13. Tamu Kosan atau Tamu Hati?
Nanang melirik ke kanan dan kiri, setelah memastikan situasi aman ia segera berlalu ke dapur menghampiri Wisnu yang sedang memasak sayur sop untuk Kayla, Nanang tentu merasa sangat senang dengan niat baik Wisnu dan warga kosan yang lain terhadap Kayla. Toh hasil racikan Wisnu cukup bisa dipercaya, kecuali kalau itu Uci sudah pasti Nanang akan mengurung Kayla di atas menara supaya lambungnya tidak teriritasi dengan resep ajaib Uci.
"Ngapain?" Wisnu keheranan melihat Nanang yang bersandar di tembok sambil memeganggi dadanya.
Nanang tidak langsung menjawab tapi lagi-lagi ia melirik sekitar sebelum akhirnya merapat ke arah Wisnu.
"Temennya kenapa itu, Bang? Senewen mulu, mau gue beliin kiranti tapi dia kan nggak mungkin datang bulan," sahut Nanang sambil mengambil mangkok kecil.
"Paling stres abis sempro atau gara-gara Ayu dianterin temennya." Wisnu terpaksa bergeser karena Nanang tiba-tiba mengambil sendok sayur dan mengisi mangkoknya dengan sayur sop yang baru matang.
"Gue masak dikit doang buat Kayla, jangan langsung diabisin." Pesan Wisnu pada Nanang yang mulai mengipasi mangkoknya dengan tangan.
Wisnu geleng-geleng kepala, kalau dari kemarin ia melihat sosok Nanang yang begitu dewasa di hadapan Kayla dan pengacara keluarganya, pagi ini Nanang kembali jadi sosok tengil yang suka cari perkara. Contohnya dengan menengak kuah sop yang baru matang dan berakhir kepanasan, untung Wisnu penyabar kalau nggak bisa-bisa Nanang sekalian dicemplungin ke dalam sop biar jadi tambahan kaldu.
"Lidah gue ntar dulu deh, Mas. Temen lo lebih gawat," ujar Nanang sambil melet-melet kepanasan.
"Naka? Emang kenapa dia? Kan abis sempro." Wisnu membuang sampah bekas masaknya sambil membersihkan beberapa area dapur.
"Emang temen lo Bang Naka doang? Mas Ilham loh." Nanang berbisik takut jika manusia yang jadi topik pembicaraan itu tiba-tiba muncul.
Wisnu selesai membersihkan area dapur, kini ia duduk di kursi sambil menuangkan air putih untuk Nanang. Sungguh perhatian memang warga kosan Bu Endang ini, kalau Nanang punya saudara perempuan pasti akan ia kenalkan pada Wisnu.
"Paling masalah kerjaan. Kenapa emang?"
"Nggak mungkin kerjaan. Itu orang udah kayak penunggu lantai dua, sebelum berangkat kerja bengong depan pot kembangnya, pulang kerja nggak ganti baju langsung bengong depan si mawar lagi. Tadi di grup juga tumben galak amat. Nggak ada cerita apa gitu, Mas?" Nanang bertanya dengan ragu-ragu.
Wisnu tersenyum lalu menuangkan air putih untuk ia minum, ditatapnya Nanang yang tampak salah tingkah.
"Kenapa? Lo mikirin apa?"
Nanang meringis, ternyata Wisnu cukup peka dengan kegalauannya.
"Gue takut Mas Ilham lagi kangen keluarganya. dia juga ngeliat Kayla gitu banget. Gitu banget yang positif ya, Mas. Cuma gimana ya?" Nanang menggaruk kepalanya kebingungan.
Wisnu mengambil mangkok Nanang yang sudah kosong lalu sekalian mencucinya, ia menatap Nanang yang masih duduk sambil menerawang langit-langit dapur.
"Nang, setiap orang itu punya permasalahannya sendiri. Kadang ada yang bisa dibagi, kadang emang cuma bisa disimpan sendiri. Pastinya, lo sama sekali nggak bertanggung jawab untuk tindakan orang lain."
"Kita senang sama Kayla terlepas hal yang dia alami, dia cuma anak kecil yang harusnya masih menikmati dunianya. Ilham, Naka, bahkan gue atau warga kosan yang lain sama sekali nggak keberatan dengan Kayla jadi losama sekali nggak ngerepotin kita. Kalau soal kembang, kenapa nggak lo langsung tanyain ke Ilhamnya?" Wisnu menunjuk Ilham yang baru keluar kamar dan menuju area dapur.
Nanang tentu saja langsung kicep, daripada berhadapan langsung dengan Ilham yang lagi mode senggol bacok ia pun memilih kabur ke kamar.
Sesuai pengumuman Nanang tadi pagi tentang kedatangan tamu, siang ini Ranti sudah duduk manis di kursi ruang tamu ditemani satu teko berisi es sirup dan beberapa makanan ringan. Kayla yang sudah nyaman dengan Ranti tampak asyik mewarnai buku bergambar yang dibelikan warga kosan, Kayla sudah memiliki banyak buku bergambar atau jepit-jepit lucu yang semuanya dihadiahkan oleh warga kosan. Saking banyaknya jepit Kayla, Nanag bahkan diam-diam berniat menjualnya di toko daring tapi niat itu gagal karena lebih dulu ketahuan Pia dan Uci.
Sementara Ranti dan Kayla sedang sibuk berdua, Nanang tampak serius di depan laptop menyusun tugas kuliahnya. Harusnya Nanang sudah mulai masuk semester 7 dan memulai skripsi tapi hal itu tertunda karena beberapa nilainya yang kebakaran di dua semester sebelumnya dan tetap tidak tertolong meski sudah dibantu perbaikan.
"Nang, Kayla udah ngantuk." Ranti memberi kode, Kayla tampakmengucek matanya sambil sesekali tetap mencoba terjaga.
Nanang melirik jam dinding. "Jam dua emang jamnya tidur siang, sih. Tunggu bentar, ya? Warga sini baik-baik kok, nggak gigit paling nyakar," gurau Nanang lalu berlalu ke kamar dengan Kayla digendongannya.
Ranti hanya tersenyum, saat pertama datang tadi ia sudah berkenalan dengan beberapa warga kosan yang kebetulan tidak ada kegiatan. Kesan pertama Ranti terhadap warga kosan cukup menyenangkan, pantas saja Nanang begitu betah tinggal di kosan ini. Selain lingkungannya yang aman dan bersih, seluruh penghuni kosan juga ramah dan baik hati, setidaknya begitu yang dipikirkan Ranti.
Lima belas menit kemudian Nanang keluar dari kamar setelah berhasil menidurkan Kayla, pemuda itu kini duduk di hadpan Ranti yang juga sibuk dengan laptopnya menyelesaikan novel terbarunya.
"Anah, bidadari mana ini yang lo colong selendangnya?" ujar Naka sambil meletakkan enam kardus pizza di atas meja.
Biasanya Nanang akan langsung membalas tapi cowok itu lagi mode sok 'dingin' di depan Ranti, jadi Nanang hanya mengirimkan tatapan maut menanggapi gurauan Naka yang tunben iseng.
"Eh...mas...bang? Gimana ya gue manggilnya?" Ranti kebingungan. Secara usia tentu ia lebih tua dari Naka tapi Nanang kan memanggil tetangga kosnya itu dengan sebutan Abang.
"Naka aja boleh, pengen dipanggil sayang tapi kasian dedek Nanang." Naka tersenyum yang menurut Nanang sok manis, pokoknya salah aja Naka bertingkah di depan Ranti menurut Nanang. Kalau nggak otomatis, rasanya Nanang ingin Naka jangan napas sekalian di hadapan Ranti.
"Oke, Naka. Ini pizza-nya bagi-bagi ke warga yang lain juga ya? Satu aja yang taruh sini, ini yang nggak pedas nanti buat Kayla. Lainnya bawa aja ke dapur atau ke atas, mungkin sungkan kalau ngambil ke sini," ujar Ranti sambil memisahkan pizza untuk Kayla.
"Wah, kalau ada makanan tuh nggak boleh sungkan, Kak." Tiba-tiba Pia muncul dari balik tangga diikuti warga lantai dua yang lain.
"Ini itung-itung ganti martabak Uci yang kemarin Mas Nanang colong ya?" Uci tidak mau kalah menggoda Nanang.
"Sering-sering main ke sini ya, Kak. Kosan jadi damai Mas Nanang nggak bikin ulah," ujar Pia lagi lalu bertos ria bersama Naka dan yang lainnya.
Ranti dengan mudah membaur dengan warga kosan, tinggal Nanang yang masih sibuk dengan laptopnya sambil menekan papan ketiknya keras-keras. Naka tidak sengaja bertemu pandang dengan Nanang, terlihat pemuda itu berkomat-kamit.
"Ajak yang lain ke dapur, Bang." Nanang berbicara tanpa suara, Naka sebenarnya paham dan mengerti tapi sesekali ingin mengerjai biang onar kosan ini.
"Apa, Nang? Pizza-nya kurang? Mau disuapin? Sama abang atau siapa?" ujar Naka cukup kencang sementara Nanang langsung menunduk.
"Kamu kenapa? Mau aku suapin?" Tanya Ranti sambil menyodorkan sepotong pizza.
"Cieee....." Kompak warga kosan bersuara. Sungguh malang emang nasib Nanang, niatnya pengen diapelin 'ayang' eh jadi bulan-bulanan.
jumlah kata 1114
Sab, 28 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro