|| Bagian Tiga ||
Yunian mengaduk nasi gorengnya yang hampir matang di dalam wajan. Gadis itu mengecilkan api kompor.
"Lo pandai masak juga, ya. Gue pikir cuma bisa gibahin orang doang," ucap Diyan. Yunian langsung memukul pemuda itu.
"Gini-gini gue juga pandai masak, kalau gak nanti siapa yang masakin laki gue."
"Pandai masak belum tentu masakan lo enak," cibir Diyan.
"Ambil karung cepetan!" suruh Yunian. Diyan berjalan mengambil karung, tetapi berbalik ke tempat Yunian.
"Buat apa?" tanya Diyan heran.
"Buat bungkusin, nih, nasi goreng. Gue yakin lo bakal ketagihan sama nasi goreng buatan gue ini. Lo bakal nyesel bilang masakan gue gak enak." Diyan mendengkus.
"Udah masak, Yun?" tanya Rayen.
"Bentar lagi. Lo duduk aja di meja makan, nanti gue siapin."
"Oke."
Yunian mematikan api kompor, lalu memindahkan nasi goreng itu ke dalam wadah. Ia membawa wadah itu ke meja makan.
"Orang tua lo berapa lama di luar kota?" tanya Yunian.
"Entah," jawab Rayen tanpa menoleh. Ia masih sibuk dengan ponselnya.
Yunian mengambilkan sepiring nasi goreng untuk Rayen, lalu untuk dirinya sendiri.
"Nih, makan dulu!" suruh Yunian. Rayen meletakkan ponselnya, lalu menarik piring itu bersiap makan.
"Lah, Yun. Buat gue mana?" tanya Diyan.
"Ambil sendiri!"
"Yah, gak adil banget lo! Rayen lo ambilin, gue kagak."
"Bodo. Ambil sendiri," ucap Yunian menguyah nasi gorengnya.
Terpaksa Diyan mengambil sendiri. Yunian terkekeh singkat melihat wajah cemberut Diyan. Gadis itu menarik piring Diyan, lalu mengambilkan pula untuk pemuda itu yang membuat Diyan tersenyum senang.
Susahnya memiliki dua sahabat cowok, Yunian harus bisa adil antara satu sama lain.
"Tuh. Lagian lo, sih, pake ngeledek masakan gue kagak enak."
"Ampun Mbak jago. Masakan lo suwer enak banget," puji Diyan.
"Emang enak, itu sudah seribu orang yang muji." Diyan mendengkus kesal, Yunian malah besar kepala dipujinya.
Rayen hanya diam memperhatikan dua sahabatnya. Pemuda itu bersyukur bisa mengenal mereka. Ya, berkat mereka, hidup Rayen sedikit berwarna.
***
"Gue pamit, ya!" ucap Yunian.
"Iya."
"Gue juga pamit," ucap Diyan.
"Lo gak nginep di sini aja, Yan?" tawar Rayen. Diyan menggeleng.
"Gak bisalah. Yunian kagak ikut. Masa gue tidur di sini, si Yunian tidur di rumahnya."
"Kalau Yunian mau, kalian bisa nginap di sini, kok."
"Enggak dulu deh, Yen. Lain kali aja. Lagian di rumah lo gak ada orang. Nanti lain kata tetangga, apalagi gue cewek sendiri, kan."
"Tumben lo bijak dikit," ucap Diyan. Yunian mendorong bahu Diyan.
"Ya udah. Kalian hati-hati!" ucap Rayen.
"Lo juga. Kalau ada apa-apa, telepon gue atau Diyan," ucap Yunian tersenyum.
"Oke, Yun." Yunian menaiki motor Diyan, duduk di belakang pemuda itu.
Diyan mengklakson motornya, Yunian melambaikan tangannya. Rayen mengangguk dan membalas lambaian tangan Yunian.
Setelah motor Diyan menghilang di pekarangan rumahnya. Rayen berlalu masuk ke dalam rumah, mengunci pintu.
Rumahnya terbiasa sepi. Jendela tak pernah terbuka. Rumahnya jarang dibersihkan, karena Rayen selama di rumah apabila ada orang tuanya, ia akan berdiam diri saja di dalam kamar.
Rayen berniat mulai membersihkan rumahnya yang sudah seperti kapal pecah. Terakhir kali ia bersihkan mungkin dua bulan yang lalu, ketika orang tuanya juga tidak ada di rumah.
Orang tua Rayen tidak mau memakai Asisten Rumah Tangga, tetapi rumah tidak beres, karena Reta ingin Rayen saja yang membersihkan rumah, agar tidak boros.
"Nasib gak punya orang tua," ucap Rayen mengambil sapu.
***
"Mak. Yunian nan cantik pulang!"
"Wa'alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh."
Yunian terkekeh pelan. Ia lupa memberikan salam. Gadis itu mundur ke belakang, kembali ke pintu depan, mengetuk pintu dan memberi salam.
"Telat," ucap Yumi—ibu kandung Yunian.
Gadis itu mencium punggung tangan Yumi. Setelah itu, ia berlalu masuk ke kamar.
"Yun. Bentar-bentar." Yunian berhenti berjalan, lalu menoleh ke Yumi.
"Tolong beliin Emak beras, ya, ke warung Bu Minah."
"Berapa karung, Mak?" tanya Yunian.
"Lima karung!" jawab Yumi kesal. "Lo pikir kita punya duit banyak. Udah sana ngutang dulu sama Bu Minah."
"Mak. Malu tau ngutang mulu."
"Malu kalau lo nyuri, ini cuma ngutang, entar gue bayar, ahelah, nih, anak."
"Ayo, cepetan!"
"Iya, Mak."
Yunian kembali memakai sepatunya dan pergi ke warung Bu Minah.
Yunian berjalan kaki saja, karena warungnya tidak terlalu jauh dari rumah Yunian.
"Ekhem. Mau ke mana?" tanya seorang gadis berjalan di samping Yunian. Tangannya memegang kipas tangan berukuran sedang dan mengipas ke wajahnya.
"Mau ke Paris ... lo kagak lihat gue mau ke warung."
"Oh, mau ngutang, ya?" tanya gadis itu tertawa mengejek. Yunian mendesis pelan, geram sekali meladeni anak Pak RT di sini yang minim akhlaknya.
"Ternyata lo bukan hanya kurang di tampang, ya, tapi kurang di etika juga!" balas Yunian.
"Yee miskin aja bangga."
"Gue miskin gak pernah minta makan sama lo, kan? Beras yang dari lurah aja gak pernah sampai di rumah gue. Yaiyalah, lo embat semuanya."
"Heh, jaga ya mulut lo!"
"Kenapa? Tersindir, ya? Benar, kan, omongan gue."
Wina yang kesal menarik rambut Yunian. Tentu saja Yunian tidak mau kalah. Ia menginjak kaki Wina yang membuat anak Pak RT itu meringis.
"Dasar miskin," kesal Wina mengusap kakinya.
Yunian menjulurkan lidahnya lalu berkata, "emangnya lo kaya?"
"Huf. Gue gak miskin kayak lo yang sering ngutang di warung."
"Biarin gue ngutang yang penting dibayar, daripada lo mungut rezeki masyarakat."
Yunian berjalan meninggalkan Wina, sedikit lagi ia sampai di warung Bu Minah.
Tanpa sepengetahuan Yunian. Ada seorang pemuda yang memperhatikannya sejak tadi.
"Tuh, cewek, bar-bar juga, ya." Pemuda itu tersenyum tipis masih memperhatikan Yunian dari jauh.
***
Diyan masuk ke dalam rumahnya yang seperti biasa, selalu ramai, karena perkumpulan ibu-ibu sosialita teman Mami Diyan.
"Eh, My baby Yayan. Sini!" panggil Tina saat melihat Diyan memasuki rumah.
"Gimana, uang jajan kamu udah habis belum? Kamu janji, loh, buat ngabisin uang jajan kamu setiap harinya."
"Udah, Mi. Besok jangan ditambahin lagi ya, Mi. Susah ngabisinnya," ucap Diyan memohon.
"Duh, duh, anak Mami. Gini, loh, Jeng. Anak saya memang gitu, terlalu irit."
"Iya, Jeng. Syukur itu, anak saya si Tero minta jajan mulu, pusing jadinya."
"Lah, anak saya si Miko, kemarin minta iphone, sekarang minta mobil, karena udah gak PD bawa motor ke kampusnya."
Diyan menghela napas mendengar percakapan ibu-ibu itu. Ia memilih langsung ke kamar saja.
Diyan menaiki tangga, kamarnya terletak di lantai lima. Lantai paling atas di rumahnya, karena di sanalah tempat yang sepi.
Papi Diyan seorang pengusaha besar. Maminya seorang desainer dan memiliki butik mewah. Belum lagi toko emas milik keluarganya yang sudah berserakan di mana-mana. Ya, Diyan adalah anak sultan.
"Jadi orang kaya gak bakal seru kalau gak punya saudara," ucap Diyan setiap ada yang berkata hidupnya sudah sempurna.
Ia selama ini kesepian. Bukan karena orang tuanya mengabaikannya. Oh, tidak. Diyan sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Diyan hanya kesepian, karena tidak memiliki saudara yang bisa diajak bermain bersama. Untung saja Diyan bertemu dengan Yunian, karena kebetulan Ayah Yunian adalah sahabat lamanya Papi Diyan.
Laki-laki itu merebahkan badannya ke kasur. Membayangkan muka Rere yang menggemaskan menurutnya.
"Eh, emang gue bisa jatuh cinta juga, ya? Alhamdulillah. Gue masih normal."
***
Pagi ini Geng Laguna sudah berdiri di depan gerbang, siap menunggu geng sebelah yang belum datang.
"Tuh, tuh, mobil mereka." Tunjuk Diyan sambil berkacak pinggang.
"Yaelah, masih aja diantar bokap. Kagak bisa pergi sendiri," ledek Yunian. Ucapan gadis itu langsung terdengar oleh Rere.
"Heh. Terserah kami, dong, mau diantar bokap, kek, supir, kek. Emang masalah buat lo?"
"Gak masalah, sih. Anak-anak manja, kan, emang begitu." Yunian tertawa yang membuat dua sahabatnya ikut tertawa.
"Masih pagi juga, udah nyari ribut lo," sahut Kiara.
"Siapa juga yang bilang ini udah malam? Emang pagi, noh, lo gak lihat matahari lagi tersenyum cerah ke gue."
"Hih. Lo, ya!" Rere maju ke depan mendekati Yunian, dengan sigap Yunian juga menantang gadis itu.
"Apa lo, APA?" bentak Yunian.
Tangan Rere bersiap untuk menjambak rambut Yunian yang dikucir satu. Yunian pun sudah memasang kuda-kudanya bersiap menangkis serangan Rere.
"Kalian kenapa masih di sini?" tanya sebuah suara yang membuat Rere dan Yunian mematung.
Mampus, suara siapa, tuh? batin Yunian.
***
Hai! Cuma mau bilang, makasih yang udah mau baca. Semoga suka, ya.
Jangan lupa vote, comment, dan follow ya, Guys. GRATIS kok hehe.
Thanks
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro