ketahui, Nanang sempat tersenyum mendengar pengakuannya, hanya sekilas sebelum akhirnya Nanang sadar bahwa ia telah dipermainkan dan bisa saja kali ini juga demikian.
Nanang tiba di kamarnya masih dengan Ranti yang mengekori, berdoa saja tidak ada warga kosan yang melihatnya atau Nanang bisa langsung dipulangkan ke Solo oleh Naka dan yang lainnya. Nanang akhirnya menatap Ranti yang ttap terlihat cantik meski rambutnya sedikit berantakan dengan titik keringat di wajahnya.
"Makasih penjelasannya tapi aku nggak butuh semuanya, sekarang kamu bisa pergi. Di sana pintu keluarnya." Nanang menunjuk pintu yang terbuka lebar lalu beranjak menuju dispenser untuk mengambil minum.
"Aku serius, Nang. Aku emang salah karena udah bohongin kamu tapi aku sadar kalau aku nyaman sama kamu. Tolong kasih kesempatan buat kita perbaiki semuanya," ucap Ranti sambil menahan lengan Nanang yang hendak berbalik.
"Apanya yang mau diperbaiki? Dari awal semuanya udah salah, Ran. Aku ke kamu ya karena butuh duit aja, sama kayak kamu lihat aku sebagai alat untuk kabur dari perjodohan." Nanang berusaha melepaskan tangan Ranti tapi gengaman gadis itu begitu kuat.
Nanang yakin dengan tenaganya ia mampu menghempaskan Ranti dengan sekali percobaan tapi ia takut, takut akan menyakiti gadis itu seperti tempo hari saat ia hilang kendali tapi terlalu lama bersama Ranti pun membuatnya takut hilang kendali.
"Awalnya, sekarang aku serius, Nang. Kasih aku kesempatan buat buktiin omongan aku, Nang. Kita bisa mulai semuanya tanpa embel-embel keluarga, cuma aku sama kamu aja."
"Aku capek, Ran. Aku terlalu sering ditipu dan dikecewakan sama harapanku sendiri. Aku pengen menerima semuanya gitu aja tapi ada sisi lain yang bikin aku nggak bisa percaya kamu. Kalau pun kali ini kamu tulus, aku takut justru aku yang gantian memanfaatkan kamu." Nanang melepaskan tangan Ranti dari lengannya, ada rasa kehilangan saat Nanang melepas genggamannya pada tangan Ranti.
Ranti tidak ingin menyerah, terlepas dari rencana perjodohan atau kontrak sialan yang batal saat salah satu diantara mereka jatuh cinta, ia hanya ingin bersama Nanang tanpa peduli persoalan lainnya.
"Kenapa sih kamu keras kepala banget? Aku suka kamu, kamu juga suka sama aku. Terus apa lagi masalahnya? Tolong berhenti menyakiti dirimu sendiri dengan prasangka buruk itu, Nang. Kamu tinggal lupain itu semua dan kita mulai dari awal." Ranti menangkupkan kedua tangannya di sisi wajah Nanang memaksa pria itu untuk fokus menatapnya.
Nanang yang tidak pernah mendapat perlakuan demikian membatu, ia tahu ini salah tapi hangatnya tangan Ranti yang berada di pipinya begitu menenangkan kalau saja Ranti tidak mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Berhenti? Kalau semuanya semudah kamu ngomong aku nggak akan membatalkan perjanjian kita, pikirmu kenapa aku milih selesai? Aku takut malah nyakitin kamu, aku nggak tahu cara memperlakukan wanita. Ayahku kawin cerai selingkuh sampai nggak kehitung, bagi bunda aku cuma penghalang mimpi-mimpinya, orang yang ku panggil ibu harus keguguran dan diangkat rahimnya gara-gara aku."
"Lihat kan? Terlalu banyak masalah cuma dengan kehadiranku, aku udah baik kasih kamu kesempatan buat nggak mengalami kesialan karena dekat-dekat sama aku." Nanang berusaha melepaskan tangan Ranti dari sisi wajahnya dan menarik gadis itu keluar dari kamarnya.
"Emangnya kamu siapa? Seenaknya mikir kalau semua ini salahmu? Terserah kalau kamu nggak mau barengan sama aku tapi stop pikiran buruk itu, Nang. Itu racun di otakmu," ujar Ranti sambil menghempaskan tangan Nanang yang berusaha menariknya keluar kamar.
"Iya, aku beracun jadi kamu jangan dekat-dekat aku. Kamu harus tahu aku bisa aja jadi kayak ayahku dan berakhir menyakiti kamu jadi sebelum itu terjadi lebih baik kita nggak saling kenal karena aku cuma bawa sial-"
"Sekali lagi kamu ngomong bawa sial aku bakal melakukan hal yang tidak senonoh di sini!" Ancam Ranti karena muak dengan kalimat Nanang. Memangnya pria itu pahlawan super yang harus selalu sedia menyelamatkan dunia dan bertanggung jawab atas invasi alien?
"Ini kamarku dan kamu nggak aku kasih ijin untuk berada di sini," ujar Nanang sambil berusaha menarik Ranti keluar kamar tapi gadis itu malah duduk di atas ranjang.
"Coba aja kalau kamu berani usir aku," tantang Ranti tak mau kalah. Kalau ada yang harus diperbaiki, itu pasti pola pikir sialan milik Nanang yang selalu menyalahkan diri sendiri itu.
"Bangun! Nanti ketahuan warga kosan yang lain jadi perkara. Kamu harus cepat menjauh sebelum kena sial dari aku." Nanang berusaha menarik Ranti tapi gadis itu memberontak.
"Aku bahkan bisa teriak biar mereka langsung datang." Ranti berusaha mengigit tangan Nanang yang masih berusaha menariknya untuk bangkit dari kasur.
"Keluar! Dekat-dekat sama aku bikin kamu sial." Nanang masih mengulang kalimat yang sama. Ranti terus memberontak tapi tentu tenaga Nanang lebih besar, dengan cepat ia mampu menahan keduanya tangan Ranti yang berusaha mencakar Nanang.
"Boleh kita akhiri semuanya di sini, Ran? Aku beneran capek, aku sayang kamu tapi terlalu takut buat sama kamu. Kamu nggak bisa berharap sama aku, Ran. Aku nggak bisa ngasih janji atau impian bersama kalau aku sendiri bahkan belum bisa berdamai sama pikiranku," ujar Nanang lembut sambil menatap Ranti.
"Kenapa sih, Nang? Kenapa harus serumit itu?" Suara Ranti terdengar bergetar.
"Karena aku serumit ini jadi aku nggak bisa sama kamu. Aku nggak mau nyuruh kamu nunggu karena takut jadi harapan palsu, jadi kamu cukup lupain aku."
Ranti mencebik lalu air matanya turun begitu saja, ia sudah membuang semua harga dirinya untuk mengatakan isi hatinya kepada pria sialan bernama Nanang yang juga memiliki perasaan yang sama, lalu kenapa mereka tidak bisa bersama?
"Kamu jahat."
"Iya, aku nggak apa-apa jadi jahat asal kamu bisa lupa bahkan benci ke aku." sahut Nanang sekenanya.
"Kamu nggak sayang aku kan? Kamu cuma kasian?" Tuduh Ranti kemudian.
Nanang membuang napas keras-keras, "Aku sayang kamu terlepas dari perjanjian atau rencana perjodohan keluarga kalau itu yang pengen kamu tahu. Jawabanku juga masih sama, aku nggak bisa sama kamu karena aku takut nyakitin kamu."
"Maaf bikin kamu nangis," ujar Nanang sambil menghapus air mata Ranti, kenangan yang ingin ia ingat bukan tentang gadis yang ia cintai ini berurai air mata tapi Nanang harus mengeraskan hatinya untuk tidak tergoda berusaha memiliki Ranti.
Dengan bantuan Nanang, Ranti akhirnya bangkit dan duduk di pinggir kasur. Nanang mengambil tisu di nakas dan menyerahkannya pada Ranti yang masih terus saja menangis.
"Jadi kita nggak bisa barengan?" tanya Ranti dan Nanang menggeleng tegas.
Ranti menunduk sementara Nanang bersimpuh di hadapannya, diraihnya wajah Ranti dengan tangan kanan seraya menghapus air mata yang kembali turun.
"Makasih untuk semuanya, Ran. Semoga kamu menemukan orang yang tepat." Nanang ingin menarik tangannya tapi Ranti menahannya di sana.
Keduanya bertatapan dan Nanang mengikuti tangan Ranti yang menuntunnya untuk mendekatkan wajah, ini kali pertama dan Nanang terbawa suasana hingga ia merasa sesuatu yang kenyal dan hangat di bibirnya. Hanya dua detik, karena didetik ketiga Nanang terlonjak dari tempatnya diikuti gebrakan di pintu.
"Raden Mas Djoko Lanang Suyanto Narapati Dinata!"
"Nanang!"
"Brengsek!"
Suara Mas Ilham, diikuti Wisnu dan umpatan Naka terdengar dari depan pintu.
"Nggak ngapa-ngapain, Mas, Bang. Sumpah! Baru nempel, dikit! Keburu Abang sama Mas masuk." Nanang mendekatkan jari telunjuk dan ibu jarinya memberi penjelasan jarak kedekatan yang ia maksud.
"Terus kalau kita nggak masuk mau nempel sampai mana? Gue telponin ibu lo ya?"
"Gue kan udah bilang tamu cuma di ruang tamu."
"Gue laporin Bu Endang ya."
"Nggak ngapa-ngapain, Mas. Bang Naka jangan bawa-bawa ibu." Nanang langsung bangkit dan berusaha mendekati ketiga tetua kosan.
"Ran, bantu jelasin ke mereka," ujar Nanang dan kini seluruh padangan tertuju padanya. Sebuah ide berlian terlintas di otak Ranti, kalau tidak bisa diajak bicara biar sekalian dijebak saja.
"Bisa-bisanya kamu bilang nggak ngapa-ngapain setelah aku kasih semuanya?" Pekik Ranti sambil menangis yang tentu saja air mata buaya.
"Kan!"
"Nggak cukup dijewer ya!"
"Gue aduin ibu lo ya."
Jumlah kata 1630
Senin, 28 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro