LAGI MIKIRIN SIAPA KOK BELUM TIDUR? PART 9B
Halo!
Ketemu lagi sama Bangse. And it's still a heavy part, jadi selain ngingetin buat vote dan comment, Bangse juga pengen kalian ngelakuin sesuatu: say you love them. Mungkin ini kedengarannya sederhana banget, tapi mengekspresikan apa yang kalian rasakan ternyata baik bagi jiwa. It brings a smile to their face, just as you do.
Selamat membaca!
CHRISTIAN SIMAMORA
--
Udara dipenuhi aroma bunga lili, kelopak putihnya berdiri tegak dan kontras dengan pemandangan sekeliling yang serba muram. Perabotan sudah disingkirkan untuk menciptakan area terbuka yang luas di ruang tamu, tempat peti mati Papa ditempatkan.
Satria melakukan pekerjaannya dengan baik; peti mati itu terbuat dari kayu mahoni yang indah, dipoles hingga berkilau yang memantulkan cahaya lampu di atasnya. Peti itu benar-benar mencolok di tengah ruangan, dikelilingi lautan rangkaian bunga dalam nuansa putih dan hitam. Udara dipenuhi alunan lembut musik klasik dari bluetooth speaker milik Satria yang diletakkan di sudut ruangan. Nggak ada keraguan kalau semuanya ini adalah ide adiknya itu, merencanakan semuanya dengan hati-hati dan mengeksekusinya sendiri dengan presisi.
Saras berjalan ke bagian belakang ruangan, sebuah meja kecil telah disiapkan dengan buku tamu dan beberapa foto berbingkai almarhum. Semuanya adalah foto Papa sebelum stroke, saat beliau masih penuh semangat dan vitalitas. Dia berhenti sejenak untuk mengecek sekilas buku tamu, dan kembali mempelajari foto-foto itu dalam diam.
Ketika berbalik, dia melihat Mama berdiri dalam bayangan gelap di sudut ruangan. Pakaiannya serba hitam dan bahunya dibungkus pashmina merah hati—Mama membelinya saat bulan madu kedua mereka di Jaipur. Dia tampak melamun, menatap kosong ke peti mati di tengah ruangan. Saras bisa merasakan beban kesedihan yang memancar darinya, saat menyadari kalau dia harus siap melepas suaminya dalam dua hari ke depan.
"Ma," panggilnya lirih. Beliau tersentak dari lamunan, lalu memaksakan diri untuk tersenyum. "Mau aku temenin nyambut tamu-tamu yang datang hari ini?"
Mama terdiam untuk beberapa saat, lalu mengangguk pelan. "Makasih, Sayang."
Saras tak mengatakan apa-apa lagi, langsung menghampiri beliau dan membimbingnya mendekat ke peti mati.
*
What is said about the deceased, you may ask? Berkali-kali Saras mendengar kata 'baik' disebutkan oleh para pelayat yang datang ke rumah, seolah-olah itu adalah pujian. Papamu adalah ayah yang baik, papamu jemaat yang baik—bla bla bla dan bla.
Tak satu pun dari mereka mengatakan sesuatu yang personal tentang beliau. Bahkan yang sesederhana seperti makanan kesukaan, atau kenangan selagi Papa masih hidup. Saras berharap situasinya akan berubah dengan pelayat lain. Dia ingin mendengar sesuatu yang berbeda—anything.
Tapi waktu berlalu cepat sekali. Telinga Saras semakin terbiasa mendengar kata 'baik'—like it's verbatim. Yang membuatnya semakin yakin kalau kata itu sama nggak berartinya seperti WhatsApp berisi ucapan Natal yang ternyata cuman forward-an entah dari siapa.
Seumur hidup yang dihabiskan Papa di dunia ini ternyata hanya dihargai sebatas statement ambigu. Tak ada pencapaian yang diingat, tak ada juga sesuatu yang berkesan tentang beliau. Menyadari ini membuat Saras marah sekaligus khawatir. Berarti setelah pemakaman besok, semuanya akan kembali seperti semula. Dan orang-orang ini, yang berulang kali menyebut Papa baik, akan dengan cepat melupakan beliau.
*
Ketika jarum pendek jam dinding di ruang tamu menunjuk ke angka sepuluh, Saras benar-benar capek sebadan-badan. Kombinasi capek secara fisik dan capek secara emosional, dia benar-benar nggak ingin melakukan apa pun lagi selain tidur. Runa sudah tidur nyenyak di kamarnya setengah jam yang lalu, sedangkan Satria masih asyik mengobrol Nara dan teman-temannya yang lain di teras. Mama juga begitu, mengobrol dengan teman paduan suaranya di dekat peti mati.
Saras pun memutuskan menenggak sisa kopi di gelasnya, berharap itu bisa membantunya terjaga. Tapi, seperti bisa membaca pikirannya, Mama mengalihkan pandangan ke arahnya. Memberi isyarat supaya Saras naik ke lantai dua. Saras balas tersenyum penuh syukur. Thanks, Ma, balasnya tanpa suara.
Sesampainya di kamar, dia langsung mandi dan berganti pakaian. Mengeluarkan krim malam dari laci tas, juga kaus longgar dan celana pendek. Tapi setelah naik ke tempat tidur, hanya capek saja yang tertinggal di tubuhnya. Rasa kantuknya nggak tahu pergi ke mana. Saras men-charge handphone, lalu memutar lagu-lagu kesukaan di Spotify. Kemeriahan kecil itu menemaninya selagi menatap langit-langit untuk waktu yang lama.
https://youtu.be/49I6JrUnSQg
♪ "I am free, yeah yeah
Come water me, oh oh
Love you so, but if you don't
I have to leave, oh no...." ♬
Lagu terbaru Carly Rae Jepsen tiba-tiba diinterupsi oleh "Water Me"-nya Lizzo. Ada yang nelepon, pikirnya.
Saras menggeser tubuhnya hingga bisa meraih handphone dari nakas. Dia lalu menekan tombol hijau di layar tanpa melihat siapa peneleponnya. Handphone-nya berdering terus sepanjang hari ini. Sejak mem-posting tentang pemakaman Papa di Instagramnya, orang-orang bergantian memberikan ucapan belasungkawa. Mungkin yang ini juga begitu.
"Hei, Sar."
Oh shit. Yang menelepon bukan sembarang orang. It's Oza!
"Oh, Oza rupanya." Dia membuat suaranya terdengar santai—kebalikan dari jantungnya yang kini bertalu-talu heboh seperti musik EDM-nya KSHMR. "Sori, tadi ngangkatnya nggak pake liat nama dulu."
"Euh, berarti aku ganggu ya? Aku nelepon cuman buat ngecek keadaanmu."
"Nggak kok, nggak," kata cewek itu cepat. "Makasih ya udah care. Dan menjawab pertanyaanmu tadi, iya, hari ini memang hectic banget, but Thank God semuanya berjalan dengan baik. Besok Papa dikebumikan."
"Syukurlah kalo begitu." Mungkin ini perasaannya saja, tapi Oza beneran lega saat mendengar itu. "Terus kamu dah ngelakuin yang aku saranin nggak? Jadi makan cokelatnya?"
"Tadi niatnya begitu. Tapi begitu nyampe Tangerang, malah beneran lupa sama rencana sendiri mampir dulu ke supermarket. Ini acaranya baru selesai." Sort of, secara masih banyak orang yang bertamu di rumahnya malam ini. Suaranya terdengar sampai ke sini. "Kayaknya udah kemaleman banget buat ngemil cokelat sekarang."
"Tapi aku beneran serius lho soal nyaranin kamu makan cokelat. I want you to feel better."
"Iya, iya. Thank you, Za," ucapnya serta mulai bergelung lebih dalam di tempat tidur. "Gue pasti bohong kalo bilang gue baik-baik aja hari ini. But I promise I will. Beneran."
"Gimana perasaanmu sekarang?"
"Kayak yang dirasakan kebanyakan anak yang baru saja kehilangan papanya aja. Sedih. Merasa kehilangan. Masih denial juga."
"Bukannya kamu pernah cerita kalo lumayan deket sama papamu?"
"Iya. Tapi aku baik-baik aja."
"Terus kamu tadi nangis?"
Saras nggak bisa menjawab. Terpikir untuk berbohong juga nggak. Sekujur tubuhnya merasakan perlawanan, yang membuat mulutnya balas bertanya dengan nada defensif, "Kenapa lo tiba-tiba nanya kayak gitu?" Suaranya naik satu oktaf. "Gue baik-baik aja, Za."
"Tapi mengekspresikan kesedihan dengan air mata adalah metode yang ber-impact baik bagi kesehatan jiwa."
"Tapi hanya karena nggak nangis, bukan berarti gue nggak ngerasa kehilangan Papa!"
"Aku nggak pernah ngomong gitu, Sar."
Saras merapatkan bibirnya hingga tinggal segaris tipis. "Sori. Nggak ada maksud ngebentak lo kayak gitu? M-mungkin guenya lagi kelewat sensitif."
"It's okay." Suaranya lembut dan penuh pengertian. "Kalo gitu, ceritain sesuatu tentang papamu."
"Cerita apa?"
"Terserah kamu. Mau yang lucu, yang berkesan—anything."
Saras berpikir untuk beberapa saat. Sejurus kemudian dia bercerita, "Bokap gue dulu suka mempekerjakan anak di bawah umur—especially me. Waktu kecil dia menjanjikan gue uang sebagai ganti mencabut ubannya. Seratus rupiah buat seratus uban or something—beneran di bawah UMR bangetlah pokoknya."
Saras tak bisa menyembunyikan senyumannya ketika melanjutkan, "Papa biasanya rebah di dekat kaki gue, lalu membiarkan gue mencabuti uban dengan pinsetnya. Kalo diinget-inget lagi sekarang, kayaknya gue nggak pernah deh nyabut sampe seratus uban, tapi Papa selalu ngasih upah gue full. Adek-adek gue sih nggak tahu. Mereka berdua malah kompakan pergi main ke mana gitu kalo Papa manggil buat nyabut uban." Saras tersenyum kecil. "Mereka juga nggak tahu, seandainya nggak dibayar pun, gue tetep akan nyabut uban Papa dengan senang hati. Karena itu artinya gue jadi bisa ngabisin waktu bersama Papa. Dengerin curhatnya, joke-nya yang lumayan garing, atau kadang gantian curhat tentang sehari-harinya gue di sekolah dan tentang kelaknatan adek gue yang tengah."
"He sounds like a great father."
"He is. Absolutely," jawabnya tanpa ragu. "Dan yang bikin gue makin sayang sama Papa, beliau satu-satunya yang menentang Mama waktu terus-terusan nyuruh aku segera nyari pasangan dan married. Gue masih inget banget kata-kata beliau waktu itu, 'Saras nggak lahir di keluarga ini, terus disekolahkan tinggi-tinggi, cuman buat jadi pabrik anak. Jadi biarkan dia memilih yang terbaik untuk dirinya. Entah itu karier atau memutuskan untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, sebagai orangtua kita akan selalu mendukung keputusannya.'" Tenggelam dalam pikirannya sendiri, Saras nggak menyadari matanya mulai berkabut. "Nggak cuman Mama, ke sodara-sodara yang julid pun, Papa berani pasang badan tanpa mikir dua kali. Sesuatu yang belakangan, saat cerita ke temen-temen gue yang seumuran, adalah sesuatu yang nggak dilakukan oleh orangtua mereka."
Menyadari ini percakapan kedua mereka tentang pernikahan, sepertinya dia merasa perlu menggarisbawahi sesuatu tentang dirinya. "Gue sama sekali nggak ada masalah dengan pernikahan. Juga keputusan untuk punya anak. Itu hak prerogatif masing-masing individu. Tapi gue udah bikin janji sama diri gue sendiri, gue nggak akan nikah cuman karena pengen kelihatan normal kayak yang lainnya. Gue pengen nikah karena itu memang keinginan gue, bukan karena tekanan dari orang-orang sekitar."
Ada jeda yang cukup panjang setelah monolog panjang tadi. Mereka masih terhubung, tapi keduanya memilih untuk tak mengatakan apa-apa. Hingga suatu saat, dia mendengar suara cowok itu lagi. "Aku tahu beliau meninggal secara mendadak. Apa itu berarti... kamu nggak sempet ngucapin selamat tinggal?"
"Nggak cuman gue. Mama, Satria, dan Runa yang jelas-jelas tinggal serumah aja nggak dipamitin sama Papa." Dadanya tiba-tiba terasa sesak. "Tapi dalam percakapan terakhir kami, gue sempet denger Papa bilang kalo beliau bangga atas usaha nurunin berat badan sampe kayak sekarang. Sesuatu yang akan g-gue... ingat...." Saras mencoba untuk meneruskan tapi emosi meluap-luap di dalam dirinya. Puncaknya, dia merasakan air mata menetes dan berakhir di sudut bibirnya.
Asin, pikirnya saat mulai terisak.
Saras memindahkan handphone ke telinga kiri, berharap itu distraksi yang cukup untuk membuatnya berhenti menangis. But no. Air matanya semakin deras, meninggalkan jejak basah di kedua pipinya yang kini merona. Di mencoba untuk bicara, atau paling nggak meneruskan ucapannya tadi, tapi suaranya tersendat oleh isak tangis, dan dia hampir tak bisa mengucapkan apa-apa lagi.
"Nggak papa, Sar. You don't have to hold back," kata cowok itu dari seberang sana. "Dan nggak perlu malu juga, kan cuman aku temenmu ngobrol malam ini."
Suara tangisannya semakin memilukan, mengekspresikan rasa sakit dan kesedihan yang selama ini ditahan-tahan. Matanya merah dan bengkak, hidungnya basah, seolah-olah dia menangis selama berjam-jam dan bukannya barusan. Setelah beberapa waktu lamanya, Saras bergeser ke pinggir tempat tidur, lalu berjalan ke arah meja rias untuk mengambil tisu dari tas tangannya. Dia menghapus air matanya, lalu meremas tisu itu kuat-kuat ketika merasakan gelombang air mata baru menghampirinya. Tubuhnya membungkuk sampai dia mencengkeram tepi meja untuk bertahan. Kesedihan ini terlalu berat untuk hatinya. Bahunya naik dengan setiap napas gemetar yang keluar masuk di hidungnya. Saras seperti tersesat di dunianya sendiri, tak bisa melihat maupun merasakan apa pun selain kegetiran yang belum puas meremas-remas hatinya.
Dan di suatu masa, tiba-tiba saja isak tangisnya mulai mereda. Suaranya semakin pelan dan bisa dikendalikan. Seolah-olah Saras sudah meneriakkan semua rasa sakit dan luka di dalam dirinya, dan sekarang hanya tersisa rasa hampa dan kelelahan.
"Makasih udah ngebebasin gue nangis kayak tadi," kata cewek itu tak lama kemudian sambil menyeka air matanya dengan tisu. Matanya nggak sengaja melihat bayangannya sendiri di cermin meja rias. Rasa sakit masih terlihat jelas, tapi Saras juga bisa merasakan ketenangan baru di dalam dirinya. As if she reaches the eye of the storm, a place of stillness and acceptance.
"You deserve it," kata Oza dengan penuh pengertian. "Dan nggak usah malu. I'm glad to be here for you."
Lalu... hening.
Baik Saras maupun Oza sama-sama tak merasa perlu mengisi kekosongan dengan obrolan ringan atau basa-basi. They are both comfortable in the nothingness, enjoying the simple pleasure of each other's company.
Keheningan itu juga nggak terasa canggung dan nggak nyaman. Just a space where they can both simply be. Saras juga tak diliputi oleh dorongan untuk mengesankan Oza dengan bercandaan atau mengatakan sesuatu yang berarti. Mereka seperti sama-sama membiarkan dinding di antara mereka runtuh dan menyadari keberadaan satu sama lain.
Dalam keheningan bersama ini, Saras merasakan koneksi yang tak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Seolah dia tak perlu berbicara untuk memahami Oza dan begitu juga sebaliknya. Dan semakin lama dia semakin mensyukuri momen ini, menikmati kehadiran satu sama lain dan ketenangan dunia di sekitar mereka.
"Ngomong-ngomong sekarang udah setengah satu, Sar." Wait. Kami teleponan sampe dua jam lebih? "Kayaknya kamu dah harus istirahat. Besok kan bakalan sibuk banget. Aku nggak mau kamu jadi kecapekan karena kurang istirahat."
"Iya sih. Kaki gue juga pegel banget karena kelamaan duduk di tikar." Dia merasakan sudut mulutnya tertarik naik—senyum pertamanya hari ini. "Sekali lagi makasih ya."
"Sama-sama, Sar. Ngobrol lagi ya besok."
"Iya. Night-night, Za."
"Sweet dreams, Sar."
Ketika menutup telepon, Saras seperti diyakinkan kalau dia akan menemukan cara untuk bangkit dari kesedihan. Belum tahu seperti apa persisnya, tapi ada keyakinan penuh untuk membangun kembali hidupnya dari kepingan hatinya yang hancur ini.
Dan gue nggak akan melewati semuanya sendirian, tambahnya lagi. Oza janji akan selalu ada buat gue.
Being the best person I've ever had.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro