10. Fiksi atau Nyata?
Nanang meletakkan segelas jus jeruk di meja yang diterima Ranti sambal tersenyum manis dan berterimakasih, pria itu kemudian duduk di samping Ranti sambil memainkan ponsel, sesekali ia melirik ke arah Ranti yang tengah menulis episode terbaru dari ceritanya di laptop.
"Akhirnya selesai beban hidup ini," teriak Ranti penuh kememenangan setelah berhasil mengungah bab terbaru ceritanya.
Ranti meletakkan laptopnya menjauh, ia melemaskan otot-otot leher kemudian meminum jus jeruk hingga tandas setengahnya. Senyum gadis itu merekah, ia tidak hanya berhasil menyelesaikan satu bab tapi bahkan hingga tiga bab untuk tabungan tiga hari ke depan, otaknya mulai memikirkan rencana yang harus dilakukan untuk kegiatan 'gabut'nya nanti.
"Kamu udah senggang?" Nanang meletakkan ponsel sambil menatap Ranti yang menganguk.
"Boleh kita ngobrol hal yang serius?"
Ranti yang menyadari ada perubahan pada nada bicara Nanang langsung meletakkan gelasnya dan mengubah posisi duduknya menghadap pria tersebut.
"Ngobrol tentang apa?"
"Banyak yang aku mau tanyain tapi hal yang paling bikin aku penasaran ya alasan kamu. Royalti penulis bukan hal yan bisa dijadikan sumber pemasukan, mungkin berbeda karena kamu penulis novel online tapi dengan semua hal yang kamu miliki saat ini rasanya kurang pas," jelas Nanang dengan bahasa sehalus mungkin.
Nanang tidak ingin meremehkan pekerjaan seseorang, ia tidak pernah tahu kesulitan yang dihadapi orang lain karenanya Nanang tidak ingin pertanyaannya hari ini menyinggung Ranti tapi ia perlu tahu. Mungkin rasanya terlambat jika Nanang baru memikirkan hal ini sekarang, mengingat pundi-pundi uang yang Ranti keluarkan untuk keluarganya sudah cukup banyak meski ia baru satu bulan bekerja.
Ranti mengambil laptop dan ponselnya, ia tampak mengotak-atik dua benda tersebut lalu menunjukkannya pada Nanang.
'Itu bayaran yang aku terima sebagai penulis novel online. Ini untuk satu cerita sesuai kebutuhan mereka sementara aku punya dua cerita." Ranti menggeser layer ponselnya hingga muncul aplikasi lain. "Itu dari satu aplikasi sementara aku aktif di tiga aplikasi, ada yang satu cerita ada yang dua cerita." Ranti menujukkan beberapa kontrak penulis yang ada di laptop.
"Keren." Kalimat pertama yang Nanang ucapkan setelah membaca beberapa kontrak yang Ranti tunjukkan, Ranti tersenyum senang mendengar pujian Nanang.
Biasanya ia akan mendapat respon yang terkesan meremehkan atau pertanyaan nyinyir lainnya karena profesinya tapi Nanang berbeda, pria itu tampak antusias membaca beberapa kontrak Ranti bahkan memujinya dengan tulus.
"Itu masih termasuk kecil," jelas Ranti kemudian.
"200$ untuk satu cerita dan itu kecil? Kalau ditotal semuanya lebih dari UMR Jakarta, kan?" Nanang menujukkan hasil perhitungannya di kalkulator.
Ranti tidak menjawab, gadis itu hanya tersenyum seraya merapikan beberapa buku yang berceceran di atas meja. Sinar matahari dengan mudah menembus kanopi taman yang menggunakan bahan transparan, sesuai harapan Ranti untuk tetap memenuhi kebutuhan sinar matahari tanpa harus meninggalkan rumah.
"Tetap nggak bisa diharapkan, ini cuma bonus yang berlaku beberapa bulan aja. Waktu buat ngambil gajinya juga nunggu lama kalau di aplikasi gini," imbuh Ranti kemudian.
"Mangkanya kamu masih nyambi kerja jadi data analis?" Pertanyaan Nanang itu dijawab dengan anggukan.
Ranti mengamati wajah Nanang, kening pria itu berkerut sesekali bibirnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar. Ranti paham jika masih ada hal lain yang membuat pria di sampingnya itu penasaran.
"Apa yang bikin kamu penasaran?" Ranti meraih tangan Nanang, gadis itu mengengamnya saat Nanang tidak memberikan reaksi penolakan.
Nanang terdiam sesaat sebelum akhirnya mengeluarkan beban pikirannya. "Dengan semua penghasilan kamu saat ini, bukannya lebih gampang kalau kamu terbit berbayar aja? Daripada modal segini banyak untuk lomba nulis yang bahkan belum tentu kamu menangkan."
Ranti tersenyum, ia tahu cepat atau lambat mereka akan membicarakan hal ini.
"Untuk harga diri? Mungkin juga validasi pribadi atau balas dendam? Mamaku dulu salah satu aktivis kampus yang selalu jadi pemimpin orasi, meski sering mendapat diskriminasi karena jenis kelamin tapi mama berhasil megang jabatan penting di pemerintahan." Ranti tersenyum, senyum tulus yang jarang ia perlihatkan.
"Mama memanfaatkan insting 'detektif' seorang wanita untuk menyelesaikan banyak kasus korupsi, semua hal yang dianggap kelemahan seorang wanita malah dimanfaatkan dan jadi kebanggaan. Sampai suatu hari, mama hilang dan ditemukan satu bulan kemudian di gudang, mama nggak pernah cerita alasan semua itu terjadi tapi seiring waktu aku jadi paham semuanya."
Nanang terpaku di tempatnya, muncul rasa bersalah karena pertanyaannya memicu Ranti mengingat semua kenangan buruk. Ada jeda lama sebelum Ranti kembali bersuara, Nanang memandang gadis itu cemas tapi Ranti tersenyum dan meyakinkan Nanang bahwa ia sanggup menyelesaikan ceritanya.
"Sejak itu semuanya berubah, banyak kesialan yang nggak ada abisnya mulai dari papa dipecat sampai kita yang mendadak dijauhi keluarga. Mama bukan tipe orang yang gampang menyerah, memanfaatkan bakatnya menulis beliau menerbitkan buku cerita romantis yang ternyata jadi sanduran dari kasus besar. Buku mama dibrendel, kami sekeluarga terpaksa pindah tempat tinggal beberapa kali, sering dapat panggilan berita dari kantor polisi." Ranti mengehentikan ceritanya, ia merasa genggaman Nanang mengerat di tangannya. Ranti membawa tangan Nanang hingga menyentuh pipinya sendiri lalu mendaratkan ciuman kecil diantara jari Nanang.
"Tapi Mama juga wanita paling licik, mama nggak pernah masuk penjara meski dituntut banyak pihak. Mama selalu menggunakan alasan semua ceritanya hanyalah fiksi," ujar Ranti sambil tertawa kecil.
"Dendam ke siapa yang mau kamu balas?" tanya Nanang dengan suara rendah, pria itu kebingungan karena jejak kecupan Ranti tadi terasa begitu hangat, kecupan tadi menimbulkan arus listrik yang aneh tapi tidak mampu ditolak oleh Nanang.
"Ke Papa? Keluarga besar? Orang-orang yang bilang Papa rugi karena anak satu-satunya adalah wanita dan lahir dari ibu aktivis radikal? Pokoknya sejak itu seni jadi sesuatu yang jahat di keluargaku."
Ranti mengendikkan bahu, ia dengan santai menarik tangan Nanang lalu mengalungkannya di pundak lalu bersabda di dada pria itu, posisi keduanya yang semula duduk bersampingan kini berganti menjadi Nanang yang memeluk Ranti dari belakang.
"Mbak, kayaknya kita terlalu dekat." Nanang memundurkan tubuhnya yang terlalu dekat dengan Ranti.
"Bukannya orang pacaran kayak gini ya? Aku dulu sering lihat Mama sama Papa duduk bareng begini di taman." Ranti justru balik bertanya, gadis itu masih tersenyum sementara matanya memejam mencobanya mengingat kenangan masa kecilnya yang manis.
"Kayaknya kita perlu membahas kontrak kita lebih lanjut, Mbak. Aku dibayar untuk jadi cowok yang pura-pura naksir, bukan jadi pacar pura-pura." Nanang akhirnya menyuarakan kegundahannya beberapa waktu ini.
"Aku pasti keliatan murahan banget, ya?" Ranti beralih mengacak-acak rambut Nanang dengan senyum tertahan.
"Nggak, Mbak. Saya cuma takut kalau nanti nggak bisa lagi membedakan ini fiksi atau nyata." Nanang membuang wajah, pria itu berdehem sebentar mencoba membuat suaranya tetap tenang meski hatinya jumpalitan.
Ranti tersenyum lalu menepuk-nepuk pipi Nanang, lesung pipi yang biasa muncul itu kini menghilang, Ranti tahu pemuda di depannya ini tengah salah tingkah terlihat dari telinga dan wajah Nanang yang terlihat memerah. Sungguh malangnya nasib Nanang, pemuda itu masih bahkan belum bisa mengendalikan degub jantungnya ketika Ranti justru menjatuhkan bom lain yang membuat Nanang hampir pingsan.
"Bukannya cerita fiksi itu juga sebenarnya inspirasi dari kisa nyata?"
Jumlah kata 1110
7 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro