|| Bagian Tiga Belas ||
Rayen mengerjap-ngerjapkan matanya saat indera penciumannya mencium bau tak sedap. Yunian menghela napas lega, akhirnya Rayen siuman juga.
"Nih, Yan. Gak sia-sia pake sepatu lo yang gak dicuci dua bulan," ucap Yunian melemparkan sepatu Diyan.
"Enak aja lo. Nih sepatu kagak dicuci juga tetap kinclong, biasa sepatu anak sultan."
"Berisik! Tadi apaan, Woi? Gila, bau banget," ucap Rayen menutup hidungnya.
"Tadi itu ... di telapak sepatu Diyan ada taik ayam."
"Argh. Ada-ada aja kalian!" Rayen tiba-tiba mual ingin mengeluarkan isi perutnya.
"Eh, btw lo udah gak papa, kan? Masih pusing atau gimana?"
"Lo mau apaan, Yen? Nasi goreng, mie goreng, nasi uduk, atau apaan? Biar si Yunian masakin," ucap Diyan. Yunian langsung memukul cowok itu.
"Sembarangan lo ngomong," kesal Yunian mendorong kepala Diyan.
"Eh, Yen. Lo gimana? Lo kok bisa pingsan, sih? Gue aja seumur-umur kagak pernah tuh pingsan," oceh Yunian panjang lebar.
"Siapa juga yang pingsan," ucap Rayen santai.
"Lah, terus tadi emangnya lo kenapa, Bambang? Kesurupan?" kesal Yunian.
"Gue cuma pura-pura."
"APA?" pekik Yunian dan Diyan bersamaan.
"Kalau gue gak pura-pura kalah, mereka gak akan pergi. Lagian yang disemprotin tadi cuma bikin gue pusing dikit, gak akan sampai pingsan juga."
"Andai ada Pak Sutradra lewat, ye, pasti si Rayen udah diajakin main film," ucap Yunian, lalu mendengkus pelan.
"Ah, lo, Yen. Lo bikin kita khawatir aja, deh."
"Ya maaf. Udahlah, gue mau pulang dulu, ya!" pamit Rayen lalu bangkit dan pergi meninggalkan kedua sahabatnya.
"Eh, tuh, anak kok mau pulang cepat?"
"Entah. Kok si Rayen jadi aneh gitu, sih," komentar Diyan.
***
"Yan, mampir dulu, lah! Lo udah lama gak main di rumah gue," ajak Yunian menarik Diyan untuk mampir terlebih dahulu ke rumahnya.
"Iya-iya."
"Nah, gitu, dong!"
Yunian langsung mengetuk pintu rumahnya, tak lama kemudian pintu terbuka menampakkan wanita paruh baya.
"Assalamualaikum, Emak," salam Yunian mencium punggung tangan Yumi, diikuti oleh Diyan melakukan hal yang sama.
"Waalaikumsalam. Tumben Diyan mampir kemari," ucap Yumi menatap Diyan.
"Iya, Mak. Udah kangen sama semur jengkol Emak, nih."
"Ah, ya udah masuk-masuk. Langsung ke meja makan. Emak udah selesai masak."
"Wah, siap, Mak."
Diyan langsung menuju ruang makan. Ia sudah menganggap rumah Yunian seperti rumahnya sendiri. Tak heran, karena dua anak itu sudah lama bersahabat dekat. Keluarga Diyan adalah keluarga Yunian, begitu pula sebaliknya. Jadi, mereka tidak ada sungkan lagi.
"Yun, tahu, gak?"
"Ya gak tahulah, Mak. Kan belum dikasih tahu," potong Yunian cepat.
"Ahelah, nih, anak. Dengerin dulu!"
"Iya, Mak. Tahu apa, Mak?"
"Mas Parjo mau ngelamar kamu."
Srooottt.
"Yunian! Kok gue disembur, sih!" kesal Diyan.
"Hah. Ngelamar aku, Mak? Gak-gak. Yun gak mau!" tegas Yunian.
"Gue dikacangin," ucap Diyan mengambil saputangan, lalu mengelap mukanya sendiri.
"Nanti malam Mas Parjo mau kemari, katanya dia mau kenalan lebih dekat dulu sama kamu."
"Ih, gak mau, Mak. Yun nginap di rumah Diyan aja malam ini."
"Jangan, dong. Masa kamu tega ninggalin Mak sendiri."
"Tapi Yun gak mau ketemu sama Mas Parjo, Mak. Udah aki-aki, cucunya aja lebih tua dari Yun!" teriak Yunian.
"Eh, gue ada ide, Yun!" ucap Diyan tiba-tiba menarik perhatian Yunian dan Yumi.
"Ide apaan?"
"Sini, deh, gue bisikin!"
"Udah, gak ada siapa-siapa. Ngomong aja!"
"Ya emang gak ada siapa-siapa, tapi, kan, gua mau bisikin aja, biar bikin penasaran."
"Ah, banyak gaya lo! Ya udah, apaan?" tanya Yunian mendekatkan telinganya.
Diyan langsung membisikkan sesuatu ke Yunian. Gadis itu akhirnya tertawa dan menyetujui ide Diyan.
"Boleh juga ide lo, tapi bantuin gue, ya!"
"Aman."
***
Rayen sampai di rumahnya. Ia melihat Irwan duduk di ruang tamu sedang membaca koran. Rayen hanya melengah, tak berniat menyapa sama sekali. Ia langsung berjalan menuju kamarnya.
"Ray ... Rayen, tunggu!"
Langkah Rayen terhenti. Ia menoleh singkat, lalu mengangkat alis seolah bertanya ada apa.
"Mama kamu mana? Pasti selingkuh lagi."
"Anda juga seperti itu," jawab Rayen datar.
"Papa selingkuh, ya ... karena tidak mau kalah sama Mama kamu. Tapi Mama kamu sudah kelewatan, dia gak pernah menghargai Papa."
"Anda juga tidak menghargai orang lain, bukan?"
"Rayen. Kamu berada di pihak Papa, kan?"
"Saya tidak memihak siapa pun. Sudah, ya, saya capek."
"Rayen! Aku ini Papa kamu!"
"Iya, Papa saya katanya. Saya mau ke kamar dulu. Permisi."
Rayen menutup pintu kamarnya. Mood-nya selalu hancur, jika sudah bertemu dengan orang tuanya.
"Oh, iya, Tante Sarah," ucap Rayen menepuk dahinya pelan. Ia hampir melupakan sesuatu.
Rayen duduk di kasurnya, lalu menghubungi Tantenya melalui video-call.
"Assalammualaikum, Tante."
"Waalaikumsalam. Hai, gantengnya Tante."
"Kayaknya aku udah gak tahan, Tan. Aku mau pergi dari sini," ucap Rayen to the point.
"Tahan sedikit lagi, Nak. Tante tahu ini berat untuk kamu, tapi kamu harus yakin semua akan baik-baik saja."
"Tapi sampai kapan, Tan? Aku udah mau nyerah. Papa dan Mama semakin menjadi-jadi, Tan."
"Coba lihat tiga bulan ke depan. Apabila masih tetap sama saja. Tante akan turun tangan."
"Ehm ... oke, Tante. Terima kasih."
"Ayo, semangat, dong, Sayangnya Tante."
"Iya, Tan. Ya udah. Rayen mau istirahat, udah dulu ya, Tan."
"Oke, Sayang. Jaga kesehatan. Love you!"
"Love you too."
Rayen menghela napas lega. Ia merasa lega setelah berbicara dengan Sarah---Tante Rayen yang tinggal di London.
"Rayen, kamu tadi nelepon siapa?"
Rayen baru menyadari, jika ia lupa mengunci pintunya tadi dan ia tidak sadar jika Irwan menguping pembicaraannya.
"Kamu telepon Sarah? Iya?"
"Bukan urusan Anda."
****
Hai, Guys.
Sampai sini dulu, ya. Bab kemarin kayaknya butuh revisi hehe karena aku baca lagi banyak kata2 kurang pass gitu.
Gak ada yg mau vote and comment, kah? :(
Thanks
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro