|| Bagian Sembilan Belas ||
Setelah sampai rumah Rayen. Yunian dan Diyan tak menemukan sahabatnya itu. Ke mana perginya Rayen?
"Coba telepon lagi, Yan!" suruh Yunian.
Diyan menurut saja, ia pun kembali menelepon Rayen, tetapi nomornya tetap tidak aktif.
"Nggak aktif, Yun."
"Duh, gimana, ya ...." Yunian mencoba berpikir sebentar. Tak lama kemudian ia menepuk bahu Diyan. "Oh, iya!" Yunian menepuk dahinya pelan.
"Kenapa, Yun?"
"Tadi pagi gue sempat nelepon Rayen, dia bilang lagi ada urusan sama Sintia."
"Gawat!" sahut Diyan.
"Eh, iya! Kan tadi si Rayen sempat kasih tau lokasinya. Bentar ... duh, kenapa bodoh banget, sih, gue."
"Baru sadar, Yun?"
"Diam lo!"
Diyan pun hanya cengengesan. Yunian langsung membuka HP-nya.
"Nah, ini lokasinya, Yan. Kita kudu ke sini."
"Lo yakin kita cuma pergi berdua?" tanya Yunian.
"Kenapa? Lo takut? Biar gue patahin urat nadi si Sintia kalau dia apa-apain sahabat kita."
Jangan lupakan seorang Yunian yang tidak akan ada takutnya, jika membela seorang sahabat. Daridulu memang Yunian pahlawan bagi Rayen maupun Diyan.
"Buat jaga-jaga, Yun."
Yunian mengetikkan pesan di grup WA. Setelah itu ia menyimpan HP-nya kembali.
"Gue udah kabarin mereka."
Satu hal yang belum diketahui orang-orang adalah jika Yunian adalah wakil ketua preman di kampungnya. Namun, bukanlah preman yang meresahkan warga. Para preman itu sudah insyaf berkat Yumi—Ibu Yunian.
"Ya udah, ayo berangkat," ajak Diyan merangkul bahu Yunian.
***
Samar-samar sebuah percakapan terdengar oleh Rayen. Ia mengerjapkan mata, punggungnya terasa memanas—akibat sesuatu yang menghantamnya tadi. Ya, itulah yang hanya diingat oleh Rayen.
Cowok itu menatap sekitarnya. Gelap! Oh tidak. Rayen bahkan lebih baik masih tertidur, jika ia terbangun, maka kegelapan menyambut. Rayen sangat trauma dengan ruangan gelap. Ia sudah terlalu sering berada di ruangan seperti ini dahulu.
Rayen mencoba menajamkan pendengarannya. Terdengar suara gelak tawa Sintia yang membuat ia geram.
"Rayen itu anak lemah. Dia pasti nggak akan bertahan lama."
"Harusnya tadi lo biarin aja gue langsung habisin, tuh, anak."
"Jangan dulu. Sabar dikit lagi."
Rayen mengeram kesal. Ia harus keluar dari sini! Namun, badan Rayen benar-benar terasa sakit semua. Ia bahkan tak mampu untuk bangkit. Belum lagi tangan dan kakinya yang terikat, membuat Rayen kesusahan bergerak.
"Ah, sial!" Rayen mendengkus pelan.
Apakah benar ia hanyalah laki-laki lemah? Rayen mengakui, jika selama ini ia memang tidak ada bandingannya dengan Yunian, jika masalah bela diri. Walaupun sahabatnya itu sudah mengajarinya sedikit demi sedikit.
Selama ini Rayen hanya mengandalkan otak, walaupun kekuatan otot juga diperlukan, tetapi itulah yang belum terlalu dikuasai oleh Rayen. Manusia memang tidak ada yang sempurna. Sepintar dan setampan apa pun Rayen, ia tetap memiliki sisi kekurangan.
Pintu tiba-tiba terbuka menampakkan Sintia yang berdiri berkacak pinggang
"Oh, udah bangun ternyata anak manis," ucap Sintia mendekati Rayen.
"Kau tampak sangat pucat, pasti sangat sakit, ya?" Sintia tiba-tiba tertawa mengejek. Oh, ayolah, Rayen merasakan kelemahannya sangat kelihatan sekarang. Rayen mengalihkan tatapannya.
"Apa mau Anda?" tanya Rayen dingin.
"Hahaha ... apakah kau menyerah, Rayen?"
Rayen terkekeh pelan. "Itu nggak akan terjadi."
"Kau ternyata masih keras kepala, ya. Apakah luka di punggungmu perlu ditambahkan."
"Jika yang Anda inginkan adalah harta Irwan. Kenapa Anda tidak merampas langsung darinya? Kenapa saya harus terlibat."
"Karena semuanya tergantung dari kau, Rayen! Irwan bodoh itu tidak akan bisa berkutik, tanpa persetujuan kamu!"
"Lalu, apa yang Anda inginkan?"
Sintia mengeram kesal. Rayen memang selalu pandai memancing emosinya.
"Restu! Kau hanya perlu merestui hubungan saya dengan Irwan. Sudah itu saja. Kau bisa bebas dan saya tidak akan mengganggumu lagi. Ini semua sangat simpel, tapi kaulah yang membuat semua ini ribet."
"Saya tidak peduli."
"Kau ...."
"Setelah kau menikah dengan Irwan, apa hanya hartanya saja yang kau inginkan?" tanya Rayen.
"Oh, tentu saja tidak, tapi itu bukan urusan kau lagi!"
"Apa yang Anda inginkan sebenarnya, Sintia?" tanya Rayen serius. Ia benar-benar belum tahu apa tujuan wanita itu sebenarnya. Kenapa ia bertekad sekali menikah dengan Irwan? Masalah harta sepertinya bukan, karena Irwan belum sekaya ayahnya Diyan.
"Sudah saya bilang, kan. Itu bukan urusanmu."
"Kalau bukan urusanku, kenapa Anda menyekap saya di sini?"
"Ya itu karena kau menghalangi rencanaku! Apa susahnya kau memberi restu? Bukannya kau tak terlalu akrab dengan papamu? Ya sudah, biarkan saja saya menikah dengannya."
"Saya tidak setuju."
"Argh! Kau benar-benar membuang waktuku, Bocah!"
Sintia pun mengeluarkan kembali pisaunya dan menghadapkan ke arah Rayen.
Rayen menatap mata Sintia. Ia menantikan, jika benar wanita itu ingin melukainya.
"Silakan," ucap Rayen pelan.
Pisau itu terjatuh. Tiba-tiba Sintia ....
Bruk!
***
"Benar ini tempatnya, kan?" tanya Diyan.
"Iya."
"Gue atau lo yang masuk duluan?" tanya Diyan.
"Lo aja. Tetap pada rencana, ya."
"Oke."
Diyan lalu berjalan masuk ke rumah itu. Yunian tetap di dalam mobil, menantikan saat gilirannya.
"Hai, Bapak-bapak bodoh," panggil Diyan santai menatap orang-orang yang berada di sana.
"Kenalin, gue Diyan, cowok paling ganteng di dunia. Hahaha ...." Diyan lalu tertawa sekeras-kerasnya, mencoba memberi kode pada Rayen, jika ia datang.
"Siapa, tuh?"
"Entahlah, mungkin orang gila."
"Apa jangan-jangan dia teman anak yang di dalam itu lagi!"
Diyan mengepalkan tangannya. Ternyata benar, Rayen berada di sini. Diyan kembali mengencangkan tawanya.
"Benar! Hahaha. Gue akan laporin kalian semua ke polisi!" ucap Diyan. Ia pun langsung berlari dari situ, para anak buah Sintia itu pun mengejar Diyan.
Setelah semuanya pergi mengejar Diyan. Yunian pun mengambil kesempatan untuk masuk ke rumah itu.
Diyan berlari ke arah semak-semak dan bersembunyi di sana. Cowok itu lalu membunyikan peluit yang memang tergantung di lehernya dari tadi. Tak lama kemudian segerombolan preman—teman-teman Yunian—menyerang anak buah Sintia.
Diyan membiarkan saja itu menjadi urusan pasukan Yunian. Ia lalu berlari kembali ke rumah itu. Untuk mengawasi Yunian.
Saat di pintu masuk, ternyata masih ada satu orang lagi. Diyan lalu memilih bertarung dengan pria itu.
***
Rayen hanya diam tak berkutik, saat Sintia tiba-tiba memeluk tubuhnya, bahkan wanita itu menangis di pundaknya.
"Ak ... aku hanya ingin hidup bahagia bersama laki-laki yang kucintai, Rayen," ucap Sintia menangis tersedu-sedu.
"Dari dulu aku hidup menderita. Saatnya sekarang aku ingin bahagia."
Rayen hanya diam. Ia masih tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Tiba-tiba seseorang muncul di depan pintu. Mata Rayen membulat saat melihat Yunian datang.
"Rayen!" panggil Yunian. Gadis itu sempat terkejut, saat melihat Rayen sedang dipeluk oleh Sintia.
"Yun ...."
Sintia tersenyum sinis, ia kembali mengambil pisaunya, lalu tanpa pikir panjang langsung menancapkannya di punggung Rayen.
"RAYEEEN!" teriak Yunian histeris, saat sahabatnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri.
****
Hai, semua. Hoho, akhirnya aku update dari sekian lama. Mungkin hanya cerita ini yang akan kulanjutkan sampai tamat.
Terima kasih yang udah mau baca. Ayo, jangan lupa vote dan komen, ya.
Thank you.
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro