LAGI MIKIRIN SIAPA KOK BELUM TIDUR? PART 9A
Oke guys,
Berhubung part ini lumayan sedih, dan Bangse nyebut My Girl, Bangse jadi pengen tahu film apa yang pertama kali bikin kalian nangis?
Seperti biasa, ditunggu vote dan commet-nya, BB.
Sayang kalian semua!
CHRISTIAN SIMAMORA
sembilan
YOU ARE MY PERSON.
YOU WILL ALWAYS BE MY PERSON.
Beberapa hari kemudian, sekitar jam 3 pagi, Saras mengirim pesan buat Oza.
Saras K : Gue nggak nge-gym dulu ya, Za. Dua-tiga hari ke depan juga nggak.
Oza Prime : Lho, kenapa? Lagi nggak mood apa gimana?
Saras K : Ada urusan keluarga.
Oza Prime : Sar, ada apa?
Saras K : Papa meninggal setengah jam yang lalu.
Saras nggak menunggu balasan Oza. Banyak yang harus dia lakukan sebelum berangkat ke Tangerang. Dia menyiapkan traveling bag berisi beberapa potong pakaian hitam, baju ganti, pakaian dalam, dan lain sebagainya. Dia juga memastikan membawa kartu debit yang selama ini dia simpan di lemari pakaian untuk keperluan darurat. Dia benar-benar clueless tentang proses pemakaman, jadi lebih baik jaga-jaga mulai dari sekarang, in case ada pengeluaran mendadak. Daripada sedikit-sedikit harus minta Mama, kalau masih bisa lebih baik dia talangi duluan. Dia juga sengaja memilih flat shoes ketimbang sepatu berhak. Bisa dipastikan di acara pemakaman nanti akan banyak berdiri, jadi ketimbang yang stylish dia lebih membutuhkan alas kaki yang nyaman.
Out of the blue, Lizzo bernyanyi nyaring dari laci dalam tasnya. Tanpa menoleh, Saras mengeluarkan handphone dan langsung mendekatkannya ke telinga.
"Halo?"
"Hei, Sar," kata suara dari seberang sana. Suara cowok yang ngomong-ngomong belum pernah dia dengar sebelumnya. Berat dan dalam—mengingatkannya pada Vin Diesel. "Ini Oza."
"Oh hai."
"You okay?" tanya cowok itu, terdengar khawatir. "Aku nelepon sekalian mau ngucapin, turut berduka cita atas kepergian papamu."
"Makasih, Za," ucapnya dengan suara gemetar. "Sebenarnya, pas ke Tangerang minggu lalu, gue udah tahu kalo Papa lagi kurang sehat. Tapi beliau bilang cuman demam berdarah dan udah makan obat juga. Jadi gue putuskan untuk percaya. Makanya bener-bener nggak nyangka kalo... pagi ini... dipanggil Tuhan."
"Kamu dan papamu deket?"
"Tipikal anak ceweklah, Za, lebih deket ke Papa daripada Mama." Pengakuan itu tiba-tiba membuat dadanya terasa sesak. Dia menarik napas panjang beberapa kali sebelum melanjutkan, "By the way, ini gue lagi siap-siap mau berangkat ke Tangerang."
"Oh gitu. Jadi kamu mau nutup telepon? Ya nggak pa-pa juga sih—"
"No, no. Beneran. Tadi itu cuman mau ngasih tahu aja." Dia merasa perlu membasahi bibirnya terlebih dahulu sebelum meminta sesuatu pada cowok itu. "Euh, lo keberatan nggak kalo nemenin gue ngobrol sepanjang perjalanan nanti? You can say no though, if you think it's too much. Gue cuman... berhubung ini masih jam segini... gue nggak kepengen ngerasa sendirian aja—"
"Aku mau kok," jawabnya cepat. "Permintaanku cuman satu, kamu nggak boleh megang handphone sambil nyetir. Bahaya soalnya. Mending diletakin di dashboard atau bisa juga pake handsfree—kalo punya."
"Gue punya handsfree kok. Bentar." Setelah suara kresek-kresek untuk beberapa saat, akhirnya Oza bisa mendengar suara cewek itu lagi. "Oke. Udah pasang handsfree. Sekarang tinggal berangkat aja."
"Okay then."
Perutnya masih bergolak aneh meskipun sudah lama mengobrol dengan cowok itu. Ini benar-benar sesuatu yang di luar dugaan, mengingat selama empat bulan terakhir mereka sama-sama kompak memenuhi aturan tak tertulis: komunikasi hanya sebatas pesan teks via WhatsApp. Tapi saat beneran bisa berinteraksi langsung dengan Oza seperti ini, tahu-tahu malah muncul masalah baru: Saras nggak tahu harus ngobrolin apa.
Mungkin bisa dimulai dengan ngebahas apa aja yang kebetulan terlintas di kepala, pikirnya.
"Oh iya, ngomong-ngomong, tadi gue nggak sempet bikin meal prep. Tapi gue janji, Za, bakalan masak pake bahan-bahan yang ada di rumah. Atur porsi, terus cenderung milih yang segar ketimbang olahan, eh terus apa lagi ya?" Saras menggaruk hidungnya yang mendadak gatal. "Dan satu lagi, gue janji nggak bakalan cheating selama di sana—"
"Sar... alasanku nelepon ini bukan buat ngingetin kamu supaya tetep matuhin dietmu. Aku nggak se-heartless itu," ujarnya lembut. "Aku bilang sih, untuk saat ini nggak usah mikirin diet dulu. Fokus aja sama keluargamu, pastikan kalian bisa saling menguatkan selama masa-masa yang berat ini."
Saras balas mengangguk tanpa suara.
"Terus, kalo lagi sedih, comfort food-ku biasanya Indomie goreng pake dada ayam suwir dan bawang goreng. Kamu sendiri gimana? Makan cokelat juga boleh, asal itu bikin kamu ngerasa lebih baik. The thing is, I don't want you to look back at this time and hate me for making you eat vegetables, when all you want is cry and eat chocolate."
"Tenang aja, Za. Gue juga nggak bakalan menyia-nyiakan semua usaha dan pengorbanan selama ini dengan makan sembarangan. Jadi seandainya pun nggak sempet masak, paling nanti gue akan makan yang sama dengan orang-orang, cuman dengan porsi kecil—you know, kayak tips lo waktu acara anniversary tempo hari." Tapi Saras juga tak bisa menyangkal kehangatan yang menyebar di dadanya karena mendengar kata-kata Oza. "And yes, chocolate sounds like a good idea. Nanti deh disempetin mampir ke Indo atau Alfa."
"Saranku cuman satu: pastikan kamu makan dark chocolate ya."
Saras tertawa pelan. "Makasih buat masukannya," kata cewek itu dengan senyuman yang masih tertinggal di wajahnya. "Janji, sepulangnya dari Tangerang, gue bakalan balik ke rutinitas semula."
"It's okay, Sar. Just take your time to grief and stay with your family. Nggak usah mikirin yang lain-lain dulu." Cowok itu terdiam sesaat. "Dan kamu juga tahu kan, aku masih bisa diajak ngobrol selain tentang diet dan workout? Aku janji selalu ada buat kamu kalo butuh ngomongin tentang apa aja yang kamu mau."
"Makasih, Za. Etapi... ngobrolnya bisa dilanjutin nanti lagi nggak?" Saras menggigit bibir bawahnya sebelum membuat pengakuan, "Ternyata gue bukan tipe yang bisa ngelakuin hal sekaligus. Dan berhubung mobil gue manual, jadi bener-bener harus fokus ke jalan juga ke kendaraan di kiri dan kanan atau malah end up kecelakaan."
"Ohhh, baiklah kalo begitu. TTYL then, Sar."
"TTYL. Bye, Za."
Klik.
*
Saat mobilnya tiba di rumah, matahari tampak mengintip dari kejauhan. Saras memarkirkan mobilnya agak jauh dari pintu depan, lalu menggunakan waktu sejenak untuk menenangkan diri lagi. Pintu depan sedikit terbuka, seolah memanggilnya masuk. Dia melangkah ragu-ragu melintasi ambang pintu, merasakan sekelebat wajah Papa membebani dirinya.
Baru selangkah memasuki rumah, matanya menangkap sosok Runa di tangga. Tanpa pikir panjang, dia langsung menghambur ke arahnya, memeluk adiknya itu erat-erat. Runa menangis tanpa suara di bahunya, membuat Saras mengelus-elus punggungnya dengan lembut.
Setelah adiknya sedikit tenang, dia memberanikan diri untuk bertanya, "Papa di mana?"
"Di kamar tamu, Kak." Suaranya serak dan sedih. "Mama juga lagi di sana, menemani petugas sambil bersiap-siap untuk memandikan, lalu menyuntikkan pengawet ke jenazah Papa."
"Kalo gitu, Kakak ke sana dulu ya."
Saras berhati-hati membuka pintu kamar tamu. Nggak lama dia menemukan Mama sedang duduk di sofa, menatap kosong ke jasad Papa yang direbahkan di tempat tidur. Beliau menoleh dan membelalak ketika menyadari kedatangannya. "Jangan masuk, Sar," pintanya sambil buru-buru bergegas menghampirinya di bingkai pintu, "Papamu lagi disiapin untuk dimandikan."
Mata Mama merah dan bengkak, dan dia meremas tisu di tangan kanannya, tampak kumal karena dipakai untuk menghapus air matanya. Saras merasakan kesedihan bertalu-talu di hatinya saat melihat mamanya yang begitu terluka atas kepergian belahan jiwanya. Tapi... di saat itu pun, Saras tak meneteskan air mata sedikit pun. Which is unusual, because she's a crier.
Saras nggak mungkin lupa film pertama yang membuatnya menangis sesenggukan di ruang tengah: My Girl. Saras meraung karena hanya itu yang bisa dia lakukan saat itu. Mama buru-buru menghambur dari dapur, wajahnya benar-benar panik karena mengira putrinya kenapa-napa.
"Ada apa, Sayang?"
"K-Kenapa nggak ada y-yang bantu nyariin sih?" Wajahnya merengut nggak terima. "Vada bener, Ma. Thomas nggak mungkin bisa lihat apa pun kalo nggak pake kacamata."
Kening Mama berkerut bingung, yang membuatnya refleks melihat ke layar televisi. Vada—yang diperankan oleh Anna Chlumsky—juga histeris seperti dirinya, menangisi kepergian sahabat dan orang yang dia cintai.
Saras sempat mengira mamanya juga akan seperti Vada. Ternyata beliau justru menariknya ke pelukan, dan di sela isak tangisnya berkali-kali mengingatkan, "Papa udah nggak sakit lagi. Jadi kamu juga harus mengikhlaskan Papa ya, Sayang, biar jiwanya tenang di alam sana...."
Mama juga bilang, karena masih harus dimandikan, jadi lebih baik nanti saja melihat Papa. "Tadi Mama memutuskan, papamu akan mengenakan jas yang kamu belikan untuk acara wisudamu dulu itu." Mamanya memaksakan diri untuk tersenyum. "Dia kelihatan gagah banget pake itu."
Saras manggut-manggut tanpa mengatakan apa-apa. Dia juga membiarkan mamanya kembali masuk ke ruang tamu.
Acara pemakaman direncanakan berlangsung selama dua hari, lalu Papa akan dibawa ke pemakaman umum untuk dikebumikan. Ketika itulah Saras baru menyadari kalau Satria yang mengerjakan semuanya. Sementara Mama dan Runa menemani Papa di rumah, dia keliling ke sana-sini dengan motornya. Mulai dari mencari peti mati, menghubungi pendeta sekaligus memberi kabar resmi yang biasanya akan langsung di-share di WhatsApp group jemaat.
Adiknya itu juga butuh waktu untuk mencari plot untuk makam Papa. Di luar dugaan, ini justru sesuatu yang sulit dilakukan. Dua TPU yang dia datangi sama-sama bilang sudah penuh, membuat adiknya itu sempat putus asa. Tapi kemudian dia ditelepon oleh Nara. Dia bilang, TPU di dekat rumahnya available. "Memang sih, mayan jauh dari rumah lo. Tapi gue dah mastiin sendiri lokasinya. Cocok banget buat bokap lo." Nggak lama, dia dikirimi foto lokasi yang dimaksud, berikut detail biaya yang harus dikeluarkan untuk memesan tempat itu. Tanpa pikir panjang, Satria bilang akan langsung menemui Nara di sana.
Saras mendengarkan cerita adiknya itu tanpa terpikir untuk menginterupsi sedikit pun. Dan untuk hari ini, dia dan Satria sepertinya akan gencatan senjata dulu. Ditambah lagi, dia juga kasihan melihat adiknya itu. Wajahnya tampak lelah, dan dia tak ragu untuk menyandarkan kepala di bahu Saras saat bersama di teras depan.
"Bukan Mama, Kak, yang tahu kalo Papa udah meninggal. Gue begadang main game, dan bodohnya lupa nge-charge handphone. Karena males naik ke lantai dua, gue diam-diam masuk ke kamar mereka buat minjem charger Papa. Saat itulah gue ngerasa ada yang nggak beres dengan Papa. Gue langsungbangunin Mama buat mastiin... ternyata bener... Papa... udah...." Sisa ucapan tenggelam bersama tangisannya.
Sementara itu, nggak jauh dari mereka, Nara membeku di tempatnya berdiri. Dia sepertinya ingin menghibur sahabatnya, tapi bingung harus mulai dari mana. Alih-alih melakukan sesuatu, cewek itu hanya bisa memandangi mereka sambil menggenggam erat helm Satria.
Quote dari Grey's Anatomy, season 9 episode 2.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro