|| Bagian Empat Belas ||
Ciee yang baca tapi gak vote :)
Vote dulu, ya, gratis kok.
***
Yunian sudah duduk di sofa bersiap menunggu kedatangan Parjo yang sudah berumur enam puluh lima tahun.
"Yan, lo serius, nih?" tanya Yunian tak yakin.
"Seriuslah. Udah, lo tenang aja."
"Emak jadi gak pede deh, Yun. Mak di dalam aja, ya. Lo aja sendiri yang ngelayanin. Kalau dia nanya Emak, bilang aja Mak udah tidur."
"Oke, Mak."
Yunian memainkan ponselnya, lalu membuka kamera dan menatap wajahnya di sana.
"Gila lo, Yan. Haha."
"Udah, lo tetap cantik, kok."
"Cih, baru nyadar lo?"
"Ahelah, salah ngomong gue," dengkus Diyan.
Tak lama kemudian suara mobil terdengar memasuki pekarangan rumah Yunian. Gadis itu beranjak membukakan pintu untuk tamu yang akan datang.
"Semoga aja, ya, tuh kakek-kakek jantungan lihat kecantikan gue, terus mati dan gue senang hati melayat ke kuburnya."
"Udah-udah. Sana, samperin calon suami lo."
"Mau gue gampar?"
"Ampun-ampun."
Seorang pria tua keluar dari mobil dan dibantu berjalan oleh supir pribadinya. Parjo Wanto adalah seorang pedagang sukses di sini. Banyak mengenalnya, karena Parjo memiliki tujuh anak laki-laki yang tinggal di luar negeri. Sejak istrinya meninggal tiga tahun yang lalu, Parjo berniat menikah lagi. Sudah tiga orang janda yang ia dekati, tetapi tak berujung ke pelaminan.
Pak Parjo mengenal Yunian, ketika gadis itu memenangkan lomba silat tingkat kecamatan bulan lalu. Pak Parjo tertarik melihat Yunian, karena gadis itu tampak cantik, walau tidak berdandan.
"Malam, Kakek!" sapa Yunian berdiri di depan pintu rumahnya.
Mata Parjo membulat sempurna seperti ingin melompat dari tempatnya melihat gadis yang ada di hadapannya sekarang.
Gadis itu memakai daster tahun sembilan puluhan, dengan rambut dikucir asalan, memakai bando besar menutup sebagian kepalanya. Wajah gadis itu dilumuri bermacam make up yang sangat tebal, sangat menor dan mencolok. Belum lagi bagian alisnya yang menyatu seperti jembatan.
"Ka--kamu siapa?" tanya Parjo terkejut bukan main.
"Yunian, Kek!" jawab Yunian nyaring yang membuat telinga Parjo langsung berdengung. Lagi dan lagi Parjo terkejut melihat gadis itu, karena giginya yang menonjol ke luar.
"Ka--kamu tongos?"
"Hah? Gigi saya kan emang seperti ini, Kek," jawab Yunian memperlihatkan gigi besarnya yang tidak rapi. Oh, ayolah itu semua hanyalah kerjaan Diyan yang mendandani Yunian buruk rupa.
"Kakek gak percaya? Nih, nih, sentuh aja." Yunian mendekatkan giginya kepada Parjo yang membuat pria tua itu langsung menghindar.
"Mulut kamu bau sekali," ucap Parjo menutup hidungnya, karena mencium aroma tak sedap dari mulut Yunian.
"Oh, iya. Saya lupa gosok gigi, Kek. Ehm ... tapi baru dua minggu, kok, saya gak gosok gigi."
Yunian semakin mengembuskan napasnya yang bau bawang campur jengkol, karena tadi Diyan menyuruhnya memakan itu dua mangkuk.
"Gimana, Kek? Saya cantik, 'kan?" tanya Yunian melompat ke kanan dam kiri sambil memainkan rambutnya yang sudah berantakan. Sungguh, Yunian sudah seperti orang gila. Diyan yang melihat dari dalam susah menahan tawanya.
"Eh, eh. Mau apa kamu?" tanya Parjo ketakutan.
Yunian memonyong-monyongkan bibirnya yang duwer oleh lipstik.
"Dodi! Dodi!" panggil Parjo. Supir pribadinya itu segera menghampiri Parjo yang sudah dibanjiri keringat.
"Kita pulang saja. Gadis ini mungkin sudah tidak waras."
"Baik, Pak."
Yunian menggertakkan giginya berlagak serigala yang akan menerkam mangsanya. Parjo bergidik ngeri membayangkan digigit oleh gigi kuning gadis itu.
Akhirnya, Parjo menaiki mobilnya dan pergi meninggalkan rumah Yunian. Gadis itu bernapas lega dan membuka gigi palsunya.
Diyan langsung menghampiri Yunian, lalu tertawa kencang. Ia sudah susah menahan tawanya di dalam.
"Gokil banget lo, Yun!" ucap Diyan merangkul Yunian, tawanya masih belum reda.
"Ide lo, nih, ada-ada aja. Tapi gak papa, deh. Berkat ide lo, Kakek Parjo ilfeel sama gue. Haha."
"Tapi lo lebih cantikan dandan kayak gini, deh, Yun!" ucap Diyan yang membuat Yunian memukul cowok itu.
"Muji apa ngehina lo?"
"Gue menistakan."
"Ah, kampret."
Diyan kembali tertawa, lalu mencubit pipi Yunian dengan kedua tangannya.
"Ih, Diyan! Sakit tahu!"
Yunian mengejar cowok itu untuk balas dendam. Buru-buru Diyan berlari menjauhi gadis itu.
Diyan langsung masuk ke dalam rumah Yunian, ia berlari tanpa sengaja tersandung sofa yang membuat Diyan terjatuh, Yunian yang berada di belakang Diyan ikut terjatuh yang membuat dirinya menindih punggung cowok itu.
Diyan menoleh, menatap muka Yunian yang sangat dekat dengan mukanya. Ia lalu terkekeh melihat Yunian yang tak berhenti menatapnya.
"Ciee ... baper kan lo?"
Buru-buru Yunian bangkit dan mengusap-usap dasternya.
"Apaan, sih, lo! Siapa juga yang baper."
"Ah, masa?"
"Apaan, sih, Yan. Gak jelas banget! Udah sana-sana pulang!" suruh Yunian mendorong-dorong badan Diyan.
"Iya-iya, gue pulang," ucap Diyan berjalan ke depan pintu.
"Udah sana!" usir Yunian menutup pintu rumahnya. Namun, Diyan mendorong pintu itu kembali, menyembulkan kepalanya.
"Ingat, loh, ya. Lo jangan sampai baper, kita satu geng. Udah kayak saudara."
"Dih, kepedean lo. Siapa juga yang baper. Udah sana pulang!" usir Yunian lagi menutup pintunya.
"Eh, entar dulu!" ucap Diyan menahan pintu agar tidak tertutup dulu.
"Apaan lagi?" tanya Yunian kesal.
"Gue belum pamit sama Emak lo!"
"Udah, nanti gue bilangin."
"Oke. Gue pamit, daaa!" pamit Diyan melambaikan tangannya.
"Daaa."
Yunian menutup pintu, lalu menyandar di belakang pintu itu. Ia mengembuskan napas pelan, lalu mengusap dadanya.
Yunian tiba-tiba tersenyum sendiri, masih mengusap dadanya, lalu beralih mengusap perutnya.
"Gue seneng banget."
Yunian memutar tubuhnya, lalu melompat sedikit.
"Ah, gue bahagia pokoknya."
Gadis itu kembali tersenyum.
"Seneng ... karena gue berani makan semur jengkol dua mangkuk tanpa takut bau mulut hari ini. Emak gue pasti bangga. Ah, kenyangnya."
***
Prang!
Rayen yang berjalan di ruang tengah menoleh menatap dapurnya yang berantakan. Apa yang terjadi?
"Sintia, jangan nekat, please!"
Alis Rayen bertaut mendengar teriakan Irwan. Ia akhirnya menghampiri pria itu yang sedang bersama selingkuhannya di dapur.
"Aku tidak mau main-main lagi, Mas. Pokoknya Mas harus nikahin aku secepatnya, kalau tidak ...."
Gadis berumur sembilan belas tahun itu mengarahkan pisau ke arah pergelangan tangannya.
Rayen hanya menonton tanpa ekspresi. Ia setia menunggu adegan apa yang akan terjadi di rumahnya.
"Sintia. Aku pasti akan menikahi kamu, tetapi aku mohon bersabarlah. Kasih aku waktu untuk membujuk Rayen merestui hubungan kita."
Alis Rayen terangkat sebelah, mendengar namanya dibawa-bawa.
"Rayen. Nak, tolong Papa! Papa gak mau Sintia terluka, karena Papa."
Rayen hanya diam saja.
"Udah, Mas. Sampai kapan pun anak kamu tidak akan menyukaiku. Lebih baik aku mati saja," ucap Sintia mendekatkan pisau itu ke tangannya.
"Tidak Sintia! Tidak!"
"Rayen, tolong Papa, Nak!" mohon Irwan. Namun, Rayen hanya diam saja dengan muka datarnya. Ia berpangku tangan menatap Sintia yang menangis tersedu-sedu.
"Selamat tinggal, Mas," lirih Sintia mulai menggoreskan pisau itu ke urat nadinya.
"SINTIA."
"Jangan, Sintia!"
"Maafkan aku, Mas. Hiks ...."
Rayen membalikkan badannya, melangkah pergi dari sana.
"Kalau udah mati, kabarin! Aku mau nonton drakor dulu. Drama yang kalian tampilkan sungguh menjijikkan," ucap Rayen datar.
***
Hai-hai. Gimana part ini? Hmm ... jujur, dari sekian part entah kenapa aku senang nulis part ini. Semoga suka, ya.
Terima kasih yang udah mau baca.
Jangan lupa vote and comment, ya
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro