Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Harta, Tahta, Aduh... Cinta.

"Tuhan itu udah menciptakan mulut buat ngomong dan otak buat mikir, nggak cuma ngasih lo tangan yang bisa digunakan sebebasnya." Wisnu merepet sambil mengobati tangan Nanang yang lecet.

Jejak air mata masih menggenang di pipi Nanang, sesekali bahkan masih menetes tapi kali ini ia menangis karena terharu dengan perhatian warga kosan. Banyak hal-hal yang Nanang rindukan begitu jauh dari rumah dan ia mendapatkannya dari kosan yang hanya tempat tinggal sementara ini, Nanang kembali merasakan omelan penuh perhatian yang dulu kerap membuatnya kesal namun sekarang jadi salah satu hal yang paling dia rindukan.

"Gue masih pengen ngoceh tapi nggak tega ngeliat muka bonyok lo ini. Lagian sekencang apa Naka nonjoknya? Lo juga udah tahu abang lo paling nggak bisa kasar ke adeknya, tinggal nurut aja lo kalau dipanggil noleh malah gegayaan. Untung kagak ditimpuk pake galon kosan," lanjut Wisnu lalu menyapukan obat merah di sudut bibir Nanang yang robek.

"Jangan mindak-mindik kayak maling kebelet boker, sini maafkan kalian. Terserah mau siapa yang minta maaf duluan, nggak yang tua nggak yang muda sama aja." Wisnu menunjuk Naka yang mengintip dari dapur, kuncen kosan itu pun bergeser menuju ruang tamu lalu duduk di sofa di samping Nanang.

"Maafin Abang ya, Nang. Gue nggak akan ngasih pembelaan karena gue tetep salah udah nonjok lo." Naka mengulurkan tangan tapi Nanang justru memeluknya.

"Nggak, Bang. Gue yang salah, gue yang lepas kendali. Abang boleh pukul lagi, Bang. Maaf selalu nyusahin Abang dan warga lain-"

"-jangan ngomong gitu. Gue lebih salah sebagai yang tertua gue nggak peka sama masalah warga lain-"

"-nggak, Bang. Tetep gue yang lebih salah."

Dua manusia itu masih terus sahut menyahut tak mau kalah, Wisnu membiarkan dua orang itu saling merenungi perbuatannya selama tidak berujung baku hantam jilid dua maka semuanya aman. Wisnu kemudian membereskan peralatan yang ia gunakan untuk membersihkan luka Nanang dan menyimpannya di dapur.

"Naka, Lanang, tolong jelasin kenapa Mas harus pulang jam 4 sore karena telepon darurat tentang kalian yang gebuk-gebukan?" Ilham muncul dari pintu, ia segera mengambil tempat duduk di sofa sementara Nanang semakin mempererat pelukannya pada Naka.

"Bang, gue lebih salah tapi tolong lindungin gue dari Mas Ilham, Bang. Nanti gue cariin dukun buat melet Ayu," ujar Nanang sementara Naka menjitak adik kosannya itu.

"Lepas. Gue kira udah tobat malah makin-makin kelakuan lo, sini gue gebuk lagi."

"Nanang! Naka!"

Wisnu mencegah Ranti yang hendak keluar dari dapur untuk menengahi prahara di ruang tamu dan menyuruh gadis itu kembali duduk menikmati teh hangatnya, Wisnu bahkan menyodorkan satu kantong cemilan.

Uci ikut bergabung di dapur, "Mas Ilham itu tahta tertinggi kosan, Kak. Semut lewat mau nyolong gula juga lihat Mas Ilham yang lagi serius gitu langsung puter balik ganti nyolong garam dia."

Ranti tersenyum meski ia masih merasa khawatir, ada banyak hal yang ingin ia sampaikan tapi nanti saja, ia bisa menunggu hingga Nanang menyelesaikan badai dalam pikirannya.

"Semuanya aman kalau udah ada Ilham." Imbuh Wisnu menenangkan Ranti yang kelihatan cemas tapi justru Wisnu yang cemas melihat Naka yang melipir ke lantai dua.

Setelah memastikan Nanang aman bersama Ilham dan Ranti yang ditemani Uci, Wisnu kemudian bangkit menuju lantai dua, ada satu lagi manusia yang harus ia obati di atas sana tapi langkahnya terhenti begitu mendengar suara Naka disusul Ayu yang terdengar mengomel. Wisnu urung melanjutkan langkahnya dan memilih menunggu di tangga atau kembali ke dapur, begitu rencananya tapi Wisnu dikejutkan dengan Ayu yang hampir menabraknya.

"Maaf, Mas." Suara Ayu terdengar bergetar.

Wisnu mempercepat langkahnya menghampiri Naka, "Lo apain Ayu?" tanya Wisnu penuh penekanan.

***

Suasana mobil begitu hening, Nanang fokus mengemudikan mobil sementara Ranti masih terlalu takut untuk memulai pembicaraan. Setelah adegan ceramah dan kena jewer Ilham, akhirnya Nanang diijinkan untuk mengantarkan Ranti pulang karena memang ada beberapa hal yang harus mereka bicarakan. Uci yang sedang tidak ada jadwal magang berbaik hati akan menjaga Kayla sehingga Nanang bisa pergi dengan nyaman, mobil sudah tiba di pelataran rumah Ranti tapi keduanya masih betah duduk di tempat masing-masing.

"Maaf." Hanya satu kata itu yang Nanang ucapkan.

Ranti berusaha meraih tangan Nanang tapi pria itu justru menjauhkan tangannya, tangan Ranti mengantung di udara tapi ia mencoba memahami mungkin Nanang masih butuh waktu.

"Aku juga minta maaf ya? Ada ego nggak mau kalah yang udah mengakar disifatku, aku nggak sadar kalau itu bikin kamu terluka." Ranti menatap lurus ke depan, ia bisa melihat Nanang yang kini menoleh ke arahnya tapi Ranti tidak ingin menatap pria itu, Ranti tahu pertahanannya akan goyah.

"Aku yang minta maaf karena kamu sampai terseret ke masalah pribadiku," Nanang menjeda ucapannya. "Novelmu udah sampai mana?"

Untuk sesaat Ranti tercekat, dari sekian hal yang bisa mereka bicarakan ia sama sekali tidak ingin topik ini yang diangkat. Ranti menunduk membiarkan helai rambutnya menutupi wajah, rasanya ia ingin bersembunyi karena ia sama sekali tidak menyukai situasi ini tapi ia juga ingin menatap Nanang karena bisa jadi ini kali terakhirnya bersama pria itu.

"Ran? Tadi yang kamu ketemuan sama editor kamu itu ngasih novelnya kan? Udah diterima ya berarti?"

Renti menganguk, harusnya ia merasa senang karena mimpinya untuk dipinang penerbit impiannya terwujud tapi ia juga tidak ingin novel itu cepat selesai.

"Kalau gitu, perjanjian kita udah bisa diakhiri, kan? Maaf kalau selama menjalankan tugas aku banyak kurangnya," ujar Nanang seraya melepaskan sabuk pengaman.

Tekad Nanang sudah bulat, ia harus mengakhiri perjanjian kerja sama atau hal lain yang berhubungan dengan Ranti, bukan karena ia tidak suka tapi Nanang harus melepaskan gadis itu sebelum Nanang berubah menjadi seperti Suyanto. Nanang hendak turun dari mobil, ia menghadap Ranti yang masih menunduk padahal Nanang ingin menatap wajah wanita itu untuk ia ingat dalam kenangannya.

"Aku pamit, ya. Jaga kesehatan dan semoga sukses selalu semua urusan kamu." Nanang mengangkat tangannya hendak mengusap kepala Ranti tapi ia urungkan, Nanang takut tangannya akan menyimpan memori tentang Ranti yang membuatnya semakin susah melupakan gadis itu tapi sisi hatinya yang lain ingin menyimpan sebanyak-banyaknya kenangan tentang Ranti.

Nanang turun dari mobil, ia beberapa kali menoleh ke belakang berharap bisa melihat wajah Ranti untuk yang terakhir tapi Ranti masih juga tidak keluar dari mobilnya. Nanang memandang seluruh bagian rumah Ranti, ia akan mengingatnya baik-baik karena semua ini bagian kenangannya dengan Ranti.

"Lepasin, Nang. Dia cewek baik-baik, dia punya segalanya, dia nggak pantas menderita sama lo." Nanang terus mengulang kalimat itu dalam hati sambil meninggalkan pelataran rumah Ranti.

Nanang mungkin tidak berpengalaman tentang cinta tapi ia jelas tahu perasaannya saat ini, rasa sesak yang harus ia telan karena terlalu takut jika cintanya justru melukai Ranti. Nanang mencoba mengingat, sejak kapan hatinya mulai merespon Ranti dengan berbeda. Sejak naik gunung bersama? Berkebun? Kencan di taman? Ah. Nanang tertawa getir, rupanya ia sudah menyukai Ranti sejak kali pertama gadis itu mencuri kartu identitasnya.

Ponsel di saku Nanang berdering, ia sempat mengira itu adalah Ranti yang meminta Nanang untuk tinggal meski ia juga tahu dengan kemampuannya untuk memastikan gadis itu tidak terluka karenanya. Senyum Nanang pudar begitu melihat si penelepon, untuk sejenak ia merutuki si hati yang sempat berharap itu Ranti.

Jumlah kata 1152

Kamis, 3 Oktober 2924

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro