Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Nothing

"Akan aku tunggu dirimu, karena cinta kita tak terpaut jarak dan waktu."

.
Kemarin aku masih ingat kejadian tempo hari yang begitu menyebalkan.

Kamu mengambil sepatuku ketika kita masih sadar-sadarnya, dan dengan bodohnya kau melemparkan sepatu itu ke atap rumah tetangga.

Aku tak benar-benar marah soal itu, namun aku tak ingin kembali mengingat hal itu, karena kita telah menjadi pengecut bersama.

...

"Mitsuri!" Panggil ku ke gadis periang tiada henti di gerbang sekolah.

"Ah, Jeje!"

Kami bertemu seperti biasa, aku sendiri memang sering seperti ini. Menjumpai si gadis mematikan itu demi memastikannya tetap aman dari siulan anak-anak lain.

Tos kami layangkan beserta suara tawa khas.
Ini tidak baik memang, seorang anak laki-laki melakukan tos akrab dengan perempuan secantik Mitsuri, hanya saja...ini untuk kepentingan kedepan.

"Belum dijemput?" tanyaku prihatin.

"Belum, mana aku ada acara jam lima nanti," jawab Mitsuri disertai desahan pasrah.

"Kenapa nggak pulang bareng aja? Lagipula aku juga hari ini nggak antar jemput kok," tawarku baik kepada Mitsuri.

"Bisa aja sih, cuman kayaknya aku lebih baik nunggu aja."

"Dasar...ya udah, aku temenin,"

Tanpa penolakan aku diterimanya untuk menemaninya dalam satu atap yang sama, di depan gerbang sekolah beratapkan sedikit dari atap pos satpam yang tengah kosong.

Mitsuri Kanroji, seorang perempuan dari kelas jurusan IPS. Menjalin hubungan pertemanan ketika kami di kelas 10 dahulu, sebagai bentuk akrab di sebuah ekskul yang sama, yaitu ekskul jurnalistik.

Walau pada akhirnya kami lebih fokus pada ekskul kedua kami. Ia berada di ekskul olahraganya, sementara aku berada di kesenian mengajar beberapa hal-hal dasar seputar alat musik.

"Hahaha, rasanya seperti dejavu ya?" tanya Mitsuri mematahkan lamunan.

"Benarkah? Aku sudah lupa kejadian macam apa itu hingga membuatmu mengalami dejavu,"

Mitsuri dengan gampangnya lalu menunjukkan ekspresi sebal, dalam suara sebal ia lalu berkata, "ya udah kalau nggak inget! Nggak penting juga."

Mendengar perkataan itu aku lantas tertawa kecil yang semakin membuatnya sebal hingga memalingkan muka, seolah-olah tak sudi untuk menatapku. Baiklah, ini tidak baik untuk dilanjutkan maka harus ada topik bagus sebagai pencair.

"Kamu mau take vokal buat lagu baruku nggak?" tawarku kepada gadis berkepang tiga itu.

"Hah! Kamu bikin lagu baru lagi!? Mau! Mau! Mau!" jawabannya serentak seolah sudah melupakan kejadian beberapa menit lalu.

"Beneran?"

Obrolan kami berjalan lancar, memang ada banyak hal yang kami bicarakan, tapi rasanya itu tidak penting untuk ditanggapi secara intensif.

Kami hanya menikmati jam 3 sore itu sebagaimana semestinya remaja yang pulang sore hari dari rutinitas sekolah SMA mereka. Tidak lain, tidak lebih.

Perjalanan melintasi hiruk-pikuk kehidupan kota dari jalan trotoar akibat jemputan yang tak kunjung datang, membuat kami dipandang sebagai pasangan bau kencur oleh sebagain orang dewasa, sebagian lagi tampak memperhatikan diriku dengan tatapan iri.

Mereka iri karena kedekatan ku bersama Mitsuri, entah salah atau tidak, tapi memang, aku menyetujui jika Mitsuri memiliki tubuh yang indah.

Baiklah lupakan hal itu, sekarang inti utama ialah Mitsuri yang tiba-tiba berkata, "aku lapar." Disertai suara rengekan kecil meminta dibelikan sesuatu.

Helaan nafas berhasil membuatku sedikit sabar, beruntung tak jauh dari kami berdiri satu ruko penjual martabak manis sudah buka dan kebetulan juga, baru selesai menyiapkan tokonya.

"Ya udah, yuk makan martabak aja,"

"Ok!" teriak Mitsuri begitu girang.

Duduk di taman kota ditemani Mitsuri serta satu kotak berisi martabak manis. Kami benar-benar menghabiskan waktu sore kami hanya untuk melakukan hal-hal ini, padahal tadi aku tak terpikirkan untuk makan di taman kota yang notabenenya akan menjauhi jarak rumah kami berdua.

Ya, jika bukan karena rengekan cengeng gadis di sebelahku ini tak mungkin aku akan ke sini.

"Mit,"

"Apa?"

"Yuk pulang, udah mau jam lima, nggak baik anak gadis jalan sama cowok sampe maghrib, apalagi masih pake seragam sekolah."

Sesuai dugaan dia ngambek, bahkan kali ini diselingi dengan gelengan kepala tantrum khas anak usia 5 tahun menginginkan sesuatu.

Segera aku elus pucuk kepalanya sambil berkata, "shhh, anak pintar jangan nangis, nanti cantiknya ilang lho. Dah ayo kita pulang, besok aku ajak jalan-jalan ke tempat lain deh."

Beruntung didapat, Mitsuri dengan anggukan setengah niat lantas berdiri terlebih dahulu dan tentu, dengan satu tangan kirinya yang menarik-narik kecil kemeja seragamku. Ah, betapa imutnya dia hari ini.

Setengah jam perjalanan pulang benar-benar membuatku tak habis pikir akan kelakuannya yang begitu kekanak-kanakan, minta ini minta itu tanpa pikir konsekuensi. Beruntung semua itu telah berakhir ketika kami sudah di depan gerbang rumahnya.

Yah, dia sudah pulang, dan sekarang aku harus memikirkan alasan apa yang paling tepat untuk diberikan ke kakak sepupuku dan tanteku soal keterlambatan kepulanganku.


...

"Mitsuri sebenarnya cinta sama kau,"

"Kata siapa itu Shin?! Jangan bohong ataupun fitnah kau,"

Waktu teleponku hari ini benar-benar penuh akan plot twist menarik di setiap menitnya.

Shinobu, ia adalah kakak kelasku dari jurusan IPA. Perkenalan serta pertemuan pertama kalinya terjadi di studio kesenian milik sekolah, dimana kala itu ia adalah seorang pemegang gitar bass rese yang selalu memainkan bass miliknya meski saat itu tengah diadakan rapat penting.

Dan, percakapan malam itu pun juga karena sikap resenya. Di sisa masa sekolahnya ia lantas mengungkapkan berbagai tindakan tidak terpujinya kepadaku soal ekstra kesenian.
Mulai dari korupsi uang pembelian alat, hingga menukar kabel di studio demi kelancaran perfomance live-nya di luar sekolah.

Tak hanya itu saja, ia juga tengah menjalani hubungan semi serius bersama seorang pria yang yah... tak penting untuk diucapkan hari ini, karena, dia amat sangat pendiam. Akan tetapi pernyataan jika Mitsuri menyukaiku adalah hal lain.

"Dia itu lagi datang bulan aja, makanya bisa ngomong kayak gitu," bantahku ke informan.

"Tapi dia yang bilang sendiri."

Bagai meteor dari Bima Sakti yang jatuh di ujung kawah Antartika, pada saat itu jua jantung mulai berdetak jauh lebih cepat dari biasanya.
Mencetak berbagai spekulasi-spekulasi aneh soal Mitsuri.

Segera, aku selesaikan percakapan intens bersama Shinobu, dan berpaling pada waktu untuk tidur cepat, namun, sayangnya tidak bisa!

Tak dapat aku lakukan hal itu sekarang! Mitsuri oh Mitsuri! Kau membantuku untuk menjadi seperti ini.

Dan sekarang, tak dapat lagi aku pejamkan mata di detik itu juga, karena ungkapan kasih itu.

Mata memandang begitu jauh menyusuri waktu. Hari demi hari berlalu, benar kata Shinobu, Kanroji atau Mitsuri memang mencintaiku.

Gadis yang kuharap menjadi teman untuk aku andalkan jika ada apa-apa itu, kini menjelma menjadi sesosok manusia penuh kasih.

Memberikan padaku berbagai perhatian, yang bahkan kunilai itu terlalu niat.

"Coba makan ini," paksa Mitsuri kepadaku untuk memakan cipak yang tampak begitu merah merona karena sambal dan bubuk cabai.

"Mit, aku nggak boleh makan pedas."

"Aah! Pokoknya kamu harus makan satu!"

Terpaksa, ciuman pedas pun didapat setelah adonan aci penuh bubuk itu menyentuh bibir.
Aroma cabai serta lada menyeruak, membikin tenggorokan seolah-olah meminta air sebelum waktunya.

Dan ketika makanan itu sampai ke mulutku, cepat-cepat kutelan bulat-bulat makanan dari neraka itu agar efek pedasnya tak begitu terasa.

Namun, hal itu justru memancing Mitsuri untuk menyuapiku lebih banyak cipak untuk dimakan! Baiklah, ini memang bukan hal paling parah.

"Udah Mit, lidahku nggak kuat,"

Cepat-cepat aku minum air di botolku hingga tandas, menyisakan sebagian rasa kesal.
Mitsuri dengan tanpa rasa bersalah hanya tertawa cekikikan melihat tingkahku, sementara itu aku sendiri harus sebisa mungkin untuk meredam amarah.

Kami kembali berceloteh seperti biasa.

Selayaknya pasangan lainnya, hohoho, memang tidak ada hal spesial jika dirunut dari kejadian kami.

Setidaknya untuk beberapa waktu dekat ini.

...

Kenapa pula, kehidupan menganga lebar seperti ini?

Satu tahun telah usai, dan dengan itu kami lulus dari SMA. Akan tetapi, ada satu duka yang harus kami datangi setelah puncak kelulusan.

Shinobu, mengundang kami berdua untuk menghadiri upacara pemakaman kekasihnya.

Di bawah langit hitam akibat awan mendung, serta terpaan angin kencang kami mencoba untuk tetap terlihat tegar.
Mitsuri sedari tadi terus-terusan berada disebelah sahabatnya itu, menenangkan hati serta pikiran sang sahabat.

Sementara aku? Tentu saja hanya menjadi penonton dikala yang lain sedang sibuk menurunkan serta memposisikan jenazah ke liang lahat.

Giyu, andaikata aku membersamaimu ketika peristiwa pembacokan itu, pasti kau akan selamat.

Ah, tapi semua telah berlalu, dan kini hanya tinggal menunggu saja, semoga saja kau tenang, kawanku yang pendiam.

Selesai dengan lamunan aneh itu, pembacaan ayat-ayat suci terdengar dari ustadz tua di sisi makam, dilanjutkan pembacaan sunyi doa kepada jenazah.
Aku sendiri membaca doa sebanyak yang bisa aku kirim, lalu pulang beriringan dengan Mitsuri.

Di depan gerbang pemakaman, Mitsuri lantas bertanya kepadaku.

"Kapan ia akan ditanyai? Apakah nanti malam?"

"Aku kurang paham, namun katanya, yaitu sekitar 40 langkah para pelayat yang ada,"

Mitsuri setelah itu diam seribu bahasa. Kami lantas pulang bersama sambil membawa duka yang sama.

Shinobu setelah kejadian benar-benar menjadi lain.
Cita-citanya yang dulu ingin menjadi dokter, seketika itu pupus tanpa alasan.

Mitsuri sudah sering membujuknya namun hasil selalu nihil, maka akibat hal tersebut aku juga harus berbuat sesuatu.

"Hmmm? Cerpen siapa ini?"

Toko buku dengan segala hal yang ada. Aku tahu, dan paham jika Shinobu si pemegang alat musik bass itu suka membaca juga.
Terutama jika yang dibaca adalah novel atau antologi cerpen. Dan kini, sebuah buku antologi cerpen mengambil hatiku.

Buku dengan background sampul berwarna hijau tua, yang dihiasi oleh ukiran-ukiran wayang di keempat sisinya, tak lupa dengan sebuah siluet antara wayang laki-laki dan wayang wanita di bagian bawah dari judul bukunya.

'Jangan Sampai tapi Ingin'

Kurang lebih itulah judul dari buku antologi ini.

Baiklah untuk jaga-jaga jika ini tidak bagus, aku baca saja deskripsi cerita dibagian belakang buku.
Dan hasilnya, aku malah menjadi tertarik dengan buku ini.

"Dah nemu?" tanya Mitsuri dari arah belakangku.

"Udah, ini bukunya."

"Baguslah, yuk kita agak cepetan, bentar lagi malam,"

Meninggalkan toko buku, kami sekali lagi terus bercanda sana-sini. Membuat sedikit kericuhan kecil sebagai penghangat diantara kami.

Hmmm, biasalah... pasangan muda, kan?

Atau...

"Je, apa kita bisa begini sampai tua besok?"

"Entahlah Mit, kita hanya bisa berdoa."

"Doa ya? Apa kamu selalu berdoa untuk hal itu?"

"Kadang iya, kadang enggak. Kamu tahu? Aku lebih banyak berdoa biar dapat kerjaan,"

"Lho? Kenapa?"

Tak aku jawab pertanyaan itu. Biar saja Mitsuri memikirkan hal itu sebaik-baiknya, menyingkirkan segala isi pikiran kekanakan yang ia punya.

Dan sekarang, saatnya menjadi penyembuh sana-sini.

Hahaha, benar bodoh diriku ini.

Kami terus bersama hingga hari kelulusan tiba. Bergembiralah kami dalam segala hal kala itu, melihatnya bagaimana ia tersenyum manis setelah acara kelulusan adalah candu baru buatku.

"Nanti kita akan jadi apa?" tanya Mitsuri disela-sela kami memakan es campur di lapangan depan gedung kelulusan.

"Kamu maunya jadi apa?"

"Hairstyles,"

"Ouh... kok aku jadi keinget lirik lagu ya?"

"Lagu apa?"

"Bukan apa-apa, cuman lagu galau aja."

Dan kemudian, kami saling bertukar canda lagi. Sama seperti dahulu lagi, membuat kelakar disana-sini.

Setidaknya... tepat sebelum kisah itu tertulis begitu saja dari kami berdua, menodai kesucian diri sendiri.

...

Di atas sana.

Dari atas lantai rumahmu, ketika semua orang pergi dan tetangga sekitar terbawa arus tidur yang hakiki.

Ketika... apa kau sebut kala itu Mit? Anggur merah katamu ya? Ya apapun itu, dalam pengaruhnya ketika pesta ulang tahunmu itu.

Semua yang datang melampiaskan nafsu mereka begitu liar, begitu juga kita... dalam momen mengabur ingatan itu kau lempar sepatuku ke genteng rumah sebelah. Bukan marah, justru kita terkikik tertawa lirih.

Lalu beradu ranjang sampai kita dibangunkan oleh iqamah masjid karena sudah memasuki waktu sholat subuh.

?

Selanjutnya... engkau masih bisa memberikan ciuman tepat di bibirku, sambil berbisik jika hari itu bukan saat kau bisa hamil, oh... benarkah demikian? Mitsuri, kamu bukan anak SD lagi saat pergumulan itu.

Dan tepat beberapa waktu setelah itu, benar saja...kau pusingkan aku dengan masalah itu.

Akhirnya datang juga, dan sesuai ketakutan terbesarku. Anak kita datang ke dunia melalui rahimmu.

Segalanya sudah aku tawarkan untuk merawatnya.

Kau setuju dalam setiap penawaran itu, syukur jika kamu mau pada saat itu. Hanya saja, mengapa setelah Cika lahir, ke mana kau sekarang?

Meninggalkan semua hal ini kepadaku?

Suara tangis bayi yang begitu nyaring terus aku iringi ia hingga berubah menjadi tawa yang tersusun dari rangkaian huruf-huruf vokal. Ia sudah seperti dirimu ketika kecil, putri kecil kita sudah lebih tahu apa itu matematika, dan kini... aku harus mempersiapkan segalanya untuk memasukan ia ke jenjang pendidikan dasar...ah, andai.

"Ouh, ceritamu panjang juga,"

Seketika, aku lantas tersadar dari semua memori masa lalu ku.

Etalase cafe, aroma pahit biji kopi, dan alunan musik jazz juga menderu di sana-sini. Tak kuingat jika aku sedang mengobrol dengan seseorang selama ini.

"Ya begitulah, mas Mike, iya kan?"

"Iya, nama saya Mike bukan Giyu atau apapun itu." sahut orang di depanku.

"Ouh, syukur mas, sempat kukira teman saya Giyu, bangkit dari kubur, eh ternyata emang orang lain."

Mike Sastra, begitulah ia menyebutkan namanya padaku. Kami bertemu dalam sebuah kejadian tak terduga.

Ia adalah penulis yang...eh, aku sempat beli bukunya bertahun-tahun yang lalu. Memang benar, ia mirip dengan Giyu, baik perawakan serta rupa wajah, hanya saja Mike memiliki netra mata berwarna ungu tua, serta senyum kecil yang terus terpampang di wajahnya.

Sangat bertolak belakang dengan Giyu.

"Harus aku akui, kisahmu emang penuh drama mas, sempat tak terpikirkan bagaimana repotnya merawat anak perempuan aktif sendirian, sembari berjualan dan ngebuat album musik sekaligus!"

"Ah, itu sudah biasa, sekarang Cika sudah besar, sudah bisa menahan diri aku yakin dia tidak akan terlalu merepotkan ku kedepannya,"

"Begitu, jadi Cika memang copy paste dari ibunya sendiri ya?" tanya Mike sedikit mengejek.

"Ah...benar, Cika itu memang copy paste dari ibunya. Bagaimana ia mengekspresikan keceriaannya, dan bagaimana nafsu makannya yang begitu besar, ia benar-benar meniru ibunya, sedangkan aku hanya mewarisi warna rambut serta netra mataku saja, ah sungguh."

Larut, aku benar-benar larut dalam hal ini.

Seketika kuingat lagi jika Cika kini tertidur di rumah Kocho bersaudara, pasti ia sudah tertidur bersama tiga bocah di sana, menantikan ayah bodoh satu ini untuk menjemput ia sekarang juga.

"Mas Jeje, kayaknya aku bisa bantu dalam pencarian kekasih mas,"

Aku lalu menoleh tak percaya, apa ini mimpi? Kami baru bertemu beberapa waktu saja dan dia sudah menawarkan bantuan itu.

Apakah bisa? Ini sudah 4 tahun lho! Masa sih bisa?!

"Tanpa bayaran uang kok, tapi saya minta izin ke mas,"

"Apa itu? Katakan saja."

"Izinkan saya menulis kisah mas menjadi sebuah novel, saya yakin mas, ini bisa jadi best seller!"

"Baik, tapi dengan syarat tokoh, tempat dan waktu disamarkan semua,"

"Lah, waktunya janganlah mas, atau paling enggak tempatnya jangan ikut disamarkan,"

Berpikir. Baiklah, ada benarnya, toh tempat ya tempat, bisa saja mempengaruhi terungkapnya suatu kisah nyata dibaliknya atau justru membuat misteri semakin larut.

Tapi...masa iya aku harus merelakan privasi kisahku hanya untuk keinginan penulis seperti dia?

"Baiklah saya kasih kamu izin, tapi jangan terlalu eksplisit menyebutkan kami."

"Siap mas! Bisa diatur!"

Dasar penulis aneh.

Aku kemudian pergi dari sana, lalu mengambil kembali Cika yang ternyata masih saja terjaga sampai jam segini.

Memang benar, anak ini kelewat aktif.

Maka dalam rangka perpisahan, aku mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Kocho bersaudara, baru setelahnya pulang ke rumah bersama Cika.

"Ayah, kenapa Ayah tadi lama banget perginya?"

"Biasa, Ayah cuman ngobrol,"

"Bukan tentang ibu kan?"

Duh, kenapa Cika bertanya soal itu?

"Bukan nak, tenang aja, ayah nggak akan bicara tentang ibu lagi,"

Ah iya, aku jadi teringat kejadian di masa lalu.

Kejadian yang membuat Cika menjadi sensitif terhadap ibunya sendiri.

Pada suatu kunjungan orang tua di sekolahnya. Aku tentunya datang sebagai orang tuanya, melihat berbagai penampilan yang disajikan di atas panggung oleh anak-anak seumuran Cika.

Drama, musik, hingga tari. Itulah isi dari acara ini.

Setidaknya Cika tampak begitu gembira di atas panggung dengan melakukan penampilannya bersama teman-temannya. Tepat sebelum beberapa onggokan ibu-ibu sosialita menggunjing anak perempuanku di sampingku persis!

Hei! Setidaknya turunkan nada bicara kalian sialan! Suara gunjingan itu bahkan sampai masuk ke area panggung dan, apa yang mereka bicarakan akan menjadi lukisan untuk Cika hingga detik ini.

Dasar!

Singkat cerita, esok hari yang cerah aku pergi menenangkan dengan pergi ke pantai bersama Cika.

Menikmati keindahan alam yang ada.

Menikmati air asin dari laut lepas, bermain pasir yang dipenuhi sampah, dan memancing kepiting yang sesekali keluar dari dalam pasir.

Tak hanya itu, seolah menjadi semakin seru, keluarga Kocho tiba-tiba saja datang dan meramaikan suasana.
Cika aku lepas untuk bermain dengan Kanao dan Shinobu yang tampaknya mulai dirasuki lagi oleh jiwa anak-anaknya.

Sementara aku, duduk di pinggir pantai bersama Kanae ( kakak dari Shinobu) sambil memandangi mereka bermain-main.

"Tidak mencari Mitsuri lagi?" tanya kak Kanae padaku.

"Aku mengandalkan teman kalau soal itu,"

"Mau aku kasih cara yang mudah?"

"Apa maksudmu?"

"Kuberi tahu di mana dia sekarang,"

Mendengarnya saja seperti buaian mimpi, apalagi jika yang bicara itu kak Kanae.

Beuh! Tambah tak percaya lagi aku.

Segera aku pun mengangguk iya, ia lantas mengarahkan diriku pada satu alamat, tak jauh dari pantai.

Menitipkan Cika adalah hal pertama yang aku lakukan, baru setelah itu aku lantas pergi menuju tempat yang di maksud.

Dan ketika sampai, sebuah ruko kecil menyambut.

Memasuki ruko, mataku dibuai oleh pemandangan itu.

Sosok cantik jelita dalam balutan sweater merah jambu tengah menulis susunan kata di sebuah kertas nota.

"Mitsuri," panggilku secara lirih.

Sontak, kedua netra kami saling menatap satu sama lain, dalam satu kebingungan yang sama.

Merasakan semua atmosfer yang tercipta diantara kami berdua.

Sebelum akhirnya, aku berhasil mendapatkannya kembali.

.
.
.
.
.
.

End.

Mike Sastra
11-09-2006.

Kisah akan berlanjut ke Linting Kertas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro