|| Bagian Sembilan ||
Rayen memasuki rumahnya yang tampak sepi seperti biasanya. Langkah Rayen terhenti melihat Reta ada di ruang tamu sedang bersentuhan bibir dengan laki-laki selingkuhannya.
Rayen hanya bisa menghela napas, lalu segera masuk ke kamarnya. Ia tak ingin menodai matanya dengan penampakkan itu.
Setelah masuk ke kamarnya. Rayen merebahkan badan di kasur. Ia memikirkan Kiara yang tadi tampak murung. Apa masalah yang sedang dihadapi gadis itu? Tampaknya sangat berat. Ingin sekali Rayen memberikan bahunya untuk Kiara bersandar.
"Eh? Kok gue jadi mikirin Kiara, sih," gumam Rayen mengacak rambutnya frustrasi.
"Rayen!" panggil seseorang yang membuat Rayen menoleh menatap pintu kamarnya.
"Rayen, buka pintunya!" suruh Reta.
Rayen akhirnya beranjak dari kasur, lalu membuka pintu.
"Nih, Mama beliin oleh-oleh buat kamu. Kemarin malam Mama gak sempat ngasih, karena kamu udah tidur."
Rayen mengambil totebag itu.
"Makasih, Ma."
"Iya, Sayang. Tapi Mama mau pergi lagi, nih, sekitar tiga hari ke Bali. Kamu jaga rumah, ya."
Ada udang di balik batu, batin Rayen.
"Iya."
"Ya udah. Selamat tidur, Nak." Rayen tersenyum kecil, lalu menutup pintunya.
Rayen melemparkan totebag itu ke sembarang tempat. Ia tidak butuh itu. Rayen tidak perlu barang mewah dari orang tuanya, karena yang cowok itu butuhkan hanyalah waktu untuknya.
"Arghh!"
Untung saja kamar ini kedap suara, jadi Rayen bisa melepaskan semua apa yang dirasakannya.
Rayen iri melihat Diyan yang mempunyai keluarga harmonis, sesibuk apa pun orang tuanya, tetap saja cowok itu dimanjakan dan dianggap seorang anak yang selalu butuh kasih sayang.
Rayen juga iri melihat Yunian. Walaupun gadis itu hanya tinggal berdua dengan ibunya, tetapi Yunian dapat merasakan penuh kasih sayang dari seorang ibu.
Mungkin Rayen diberikan kelebihan pada otaknya yang cerdas, tetapi bagi Rayen percuma, karena yang ia butuhkan adalah kebahagiaan bersama keluarga.
Lelah memikirkan itu, Rayen memilih menutup matanya saja, bersiap untuk besok, karena hidup akan tetap berjalan. Entah sampai kapan ia mendapatkan kehangatan dalam keluarga.
Rayen bertekad, jika ia sudah berumah tangga nantinya. Ia tak ingin anaknya merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Rayen ingin membuat keluarga yang harmonis dan penuh cinta kasih sayang.
***
Pagi telah menyambut dengan bahagianya. Matahari tampak bersemangat memancarkan sinarnya. Rayen bersiap ke sekolah.
Cowok itu terkejut melihat Reno---selingkuhan Mamanya---berada di ruang keluarga pagi ini. Apakah pria tua itu semalam menginap di rumahnya? Oh, tidak. Mamanya sudah gila.
"Hai, Rayen. Apa kabar?" tanya Reno mencoba sok asyik pada Rayen.
"Anda ngapain pagi-pagi sudah di sini?" tanya balik Rayen.
"Papa kan nginap di sini. Kasihan Mama kamu tidur sendirian, kan."
"Sampai kapan pun, saya tidak akan memanggil Anda, papa saya."
"Aduh, Rayen. Papa kandung kamu saja sudah memiliki anak selain kamu. Masa Mama kamu gak boleh jadi istri Om?"
"Maaf, saya tidak punya Papa."
Rayen mengambil tasnya, lalu menyandangnya.
"Dan saya juga tidak punya Mama, karena mereka juga tidak menganggap saya anaknya." Setelah mengucapkan itu, Rayen melangkah meninggalkan Reno yang terdiam di sana.
"Rayen, sebentar!" panggil Reta yang berada di teras rumahnya.
"Papa kamu nanti pulang, bilang aja Mama ada urusan."
"Urusan? Urusan selingkuh maksudnya?"
"Rayen! Jaga bicara kamu, ya. Mas Reno itu akan jadi suami Mama. Dia bukan selingkuhan Mama lagi, tapi calon Papa kamu."
"Sampai kapan pun, aku gak akan merestui hubungan Mama dan dia."
"Terserah. Mama tidak butuh restu kamu. Mama tetap akan menikah."
"Ya udah. Rayen bakal pergi dari rumah."
Reta terdiam tak berani membuka suara.
"Eh, gak boleh begitu, dong. Kam--"
"Udah telat. Aku pamit," ucap Rayen segera beranjak dari sana, sebelum Mamanya meneruskan perdebatan yang tak ada ujungnya.
Orang tua Rayen tidak akan pernah bercerai dan tidak akan pernah menikah dengan selingkuhan mereka, karena tidak ingin Rayen meninggalkan rumah. Ya, hanya itu senjata Rayen agar orang tuanya tetap dalam status menikah.
Rayen bisa saja tinggal bersama Tantenya di London dan tidak akan berjumpa lagi dengan orang tuanya, karena orang tuanya tidak akan berani menginjakkan kaki ke rumah Tante Rayen yang ada di London.
Reta tak mau itu terjadi. Jika Rayen tinggal bersama Tantenya, maka hidup Reta akan menderita, begitu juga dengan Irwan.
"Sampai kapan aku bisa menikahimu?" tanya Reno yang sudah ada di belakang Reta.
"Sabar dulu ya, Mas. Nanti Rayen pasti bisa luluh."
Tangan Reno terkepal. Ia sudah geram dengan anak itu yang menghalangi rencananya. Reno ingin memberi Rayen sedikit pelajaran.
***
"Widih, tumben-tumbenan lo udah sampai di sekolah, Yan," ucap Yunian pada Diyan yang sedang membuat tugas.
"Iya dong, gue dianterin bokap, karena motor gue lagi di bengkel."
"Eh, lo lagi buat tugas apaan? Emangnya ada Pr?" tanya Yunian.
"Ini tugas dua minggu yang lalu, gue belum ngerjain, kemarin ambil nilainya minjem buku Rayen. Barabe kalau nanti Pak Sutomo nyuruh ngumpulin buku tugas."
"Oh."
"Singkat amat jawaban lo."
"Terus gue harus bilang apaan lagi?"
"Udahlah, masih pagi," sahut Rayen yang baru datang, lalu duduk di bangkunya.
"Eh, Yen. Asem bener muka lo. Kenapa?" tanya Yunian yang melihat raut wajah Rayen yang berbeda.
"Ah, nggak kok."
"Lo lagi ada masalah? Lo ribut lagi, ya, sama nyokap atau bokap lo?"
"Gue ke kantin dulu, ya. Tadi belum sempat sarapan," ucap Rayen langsung pergi meninggalkan kelas.
"Yan, Yan," panggil Yunian menyenggol tangan Diyan yang membuat penanya menggores garis panjang di bukunya.
"Ah, Yun! Lihat, nih, jadi tercoret, kan."
"Rayen kenapa? Kayaknya lagi ada masalah deh."
"Ini gimana cara ngilangin garis panjangnya?" tanya Diyan yang sibuk dengan coretan bukunya.
"Heh. Lo dengerin gue gak, sih?" Yunian tanpa perasaan memukul Diyan.
"Iya-iya. Nanti kita ngomong sama Rayen."
"Nah gitu, dong!"
"Terus ini buku gue gimana? Lo cariin tip--"
"Gini aja susah banget," ucap Yunian memotong ucapan Diyan. Gadis itu tanpa pikir panjang merobek kertas yang berisikan tugas yang dibuat oleh Diyan.
"Eh, kok lo malah robekin! Gue udah capek nulis, Woi!"
"Salin ulang aja," ujar Yunian dengan santainya.
"Yuniaaan!" kesal Diyan ingin sekali mengguncang isi kepala Yunian.
***
Rayen tidak ke kantin, melainkan ke taman sekolahnya. Mungkin duduk di sini bisa menenangkan pikirannya.
Tanpa sadar, air mata lolos dari pelupuk mata Rayen tanpa disengaja, membuat aliran sungai kecil di pipinya.
Inilah menangis tanpa disengaja, ketika hati rapuh dan otak memaksa untuk bertahan.
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahu Rayen dan mengusapnya pelan. Cowok itu menoleh pada pimilik tangan tersebut.
"Lo kenapa?" tanya seseorang itu yang membuat Rayen terdiam.
****
Hai hai hai
Jangan lupa vote and comment, ya.
Thank you
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro