Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

|| Bagian Delapan Belas||

Rayen mendengkus pelan. Ia menatap datar ke arah Sintia yang berdiri di hadapannya sekarang.

"Hai, Ganteng. Apa kabar, Sayang?" Sintia berjalan memutari Rayen.

Cowok itu hanya diam saja. Matanya menatap tajam.

"Oh, ini anaknya Irwan," ucap sebuah suara laki-laki yang bersama Sintia tadi.

"Anak ini nggak pernah restui hubungan gue sama bokapnya. Padahal dia hanya beban keluarga," ujar Sintia, membuat Rayen menggumpal tangannya.

"Perlu gue kasih pelajaran?" tanya pria dewasa itu yang bernama Bima.

"Nggak perlu, gue udah pintar," jawab Rayen santai. Ia tidaklah berbohong, bukan? Memang Rayen sangat pintar.

Bima menggebrak meja di depannya. Melihat itu, Rayen tersenyum sinis, mudah sekali baginya membuat pria dewasa itu emosi.

"Jangan main-main lo!" bentak Bima.

"Sorry, gue nggak suka main-main," ucap Rayen pula yang membuat rahang Bima mengeras.

"Sin, kita apain bagusnya, nih, anak?" tanya Bima.

"Abisin aja, Bim, tapi bentar. Gue mau ngomong." Sintia lalu menghadap Rayen, ia menatap manik mata tajam cowok itu.

"Kamu jangan jadi penghalang lagi! Kamu harus merestui hubungan saya dengan papa kamu! Jika tidak, saya tidak akan segan menghabisi kamu!" ancam Sintia, sembari mengeluarkan pisau dari balik bajunya.

Rayen terkekeh singkat. Ia tidaklah takut.

"Kenapa Anda ingin sekali menjadi istri Irwan? Bukankah Irwan tidak sekaya yang Anda bayangkan?"

Orang tua Rayen memang tidaklah sekaya orang tua Diyan. Menurut Rayen, kenapa Sintia terlalu obsesi ingin menikah dengan papanya? Sedangkan hartanya tak begitu melimpah. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri juga jika Rayen memang kaya.

"Bukan urusan kamu!"

"Memang bukan urusan saya, lalu kenapa Anda mengancam saya?"

"Kamu!"

"Kenapa, Tante Sintia?" balas Rayen.

"Pisau ini bisa saja menusuk perut kamu, jika kamu main-main dengan saya!" bentak Sintia.

"Tusuk aja," kata Rayen santai. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering, menandakan ada panggilan masuk. "Tapi, tunggu dulu, teman saya nelepon," ujarnya santai.

"Halo, Yun?"

"Lo di mana, Yen? Nggak masuk sekolah? Udah hampir bel, nih."

"Duh, putus-putus, Yun. Gue chat aja, ya."

Rayen mematikan teleponnya sepihak. Ia pun segera mengirim pesan kepada Yunian.

Yun, gue di sini. Ada urusan sama Sintia.

Setelah itu, Rayen meng-share lokasinya sekarang dan kembali menyimpan ponselnya.

"Kenapa? Kok nggak jadi tusuk saya?" tanya Rayen santai, membuat Sintia mengeram kesal.

Sintia menghela napas gusar, lalu mengembuskannya kasar.

"Nanti malam, kamu harus bilang ke papa kamu setuju! Jika tidak, kamu akan saya abisin!"

"Nggak setuju," ujar Rayen langsung.

"Udah, Sin. Anak ini makin ngelunjak," sahut Bima pula.

"Mau saya mati, pun, Irwan tidak akan berani menikahi Anda," ucap Rayen tersenyum sinis. Kenapa begitu? Hal itu tak bisa dibongkar sekarang.

"Bim! Tangkap anak ini dan kurung dia di dalam, kapan perlu ikat tangan dan kakinya biar nggak bisa ke mana-mana!" suruh Sintia.

Saat Bima akan mendekatinya, Rayen segera menjauh, ia berlari menuju pintu masuk tadi. Bima pun mengejarnya.

Sial! Pintu itu dijaga oleh dua orang berbadan besar. Bagaimana caranya Rayen keluar? Sedangkan rumah ini tak memiliki jendela.

Bugh.

Sebuah balok terasa menghantam punggung Rayen dari belakang. Cowok itu pun tak kuasa menahan sakitnya, ia akhirnya ambruk dengan kegelapan yang langsung menyambut.

***

"Yan," panggil Yunian.

"Iya."

"Kok perasaan gue nggak enak, ya."

"Kenapa lo? Belum bayar utang lagi? Udah, entar gue bayarin."

"Ish, bukan itu. Gue jadi kepikiran sama si Rayen. Tumben banget, tuh, anak rela bolos sekolah, demi selingkuhan papanya itu."

"Mungkin si Rayen udah malas sekolah kali, dia, kan, udah pintar."

"Dih, Yan. Gue serius tau! Lo juga kenapa dari pagi nggak semangat gitu? Uang jajan lo ditambah lagi? Ya udah, sini kasih aja ke gue."

Diyan mengembuskan napas pelan. Sejak tadi ia hanya memikirkan Rere. Sepertinya cewek itu sudah menghantui pikiran Diyan.

"Diyan, Yunian! Kalian lagi ngomongin, apa? Dengar Bapak menerangkan nggak, tadi?"

"Mampus, Yan. Tuh, Pak botak ngomongin apaan, tadi?" bisik Yunian.

"Mana gue tau."

"Yunian, coba ayo kamu ke depan sekarang!" suruh Pak Dani-Guru Bahasa Indonesia. Yunian hanya menurut saja, ia pun berjalan ke depan.

"Coba sekarang buat puisi dan bacakan langsung!" suruh Pak Dani yang membuat Yunian melongo.

"Jika tidak bisa, kamu akan Bapak kasih tugas sepuluh kali lipat," ancak Pak Dani yang tentu saja Yunian tak ingin itu terjadi. Tugas satu saja ia sudah kuwalahan.

"Bisa, tidak?"

"Bi--bisa, Pak. Hekhem ...."

Yunian menghela napas dalam dan mengembuskannya pelan. Ia bersiap untuk membacakan puisi terbaik yang disuruh Pak Dani.

"Si Diyan lagi patah hati
Diajakin Mbak Kunti makan ketoprak."

"Cakeeep," teriak teman-teman Yunian.

"Makasih, loh, udah dibilang cakep," ujar Yunian santai. Pak Dani mendengkus.

"Pak Dani yang baik hati
Kasihan sekali, kepalanya botak," lanjut Yunian, membuat Pak Dani melebarkan matanya.

"Kamu menghina saya?"

"Ng--nggak, bukan, Pak. Itu, kan, lanjutan pantun saya."

"Tapi Bapak menyuruh kamu berpuisi, bukan berpantun, Yunian!" Pak Dani menghela napas pasrah.

"Eh, nggak sama emangnya, Pak?"

"Beda! Makanya belajar jangan suka ngomong di belakang. Sudah, kamu duduk sekarang," suruh Pak Dani.

Sebenarnya Yunian tahu ia tadi membuat pantun, bukan membuat puisi, tetapi karena memang Yunian tak bisa merangkai kata-kata indah menjadi puisi, maka dari itu Yunian memilih berpantun saja, yang penting ia terbebas dari hukuman Pak Dani.

***

Tak terasa, jam pulang pun tiba. Yunian dan Diyan memilih pulang bersama. Namun, sebelum pulang, mereka duduk dulu di kantin, untuk makan siang.

"Yan, coba, deh, telepon si Rayen," suruh Yunian.

"Kenapa nggak lo aja?"

"Udah, tapi nomornya mati. Mana tahu pas lo yang nelepon, nomornya hidup lagi."

"Lah, kalau nomornya mati, mah, mau Pak Presiden yang nelepon juga mati, Yun, kecuali nggak diangkat."

"Ya coba aja dulu," paksa Yunian.

Diyan pun mengeluarkan HP-nya dan menelepon Rayen. Telepon tersambung.

"Loh, kok tersambung?" tanya Diyan heran.

Yunian segera mengambil alih telepon Diyan, ia pun menatap layar HP cowok itu. Melihat nama yang ditelepon Diyan, Yunian segera mematikan sambungan.

"Lo nelepon Rere, bego. Bukan Rayen!" kesal Yunian.

"Eh, salah pencet berarti, nama Rayen dan Rere, kan, sama-sama R," alibi Diyan.

Yunian lalu memencet nomor Rayen dan menelepon cowok itu.

"Maaf, nomor yang Anda tuju ...."

Yunian langsung mematikan sambungan. Ternyata benar, nomor Rayen tidak aktif. Ke mana cowok itu? Tak biasanya HP Rayen mati.

"Perasaan gue jadi makin nggak enak, deh, Yan."

"Ya udah, kita samperin ke rumahnya langsung aja, yuk! Gue yakin, tuh, anak lagi tidur, makanya HP dimatiin."

"Ya udah, ayo!" ajak Yunian.

Hei, Laguna! Rayen membutuhkan kalian.

***

Bersambung

***

Gimana ya nasib Rayen? Tunggu next part, ya. Berhasil nggak, ya, Yunian dan Diyan menemukan Rayen?

See you next chapter!

Jangan lupa voment. Thank you!♥️

~Amalia Ulan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro