|| Bagian Lima ||
Rayen masih tidak berani mengangkat teleponnya. Sampai akhirnya, pintu UKS terbuka lebar menampakkan seseorang tengah berkacak pinggang.
"Hebat ya lo, gue telepon kagak diangkat."
Rayen hanya diam tak tahu harus menjawab apa.
"Udah selesai modusnya sama geng sebelah?" tanya Yunian sinis. Rayen jadi bergidik ngeri.
"Sorry, Yun."
"Ah, udahlah. Gue ke sini mau ngajak lo ke kantin. Lapar gue! Si Diyan malah ninggalin gue. Lo yang traktir gue ya," ucap Yunian santai.
"Diyan ke mana?" tanya Rayen.
"Entah. Dia main pergi aja tadi, gue cari ke toilet kagak ada."
"Oh."
Rayen jadi penasaran ke mana cowok itu menghilang. Tidak mungkin ia tak mengisi perutnya pada jam istirahat.
"Eh, bentar."
"Apa lagi, sih?" tanya Yunian kesal.
"Lo tadi ke toilet cowok? Seriusan?"
"Ya iyalah. Masa gue cari si Diyan ke toilet cewek. Bisa kena timpuk si Diyan kalau ada di toilet cewek."
"Terus, lo gak kena timpuk ke toilet cowok?" tanya Rayen.
"Kagak dong. Yakali mau nimpuk cewek secantik gue," jawab Yunian dengan percaya dirinya. Rayen mendengkus, lalu menarik tangan Yunian pergi dari situ menuju kantin.
***
"Gue mau ngomong serius sama lo," ucap Yunian ketika mereka sudah sampai di kantin dan duduk di pojokan.
Bu Meri datang menyodorkan dua mangkok bakso ke meja mereka.
"Makasih, Bu Mer."
"Iya, Yun. Utang kamu masih ada sepuluh ribu lagi," ucap Bu Meri.
"Eh, emang ada ya, Bu?"
"Ada. Sebulan yang lalu kamu makan bakso sendirian lupa bayar."
"Itu mah saya lupa, Bu. Bukan ngutang!" protes Yunian.
"Sama ajalah, kan, gak bayar."
"Ah, ya udah deh, Bu. Nanti minta aja sama Diyan, Bu."
"Yunian ... Yunian, dia temenan sama cowok-cowok kaya buat manfaatin doang kayaknya, ya." Sebuah suara berasal dari meja sebelah tengah menyindir Yunian.
Bu Meri yang tak ingin ikut campur segera beranjak dari sana.
Mata tajam Yunian langsung melirik pemilik suara yang menyindirnya tadi. Fira and the geng langsung tertawa, karena orang yang mereka sindir langsung tersindir.
"Apa lo lihat-lihat? Besok sekalian aja minta makan sama orang tua Diyan."
Brakk.
Rayen terkejut. Bakso yang ia telan hampir saja membuatnya tersedak.
"Udah, Yun. Gak usah ditanggepin. Biarin aja," ucap Rayen mencoba menenangkan.
"Duh, si miskin panas tuh, Guys."
Fira semakin menjadi-jadi membuat Yunian bangkit kembali memukul mejanya.
"Yun!" panggil Rayen. Ia tak mau ada keributan.
"Udahlah, biasanya juga lo gak kepancing," ucap Rayen. Ia segera menghubungi Diyan agar ke sini.
"Dih, baperan," ucap Ira---teman Fira.
"Siapa juga yang baperan!" teriak Yunian.
"Lah, tadi mukul-mukul meja. Baperan gak tuh?"
"Yoi!" jawab teman-teman Fira tertawa.
Brakk.
"Gue mukul nih meja cuma mau nyanyi doang," ucap Yunian yang membuat semua perhatian tertuju padanya.
"Satu-satu Reni sudah gila. Dua-dua Ira juga gila, tiga-tiga Vika juga sangat gila. Satu ... dua ... tiga ... Fira ketua gengnya paling gila." Yunian bernyanyi dengan senang hati yang membuat si pemilik nama dalam nyanyiannya naik pitam.
"HEH! Apa maksud lo ngatain gue gila, ha?"
"Yen, dengar suara setan ngomong, gak?" tanya Yunian pada Rayen yang membuat cowok itu tersenyum kecil.
"HEH. Lo cari masalah, ya!"
"Jangan-jangan di sekolah kita ini banyak setannya."
Brakk.
Kini giliran Fira yang memukul meja. Namun, Yunian tampak santai.
"Kenapa mukul meja? Mau nyanyi juga?" tanya Yunian.
Fira yang sudah kelas maju mendekati Yunian. Sedangkan Yunian menunggu gadis itu menghampirinya.
Fira sudah berdiri di hadapan Yunian. Ia menatap Yunian penuh kebencian, sedangkan Yunian menatap Fira biasa saja.
"Miskin aja belagu lo."
"Emang lo kaya?" tanya Yunian.
"IYA."
"Idih, sekaya apa lo?"
"Gue punya iphone. Lo pasti gak punya, 'kan?" Fira tertawa mencemooh. Yunian terkekeh singkat.
"Emang lo pikir, udah punya Hp begituan lo udah kaya raya? Orang kaya itu hidupnya bisa bermanfaat untuk orang lain, bisa membantu orang lain. Jika lo kaya untuk diri sendiri aja itu mah bukan kaya namanya!"
"Daripada lo udah miskin, manfaatin orang kaya."
"Bukan gue yang manfaatin orang kaya. Tapi orang kaya yang bermanfaat buat orang miskin. Paham lo!"
Fira yang sudah kesal mengangkat tangannya bersiap menjambak rambut Yunian. Namun, suara bel berbunyi nyaring. Tangan Fira menggantung di atas tak jadi menyentuh rambut Yunian, karena gadis itu beranjak dari sana. Yunian menoleh menatap Fira yang masih mematung di sana.
"Udah bel, Woi. Berantemnya lanjut nanti aja, oke?" ucap Yunian santai seperti tidak terjadi apa-apa. Ia memberikan jempol ke Fira, dengan polosnya Fira malah mengangguk setuju dan memberikan jempol pula untuk Yunian.
Rayen terkekeh melihat sikap Yunian. Gadis itu memang tidak pendendam, makanya Rayen dan Diyan nyaman bersahabat dengan gadis itu. Apalagi Yunian tidak mudah membawa perasaan.
***
"Heh, lo tadi ke mana, ha?" tanya Yunian kepada Diyan yang sudah duduk di bangkunya.
"Ke kantin."
"Bohong banget. Gue tadi di kantin kagak lihat lo."
"Gue beli makanan aja, gue makan di kelas," jawab Diyan. Mata Yunian menyipit tidak percaya.
"Ke kelas ini atau ke kelas si Rere?" tanya Yunian sambil menggebrak meja.
"Rere," jawab Diyan refleks. Apalagi gebrakan meja itu membuat Diyan terkejut.
"Lo suka ya sama tuh cewek? Jujur aja, Yan."
"Kagak. Dia kan musuh kita. Mana mungkin gue suka," jawab Diyan.
Rayen yang duduk di depan mereka memilih diam saja. Ia malah mengingat kejadian tadi di UKS. Rayen tersenyum mengingat Kiara, gadis itu cantik sekali.
Fokus tersenyum, Rayen tak menyadari dua pasang mata di sebelah kanan dan kirinya yang tengah menatapnya intens. Rayen masih saja sibuk dengan dunianya sendiri. Ketika Rayen tersadar alangkah terkejutnya ia menyadari Yunian dan Diyan sedang melotot ke arahnya.
"Astagfirullah," ucap Rayen.
"Kenapa lo senyum-senyum?" tanya Yunian ketus.
"Lo lagi mikirin si Kiara, ya?" tanya Diyan pula.
Rayen mendorong muka kedua sahabatnya itu, karena risih dengan mata mereka yang menatapnya horor.
"Yen. Jawab!"
"Benar, kan? Lo suka sama Kiara?"
"Apa benar kata Diyan?"
"Udah gue duga, Yen."
"Ah, gak asyik."
"HEKHEEM." Seseorang berdeham keras mengagetkan Yunian dan Diyan. Ternyata Pak Bento sudah berdiri di depan mereka.
"Eh, Pak Bento. Apa kabar, Pak?" tanya Yunian mencoba sok asyik.
"Bapak rezekinya makin banyak, ya? Tuh, ubannya makin nambah di kepala," ucap Diyan pula. Ucapan Diyan memancing gelak tawa teman-teman sekelasnya.
Kumis Pak Bento bergerak sendiri ke kanan dan kiri yang membuat buku kuduk Yunian dan Diyan berdiri.
"Diam semuanya!" teriak Pak Bento membuat semuanya terdiam.
"Kalian kenapa masih berdiri di sini? Duduk di tempat masing-masing!" suruh Pak Bento. Yunian dan Diyan segera duduk di tempatnya.
"Baik. Selamat siang semuanya. Silakan kumpulkan tugasnya di meja Bapak!" suruh Pak Bento.
Rayen membuka tasnya. Keningnya berkerut tak menemukan bukunya. Ah, Rayen baru mengingatnya jika bukunya dipinjam oleh Diyan dan dibawa oleh cowok itu pulang ke rumahnya.
"Yan, buku gue mana?" tanya Rayen menoleh ke belakang.
"Mampus, Yen. Gue lupa bawa bukunya," jawab Diyan. Rayen memukul dahinya pelan.
"Yah, lo gimana, sih, Yan. Udah dipinjemin malah gak bawa. Untung gue udah selesai nyalin kemarin," ucap Yunian.
"Ayo-ayo kumpulkan. Tidak ada yang menyalin tugas temannya di belakang, ya!" teriak Pak Bento.
"Terus gimana?" tanya Diyan.
"Kumpulin aja buku lo, Yun!" suruh Rayen.
"Masa gue ngumpulin, lo yang ngasih contekkan malah gak ngumpulin."
"Gak papa."
"Hei. Yunian, Diyan, Rayen, mana tugas kalian?" tanya Pak Bento.
Buru-buru Yunian merobek kertas yang berisikan tugasnya, lalu membulatkan kertas itu dan memasukkan ke lacinya.
"Eh, tugasnya kok dirobek?" tanya Diyan.
"Diam aja."
"Maaf, Pak. Buku saya ketinggalan," jawab Rayen menunduk.
"Ketinggalan? Tapi kamu mengerjakan tugasnya, 'kan?" tanya Pak Bento.
"Iya, Pak."
"Baik, tidak masalah. Bapak percaya sama kamu, karena kemarin kamu menelepon Bapak menanyakan soal yang salah." Pak Bento tentu saja percaya Rayen, murid paling pintar itu mengerjakan tugasnya, karena kemarin Rayen meneleponnya.
"Terima kasih, Pak," ucap Rayen.
"Lah, nasib kita gimana, Yun?" tanya Diyan.
"Pasrah aja udah."
"Diyan, Yunian. Mana tugas kalian?"
"Nganu, Pak. Saya lupa buat tugas, karena kemarin hujan, Pak," jawab Yunian.
"Apa masalahnya hujan atau panas. Kamu masih bisa mengerjakan tugas. Berdiri kamu!" suruh Pak Bento.
"Diyan. Kamu pasti tidak mengerjakan tugas juga, 'kan? Berdiri!"
Yunian dan Diyan kompak berdiri. Rayen menoleh menatap kedua sahabatnya kasihan.
"Kalian berdua berdiri di belakang sampai jam pelajaran Bapak selesai!" suruh Pak Bento.
"Baik, Pak!" jawab Yunian dan Diyan.
Kompak keduanya berjalan ke belakang dan berdiri di sana. Rayen jadi tidak tega melihat kedua sahabatnya. Ia lantas berdiri juga.
"Rayen, kamu kenapa berdiri?" tanya Pak Bento.
"Harusnya Bapak juga menghukum saya, karena saya tidak mengumpulkan tugasnya," ucap Rayen.
"Tidak masalah, Rayen. Bapak percaya sama kamu, yang penting kamu sudah mengerjakan tugas."
"Jika Bapak percaya sama saya. Kenapa Bapak tidak percaya juga dengan Yunian dan Diyan?"
"Karena mereka sudah terbiasa tidak mengumpulkan tugas."
"Tidak bisa begitu, Pak. Saya tetap berhak dihukum juga, karena saya tidak disiplin ... dan saya tidak ingin dibeda-bedakan dengan teman saya." Setelah mengucapkan itu Rayen melangkah ke belakang, berdiri bersama kedua sahabatnya.
Sikap Rayen mendapat tepuk tangan dari teman-temannya. Pak Bento juga kagum melihat Rayen yang tidak ingin menang sendiri, walaupun diberi kasih sayang lebih oleh guru, karena ia pintar.
"Kalian bertiga boleh duduk, jika bisa menjawab pertanyaan Bapak," ucap Pak Bento.
Rayen tersenyum singkat. Ia akan membantu sahabatnya terbebas dari hukuman ini.
***
Hai. Sampai sini dulu, ya. Semoga suka.
Makasih yang udah mau baca.
Thank you
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro